Kamis, 24 Maret 2011

Nasionalisme Ke-Indonesia-an : Agregasi dan Akumulasi Kemuakan Atas Kolonialisme dan Imperialisme


Berbicara mengenai Indonesia kontemporer yang diwarnai dengan banyak masalah memang terkadang menjadi menjemukan. Banyak pihak-pihak yang dibuat geram oleh tingkah laku para pejabat maupun rakyat negeri ini yang tidak mencerminkan sisi ke-Indonesia-an. Mulai dari pejabat yang korup sampai konflik yang terjadi di tengah-tengah rakyat soal penciptaan perdamaian yang didasarkan pada keberagaman. Mereka seolah lupa akan jatidiri mereka (siapa mereka) dan bagaimana seharusnya mereka berbuat untuk negeri ini. Hal ini tidak lain berkaitan dengan kesadaran akan nasionalisme di masing-masing individu manusia Indonesia. Dalam tulisan akan dibahas bagaimana konsep nasionalisme muncul, sebuah konsep tentang ke-Indonesia-an. Faktor-faktor apa saja yang turut mengawal munculnya kesadaran nasionalisme di Indonesia juga akan dibahas dalam tulisan ini.

Konsep nasionalisme sering dikaitkan dengan konsep negara, artinya garis-garis batas secara politis cenderung menentukan kesadaran terhadap rasa nasionalisme (Kahin, 1995). Dalam konteks ini, Kahin lebih melihat bagaimana nasionalisme terbentuk lebih karena perasaan yang terbentuk dari individu-individu yang dipersatukan dalam sebuah lingkaran geografis-politis. Seperti saat Belanda berusaha menbentuk suatu garis batas politis yang jelas atas Indonesia, di saat itu juga Belanda menggalang orang-orang dengan berbagai bahasa dan berbagai kebudayaan ke dalam suatu kesatuan politis yang justru kemudian membuat rasa kesadaran akan sebuah kelompok mulai muncul. Singkatnya, Belanda justru memunculkan agregasi patriotisme dari masyarakat setempat yang terokupasi oleh Belanda pada saat itu, patriotisme yang muncul karena kekecewaan dan ketidakpuasan akibat kontak dengan penguasa asing.

Ada beberapa faktor penting yang menjadi dasar munculnya integrasi nasionalisme Indonesia yang salah satu elemen pentingnya adalah tingginya derajat homogenitas Islam di Indonesia (Kahin, 1995). Heterogenitas masyarakat Indonesia pada saat dipersatukan oleh Belanda itu menjadi netral ketika mereka menemukan sebuah kesamaan akan agama yang sifatnya universal. Agama Islam tidak hanya merupakan ikatan biasa namun telah menjadi sebuah simbol kelompok dalam melawan pengganggu dan penindas suatu agama yang berbeda. Terlebih lagi agama Islam dijadikan untuk memperkuat paradoks ketika para bangsawan pribumi berjuang menangkal kedatangan Portugis dengan cara memeluk Islam sebagai upaya politis melawan Portugis yang memiliki agenda kristenisasi disamping kolonialisasi. Faktor integrasi Indonesia yang juga esensial adalah perkembangan bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa kesatuan pada saat itu yang kemudian menjadi bahasa nasional (Kahin, 1995). Bahasa ini memasuki setiap sendi kehidupan masyarakat pada jaman itu dan digunakan dalam membantu penyebaran agama Islam yang mematahkan kecenderungan oran Indonesia memiliki nasionalisme yang picik.

Adanya anggapan seperti pendapat Colijn bahwa faktor integrasi nasionalisme Indonesia yang lain adalah akibat dari adanya Volksraad yang menjadi pemersatu masyarakat dalam sebuah relasi yang lebih meyakinkan. Kahin justru melihat ada paradoks ketika Volksraad dinilai penting dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia karena signifikansi Volksraad relatif kecil. Volksraad adalah Majelis Rakyat bentukan Belanda yang hanya berposisi sebagai pemberi nasehat pada pemerintahan kolonial. Pada tahun 1927 Volksraad diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang secara bersama-sama dengan Gubernur Jenderal. Kewenangan Volksraad menjadi tidak berarti karena Gubernur Jenderal memiliki hak veto. Intinya, Volksraad bukanlah sebuah lembaga yang dirancang untuk membentuk hubungan antara pemimpin nasionalis dan masyarakat guna menggalang nasionalism (Kahin, 1995).

Faktor penting lain yang juga menjadi kekuatan fundamental pemersatu nasionalisme adalah kemuakan buruh tani terhadap pemerintahan Belanda yang memposisikan buruh tani secara subordinatif dan eksploitatif (Kahin, 1995). Di tengah-tengah posisi kaum buruh tani yang tidak sadar atas posisinya yang direndahkan oleh kekuasaan Belanda, ada kaum elite pribumi atau yang lebih dikenal sebagai kaum bangsawan. Kaum bangsawan dijadikan alat bagi Belanda untuk menancapkan akar hisapnya pada Indonesia melalui mekanisme tanam paksa yang dikembangkan. Kaum bangsawan diberikan posisi-posisi menggiurkan oleh Belanda dalam mengelola tanam paksa secara struktural. Keadaan menjadi berbalik ketika tanam paksa dihapuskan dan makin banyaknya pegawai Belanda dalam pamong praja. Hal ini menyadarkan masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah buruh tani bahwa sebenarnya Belanda sudah sangat mensubordinasi mereka di segala bidang. Dampak dari hal ini termanifestasi dengan munculnya berbagai aksi protes dari kaum tani seperti yang pernah dicetuskan oleh Samin pada tahun 1980 yang kemudian dikenal sebagai pergerakan kaum tani yang sukses. Semangat dari pergerakan ini adalah adanya keinginan untuk terbebas dari belenggu Belanda secara ekonomi maupun, kemuakan akan sikap Belanda yang eksplotatif hinggi mengintevensi setiap lapis kehidupan. Pengejawantahan penderitaan yang berujung pada kemuakan kaum tani ini kemudian menjadi stimulus bagi nasionalisme, hanya tinggal menunggu sosok elit pemimpin yang muncul saja.

Rasa kekecewaan ternyata tidak hanya dirasakan oleh kaum tani, melainkan juga dirasakan oleh kaum terpelajar dan bahkan juga para pegawai pemerintah untuk Belanda pada saat itu. Munculnya kaum dan golongan terpelajar dapat dikatakan sebagai blunder yang dilakukan oleh Belanda dalam menghadapi Pan-Islamisme yang menyebar di Indonesia (Kahin, 1995). Untuk menangkal penyebaran Islam, perlu diberikan pengaruh-pengaruh barat kepada penduduk Indonesia melalui pendidikan-pendidikan Barat. Di kalangan penduduk yang mayoritas Islam sendiri justru menerima uluran bantuan pendidikan Belanda karena beranggapan bahwa ilmu pengetahuan Barat dirasa perlu dalam mempertahankan dan memperkuat posisi Islam. Justru dengan diterimanya ilmu pengetahuan dari Barat, pikiran masyarakat Indonesia menjadi terbuka akibat diterimanya ide-ide mengenai sosial dan ekonomi seperti Lenin-Marxisme dan Liberal-Kapitalisme. Hal ini membuka mata golongan terpelajar bahwa perlu ada pemerataan ekonomi dan penyediaan kesempatan yang sama bagi penduduk Indonesia terutama kaum tani untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Kondisi ini menyadarkan mereka betapa tertindasnya bangsa Indonesia dan membangkitkan semangat mereka untuk menyudahi atau setidaknya melawan penderitaan akibat eksplotasi Belanda tersebut. Kondisi yang sama juga dirasakan oleh kaum pekerja yang bekerja di pemerintahan kolonial Belanda dimana mereka terdiskriminasi secara struktur dan diposisikan secara rendah oleh pemerintahan Belanda. Keadaan yang telah berlangsung lama ini tergagreasi menjadi sebuah kemuakan universal yang dirasakan oleh mayoritas penduduk Indonesia yang kemudian menjadi salah satu faktor pemerkuat nasionalisme untuk melenyapkan kolonialisasi dan imperialisasi Belanda.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan menurut pandangan Kahin bahwa awal dari kemunculan rasa kesadaran kelompok dan satu bangsa hingga berlanjut menjadi sebuah nasionalisme adalah karena adanya homogenitas agama Islam dan penggunaan bahasa Melayu Pasar yang dipakai secara universal bagi semua kalangan. Faktor stimulus ini kemudian didukung oleh faktor-faktor pendukung dan penguat nasionalisme yang lain yaitu semangat untuk menyudahi penderitaan akibat kolonialisme dan imperialisme Belanda sebagai akibat dari agregasi dan akumulasi kemuakan semua kalangan masyarakat di Indonesia seteleh tersubordinasi dan tereksploitasi selama lebih dari 300 tahun.



Referensi :

Kahin, George McTuman. 1995. Timbulnya Pergerakan Kebangsaan Indonesia, dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Analisis Induksi : Sebuah Pendekatan Terhadap Rezim

Rezim adalah sesuatu yang mengatur perilaku dari anggota berkaitan dengan suatu isu dan menentukan yang mana saja sesuatu yang dapat dilakukan atau tidak boleh dilakukan serta bagaimana penyelesaiannya. Ada beberapa fitur utama yang dijelaskan oleh Puchala dan Hopkins (1983) yang dapat menunjukkan fenomena rezim. Pertama, rezim merupakan sebuah fenomen atitudinal yang dicerminkan dari ketaatan anggota atau partisipannya pada prinsip-prinsip dan norma-norma yang dibentuk dari hasil kesepakatan dan konsensus antar anggotanya. Rezim besifat sangat subjektif karena akan selalu bergantung pada pandangan setiap anggotanya terhadap suatu moral yang dianggapnya benar dan kemudian disepakati bersama. Sikap-sikap yang dapat menunjukkan sebuah rezim seperti itu dapat muncul dalam suatu sistem yang interdependen berbasis pada letak geografis seperti rezim ekonomi Eropa, dapat juga muncul sebagai hal yang bersifat regional-fungsional seperti sistem penerbangan internasional, atau murni bersifat fungsional seperti regulasi internasional mengenai perdagangan obat.

Kedua, rezim internasional meliputi serangkaian prinsip atau norma yang meliputi prosedur-prosedur khusus dalam pengambilan keputusan. Norma-norma yang ada dalam rezim meliputi siapa yang berpartisipasi, kepentingan apa yang mendominasi, dan aturan apa yang digunakan untuk melindungi rezim dari dominasi aktor tertentu. Ketiga, rezim harus meliputi karakteristik dari prinsip utama yang dijunjungnya. Adanya struktur hirarkis terkadanga juga perlu diwujudkan untuk menjaga stabilitas rezim dari perubahan. Keempat, rezim memiliki aktor yang merupakan anggota didalamnya. Pemerintah dari sebuah negara merupakan aktor utama dalam sebuha rezim walaupun dalam praktiknya ada beberapa organisasi subnasional juga berpartisipasi. Kelima, rezim selalu muncul dalam setiap isu substantif dalam hubungan internasional dimana tercerminkan pola perilaku. Dimanapun dapat ditemukan keteraturan karena adanya prinsip dan norma, itulah yang dikatakan sebagai rezim.

Cara untuk mengidentifikasi sebuah rezim dapat dilakukan dengan metode induksi dengan mengintegralkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang dapat ditemukan bukti-buktinya dari persepsi partisipan sebuah rezim dan menemukan peraturan-peraturan yang tertulis dalam piagam, perjanjian, atau kode etik (Puchala dan Hopkins, 1983). Ada empat karakteristik fundamental dalam perbandingan rezim yaitu :



1. Specific vs diffuse regimes

Rezim yang spesifik akan memiliki ruang lingkup bahasan single-issue, partisipan cenderung lebih sedikit, dan akan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Rezim ini juga terkadang bisa bersifat substruktur. Contohnya adalah norma-norma yang mengatur soal kedaulatan, self determination, dan non intervention policy urusan dalam negeri antar negara (Puchala dan Hopkins, 1983). Sedangkan diffuse regime lebih terkonsentrasi pada bahasan yang multi-issues, partisipan lebih banyak, dan cenderung labil atau tidak dapat bertahan lama bahkan terjadi pergantian dalam rezim. Rezim ini lebih bersifat suprastruktur. Contohnya adalah rezim balance of power merujuk pada multipolaritas yang mengatur mengenai ekspansi dan kolonialisasi pada abad ke 19 (Puchala dan Hopkins, 1983).



2. Formal vs informal regimes

Rezim yang formal dimanifestasikan dalam bentuk organisasi internasional yang terlembaga dan memiliki struktur yang jelas dan dimotori oleh birokrasi internasional. Rezim jenis ini ditopang oleh adanya dewan atau kongres, atau badan lain. sedangankan rezim informal hanya dibentuk oleh konsensus dan kesepakatan dari hasil pertemuan dari para partisipannya. Adanya konsensus sering kali didasarkan pada adanya mutual self-interest dari para partisipan yang kemudian diawasi oleh badan yang dibentuk dari hasil kesepakatan bersama. Contohnya adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa détente yang bersepakat untuk tidak saling serang demi kebaikan bersama (Puchala dan Hopkins, 1983).



3. Evolutionary vs revolutionary change

Perubahan dalam rezim yang hanya meliputi norma-norma prosedural tanpa memberikan perubahan signifikan dalam distribusi power disebut sebagai perubahan evolusioner. Misalnya adalah perubahan norma tanpa mengubah prinsip atau bahkan merubah norma secara kontras untuk mengubah prinsip rezim secara keseluruhan. Sedangkan perubahan yang mengubah pola struktur power karena hubungan yang dijalankannya bersifat advantage-disadvantage adalah perubahan rezim yang bersifat revolusioner (Puchala dan Hopkins, 1983).







4. Distributive bias

Pada intinya, semua rezim adalah bias. Rezim berusaha menciptakan hirarki dan nilai-nilai sedangkan rezim juga menciptakan prasangka buruk. Rezim juga mencoba menegakkan nilai-nilai hasil konsensusnya namun juga berusaha menghilangkan sisanya (Puchala dan Hopkins, 1983).

Sebagai aplikasi dari metode induksi dalam mengkaji rezim, Puchala dan Hopkins (1983) mencoba membandingkan dua rezim yang ada dalam dua time line waktu yang berbeda. Keduanya juga memiliki karakteristik rezim yang berbeda pula.

1. Rezim kolonialisme

Rentang waktu antara 1870 hingga 1914 adalah saat dimana kolonialisme menjadi begitu populer bagi kolonialisme Eropa. Dari ekspansi kolonialis ini dapat ditemukan adanya rezim internasional yang mendukung keberlangsungan kolonialisme pada saat itu. Norma-norma yang ada pada rezim tersebut adalah :

• Pembagian dunia dalam dua kelas (civilized dan uncivilized). Masyakat yang beradab (civilized) digambarkan sebagai masyarakat yang menunjukkan rasa hormat, pengendalian diri, dan lebih memilik berdikusi untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan masyarakat yang tidak beradab (uncivilized) digambarkan sebagai masyarakat yang menggunanakan kekerasan, cenderung barbar dalam menyelesaikan masalah.

• Adanya legitimasi untuk menginjeksi nilai-nilai asing pada daerah-daerah baru atau daerah kolonial.

• Legitimasi dalam pengakumulasian kepemilikan tanah oleh para bangsawan.

• Pelestarian balance of power sebagai situasi yang kondusif bagi keamanan negara-negara kolonial.

• Legitimasi neomerkantilisme dimana ekonomi digunakan untuk mendukung setiap kebijakan negara.

• Adanya prinsip non-interference terkait masalah administrasi kolonial yang disepkati oleh para kolonial.

Jika dianalisa, rezim ini lebih bersifat diffuse karena meliputi banyak isu yang dibahas dengan cukup banyak partisipan didalamnya.





2. Rezim pangan

1949 hingga 1980 adalah masa dimana rezim pangan dapat ditemukan terutama setelah perang dunia II berakhir. Munculnya Amerika Utara sebagai penyuplai utama gandum membentuk suatu norma tersendiri yang mengatur sistem produksi, distribusi, dan konsumsi tidak hanya mengenai pangan melainkan juga mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pangan seperti teknologi hingga riset dan penemuan bibit unggul dalam pangan.

Norma-norma yang ada di dalamnya meliputi :

• Ketaatan pada pasar bebas internasional

• Penyesuaian penyerapan nasional yang didasarkan pada pasar internasinal

• Penerimaan terhadap distribusi melalu extra market channel

• Pencegahan kelaparan

• Arus bebas informasi ilmiah, dll

Rezim pangan ini lebih terlihat sebagai rezim yang spesifik karena hanya terkonsentrasi pada isu pangan saja. Dalam rezim pangan juga telah terdapat badan legal yang mengatur jalannya arus pangan dunia yaitu FAO atau WFP. (Puchala dan Hopkins, 1983).



Referensi :

Puchala, Donald J. and Raymond F. Hopkins. 1983. .International Regimes: Lessons From Inductive Analysis” dalam Stephen D. Krasner (ed), International Regimes. Ithaca and London: Cornell University Press.Page 61-92.

Rezim : Siapa Berkata Apa dan Kepada Siapa

Berbagai interpretasi akan muncul ketika setiap orang diminta untuk mendefinisikan arti dari rezim. Seperti yang pernah terpikirkan oleh Ernst B.Hass yang mendefinisikan rezim sebagai entitas yang memiliki susunan anggota dimana anggotanya harus mengelola dan membatasi adanya konflik kepentingan antar mereka karena adanya kesadaran bersama bahwa terdapat interdependensi yang kuat antar mereka yang sangat mudah memicu terjadinya konflik (Hass, pp 23). Lantas perbedaan tersebut dapat muncul karena adanya perbedaan interpretasi dari kata “konflik” dan “pengelolaan” yang bisa hadir dari berbagai sudut pandang. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal mulanya setiap orang mungkin akan mempunyai interpretasi yang berbeda tentang apa yang dimaknai sebagai rezim. Marxis, radikalis, dan ekologis misalnya, tentu saja memiliki definisi konflik dan pengelolaan berbeda-beda

Terlepas dari setiap perbedaan interpretasi tersebut, terdapat sebuah sintesa yang mengakomodasi perbedaan itu menjadi sebuah pemahaman yang general. Rezim kemudian dideifinisikan sebagai institusi-institusi sosial yang dibuat manusia untuk mengatasi konflik dalam sebuah aturan interdependensi. Terdapat beberapa terminologi yang dapat memberikan kerancuan ketika membahas mengenai rezim. Rezim sering diidentikkan dengan order (tatanan) atau sistem. Padahal sebenarnya rezim merupakan bagian dari suatu sistem besar dimana sistem adalah suatu keseluruhan yang memuat rezim sebagai salah satu komponen didalamnya.

Rezim menjadi sesuatu yang penting untuk dipelajari karena rezim memunculkan kapasitas manusia bagaimana mereka mendefinisikan atau bahkan menyelesaikan sebuah permasalahan. Dengan demikian akan ada banyak pemikiran yang berangkat dari beragam school of thouhgt. Pada dasarnya rezim adalah entitas bentukan manusia yang terus berkembang sebagai bentuk munculnya kepentingan bersama dan rezim pun berfungsi karena kebutuhan tersebut. Dengan seiring berjalannya waktu, kepentingan pun turut berkembang dan juga mempengaruhi rezim yang ada. Perbedaan ontologi dari studi mengenai rezim juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Studi mengenai rezim tidak lagi hanya sebatas studi mengenai kolaborasi internasional yang berkaitan dengan politik, meskipun memang dalam rezim itu sendiri terdapat dimensi politik. Studi rezim saat ini lebih ditekanan sebagai suatu upaya untuk mempelajari pola interaksi antar homo politicus dengan lingkungan. dan budaya. Sehingga studi rezim pada akhirnya dapat menunjukkan rentangan antara pilihan masa lalu dan pilihan masa depan terkait dengan kolaborasi internasional dalam konteks kepentingan dan pemahaman masing-masing pihak (self understanding) yang senantiasa mengalami perubahann

Adanya perbedaan ontologi menyebabkan adanya perbedaan epistemologi. Setidaknya sampai saat ini ada dua normative and epistemological differences. The mechanical metaphor memiliki pandangan pesimistis dengan Melihat dunia dalam sudut pandang kenegaraan, tertutup, dan masa depan akan ditentukan oleh elemen-elemen konstitusional dan hukum-hukum yang mengatur mereka. Sedangkan The organic metaphor membangun gagasan optimis dengan sistem-sistem harmonis. Mereka melihat sistem secara terbuka, bergerak dan dinamis. Adaptasi diartikan sebagai suatu pembelajaran untuk menjadi lebih baik dalam sistem yang dinamis.

Organic Metaphor mendasarkan pemikirannya pada kepedulian terhadap keseimbangan alam karena alam mengalami krisis. Setidaknya ada tiga pendekatan yang terangkum dalam organic metaphor. Eco-evolutionisme berpandangan perlu adanya upaya bagi rezim untuk mengimbangi science dan religion agar tidak terjadi kerusakan yg mengancam kehidupan manusia. Eco-reformisme berpendapat bahwa perlu ada keseimbangan antara value of equality dan value of efficiency. Aktor-aktor dalam rezim harus saling terikat untuk menyelesaikan masalah ekonomi-ekologi demi kualitas hidup bersama. Egalitarianisme menonjolkan pada kritik terhadap rezim yg ada atas kegagalan menciptakan equitable outcomes. Cost-benefit perlu digunakan sebagai indikator untuk menimbang apakah dapat tercipta suatu equitable outcomes.

Mechanical Metaphor mendasarkan pemikirannya pada teori-teori yang berhubungan pada sifat, budaya, dan politik. Tiga pendekatan yang termasuk dalah mechanical metaphor adalah liberalisme, merkantilisme, dan mainstream. Inti dari pemikiran Liberalism adalah kepentingan aktor bersifat selfish, dan short-run demi efisiensi bersama sehingga hasil yang diharapkan adalah kesejahteraan bersama dan memberikan kepuasan secara stabil. Merkantilism memiliki ciri bahwa kepentingan aktor bersifat selfish, namun jangka panjang demi pertahanan dan kemakmuran Negara. Merkantilisme memandang bahwa efisiensi bukanlah criteria untuk membentuk rezim yang kuat dan memandang bahwa ekonomi harus menjadi akhir dari kekuatan negara untuk tetap bertahan. Sedangkan pandangan mainstream adalah bahwa kepentingan aktor bersifat selfish dan jangka pendek demi melindungi kepentingan dari koalisi hegemoni (gabungan antara liberalism dan merkantilism).

Dari berbagai pendekatan yang ada, ada sebuah pemetaan yang dapat dilihat. Masing-masing metaphor memiliki konsentrasi dan fokus masing. Organic metaphor lebih fokus pada masa depan manusia, tapi sedikit perhatian terhadap pengaturan politik yang dibutuhkan untuk menjamin sebuah masa depan yang diinginkan. Sedangkan mechanical metaphor lebih fokus pada aturan politik yang digunakan untuk menjamin suatu masa depan, mechanical metaphor juga mahir dalam menjelaskan masalah politik dan ekonomi. Perubahan rezim untuk menjamin masa depan bukan hanya dilihat dari segi elemen-elemen yang mendasari berdirinya sebuah rezim. Persepsi seorang aktor juga menentukan keberadaan rezim baik dalam hal mendirikan, mempertahankan atau bahkan menghancurkan rezim tersebut. Moral dan knowledge yang dimiliki aktor- aktor tersebut tidak dapat dikatakan sebagai satu-satunya faktor yang dapat mendukung rezim itu dapat bertahan lama. Evolusi yang terjadi adalah bagian dari realitas sosial yang akan menjadi semakin kompleks secara perlahan- lahan. Evolusi sebagai sebuah metaphor, nature dan computer tidak menyediakan model untuk memahami rezim. Tetapi nature dan computer menyediakan stimulan untuk berpikir bagaimana sebuah rezim berubah dan bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi tingkat kesadaran manusia terhadap kebutuhan, fungsi dan bentuk- bentuk.



Referensi :

B. Haas,Ernst, ‘Words can hurt you; or, who said what to whom about regimes’ dalam D. Krasner, Stephen(ed), International Regimes, Cornell University Press, Ithaca and London, hal.22-59