Selasa, 20 April 2010

Strategic Deterrence dan Compellence : Manifestasi Military Defense, Aktualisasi Power

Perang dingin adalah salah satu masa paling bersejarah. Konsep baru dalam perang ini terbentuk karena tidak adanya perang secara fisik antara pihak yang berkonflik. Walaupun tidak ada perang fisik, bukan berarti tatanan dunia dalam keadaan aman. Justru pada masa perang dingin ini terdapat berbagai bentuk cara dalam pengaktualisasian power selain perang. Negara yag dominan dalam perang dingin alah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hanya adanya dua negara berkekuatan besar yang berkonflik membuat sistem internasional pada masa itu menjadi bipolar. Dengan adanya sistem bipolar ini, AS dan US cenderung membentuk aliansi untuk memperkuat posisi mereka dalam perang dingin. Namun, aliansi bukan satu-satunya cara yang dilakukan oleh kedua negara besar tersebut dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam perang dingin. Strategic deterrence dan compellence merupakan upaya lain yang dilakukan oleh AS dan US untuk saling mengalahkan dalam sebuah bentuk perang yang baru. Kedua strategi terebut juga merupakan sebuah military defense yang dilakukan oleh keduanya dalam upaya menangkal serangan yang dilakukan oleh musuh. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai strategic deterrence dan compellence beserta penerapannya sebagai salah satu aktualisai power selain perang yang populer pada masa perang dingin yang mana kedua strategi tersebut merupakan salah satu upaya military defense.

Pada saat perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi dua kekuatan besar. Mereka berkompetisi baik dalam perluasan pengaruh maupun perlombaan persenjataan. Ketika salah satu mengupayakan penambahan kekuatan, maka yang lain akan bereaksi. Arti kata deterrence. Strategic deterrence merupakan salah satu cara berupa pencegahan atau penangkalan terhadap pihak lain yang berusaha untuk menjadi lebih dari pihak yang merasa disaingi. Pada saat perang dingin, contoh tindakan strategic deterrence dapat sering kali dijumpai. Pembentukan aliansi merupakan salah satu bentuk deterrence. Hal ini dapat dilihat ketika AS dan US masing-masing membentuk pakta pertahanan, NATO dan Pakta Warsawa. AS dan US menyadari bahwa keduanya tetap ingin ada yang lebih unggul diantara mereka, dalam hal ini dalam bidang pengaruh (Paul, Writz, & Fortmann, 2004). Dibentuknya aliansi berupa pakta pertahanan ini bertujuan untuk menghindari adanya perang terbuka antara keduanya. Pembentukan pakta ini juga sebagai upaya perlindungan bersama, dimana perlindungan pada saat itu tidak hanya perlindungan domestik saja namun juga perlindungan target di luar batas wilayah lawan untuk mencegah serangan atau aliansi dalam batas wilayah lawan. Contoh lain dari deterrence yang juga berkembang saat perang dingin adalah adanya perlombaan senjata. Perlombaan senjata ini terjadi ketika negara-negara mulai sadar bahwa perang terbuka telah menghabiskan dana yang luar biasa besar, yang pada akhirnya membawa mereka pada sebuah kesimpulan bahwa dengan mengembangkan senjata dan melakukan deterrence sebagai bentuk lain dari perang akan meminimalisir dana dan membuat perang cenderung efektif dan efisien. Nuklir menjadi senjata yang gencar dikembangkan pada saat itu. AS dan US sebagai dua kutub kekuatan saling bersaing dalam proliferasi nuklir (Setiawan, 2008). Persaingan ini merupakan bentuk reaksi dan pencegahan terjadi perang yang maha dahsyat. Ketika salah satu pihak mengembangkan nuklir, pihak tersebut dapat memaksakan apa yang diiinginkannya kepada lawan, namun pihak lawan yang tidak tinggal diam membalas dengan tindakan dan intensitas bersama. Hal ini memang menghindarkan terjadinya perang nuklir secara terbuka, namun justru menambah ancaman teror dari pihak terkait karena masing-masing pihak akan terus berlomba dalam peningkatan senjata.

Selain strategic deterrence, pengaktualisasian power juga dapat berupa compellance yang berarti pemaksaan. Jika dalam deterrence para aktor berupaya untuk tidak saling menyerang sehingga menimbulkan perang terbuka, maka dalam compellence para aktor akan berupaya membuat pihak lain yang menjadi rivalnya mau melakukan apa yang diinginkannya, atau dengan kata lain ada unsur pemaksaan disini (Setiawan, 2008). Sebelum US meledakkan percobaan nuklirnya pada 1949 sebagai upaya deterrence terhadap nuklir AS, AS merupakan negara pertama penikmat senjata nuklir. Senjata nuklir tersebut akhirnya digunakan sebagai alat pemaksa lawannya untuk menjalankan apa yang diinginkannya. AS bahkan sempat mempunya kebijakan brinkmanship yang menggambarkan bahwa AS akan memaksakan kepada lawannya apa akan apa yang diinginkannya sehingga hampir sampai pada batas perang (Setiawan, 2008). Contoh lain dari compellence sebagai pada era kontemporer adalah ketika AS menginvasi Irak dan mengintervensi Afghanistan dengan alasan yang berbeda. Dalam invasinya ke Irak, AS menggunakan alasan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal yang disinyalir dimiliki oleh Irak . AS tetap menempatkan pasukannya di sana meskipun mendapat tentangan dari berbagai negara dan pihak. Dalam intervensi ke Afghanistan, AS mensinyalir bahwa di Afghanistan terdapat tempat persembunyian jaringan teroris Al-Qaeda sehingga AS ingin menghancurkannya dalam rangka War On Terrorism. Dari kondisi ini dapat diketahui bahwa konsep compellence sering kali digunakan oleh negara-negara atau aktor-aktor yang memang memiliki superioritas dalam kapabilitas dan kekuatan sehingga apa yang menjadi keinginan mereka dapat terlaksana (Paul, Writz, & Fortmann, 2004).

Berbicara mengenai aktualisasi power dalam konteks peperangan, setiap negara tentu saja akan memperhitungkan aspek pertahanan militer (military defense). Hal ini menjadi wajar ketika ada pihak lain yang mengancamnya. Bahkan penguatan pertahanan militer ini bisa saja dilakukan walaupun tanpa adanya konflik atau perang. Aliansi seperti NATO, merupakan salah satu bentuk pertahanan militer yang coba dibangun oleh beberapa negara yang didalamnya terdapat sebuah poin perjanjian bahwa ketika satu anggota diserang maka serangan tersebut dianggap serangan bagi seluruh negara anggota (Berenskoetter & Williams, 2007). Dengan dibentuknya aliansi ini, negara-negara akan merasa lebih aman dari adanya ancaman yang datang kelak. Bentuk penguatan terhadap pertahanan militer juga sering dimanifestasikan dalam bentuk yang sederhana. Pengalokasian anggaran untuk pembelian alutsista, pesawat tempur, kapal selam, dan berbagai instrumen militer lainnya dan bahkan proyek pengembangan senjata dapat dikategorikan sebagai upaya peningkatan kekuatan. Pengalokasian anggaran negara untuk militer AS yang bahkan enam kali lebih banyak dari kombinasi anggaran Jerman, Jepang, dan Inggris merupakan manifestasi betapa seriusnya AS dalam memperkuat pertahanannya walaupun hal ini sering menjadikan ancaman dan teror bagi negara lain (Brooks & Wohlforth, 2008).

Dengan demikian, sebuah hubungan dapat ditemukan dari penjelasan di atas bahwa sebenarnya strategic deterrence dan compellence, selain merupakan bentuk pengaktualisasian power, merupakan bagian dari sebuah military defense. Hal ini dikarenakan deterrence dilakuakan sebagai upaya pencegahan dan penangkalan agar pihak lawan tidak memiliki kekuasan atas kita dan compellence dapat pula dilakukan sebagai reaksi atas adanya ancaman yang datang yang kemudian dibalas dengan tindakan yang lebih koersif dan oppresif. Namun, baik deterrence maupun compellence sebagai bagian dari military defense tidak serta merta menjamin perdamaian. Penggunaan nuklir sebagai salah satu senjata dalam untuk mendeter atau mengcompell lawan dapat berubah menjadi teror yang mencekam dan bahkan dapat mengancam stabilitas keamanan internasional.

Referensi

Berenskoetter, F., & Williams, M. J. 2007. Power in World Politics. Oxon: Routledge.
Brooks, S. G., & Wohlforth, W. C. 2008. World Out of Balance : International Relations and The Challenge of American Primacy. New Jersey: Princeton University Press.
Paul, T. V., Writz, J. J., & Fortmann, M. 2004. Balance Of Power : Theory and Practice In The 21st Century. California: Stanford University Press.
Setiawan, A. 21 Oktober 2008. Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya. Diakses pada 20 April 2010, dari http://theglobalpolitics.com/

Senin, 19 April 2010

Neorealisme dan Neoliberalisme : Dua Pendekatan Yang Saling Mendekati

Disiplin ilmu hubungan internasional dibangun atas beberapa teori yang sempat berkembang. Perdebatan-perdebatan mengenai teori dan pendekatan mana yang lebih cocok digunakan untuk menjelaskan konstelasi sistem internasional sering kali tersaji seiring berjalannya waktu dan berubahnya tatanan sistem internasional. Dua pendekatan dan teori yang paling populer sepanjang sejarah disiplin ilmu hubungan internasional yang pernah ada adalah realisme dan liberalisme. Keduanya memiliki perspektif yang kontradiktif dalam melihat konstelasi sistem internasional. Realisme dibangun atas asumsi dasar tentang manusia dan negara yang bersifat jahat dan akan selalu ingin mencapai kekuasaan atas yang lain, sedangkan liberalisme dibangun atas asumsi dasar tentang manusia dan negara yang selalu dapat bertindak rasional sehingga akan dicapai suatu kerjasama yang kolaboratif. Jika realisme memandang negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, maka liberalisme memandang bahwa dalam hubungan internasional juga terdapat individu, swasta, dan institusi atau organisasi internasional sehingga dalam pandangan kaum liberalis merekalah aktor dalam hubungan internasional.

Perdebatan antara realisme dan liberalisme terus berlangsung sampai pasca perang dunia 2 ketika keadaan tatanan dunia mulai berubah sampai pada akhirnya masuk pada era perang dingin. Perang dunia 2 yang telah membawa kehancuran yang hebat itu membawa perdebatan klasik ke dalam tahap perdebatan baru. Perspektif realisme dan liberalisme juga telah bertransformasi dikarenakan pengaruh kaum behavioralis yang berpendapat bahwa hubungan internasional pun merupakan sesuatu yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan didukung oleh data-data empiris yang tersaji di lapangan. Pandangan positivis ini membawa realisme dan liberalisme ke dalam bentuk pendekatan yang baru yang kemudian dikenal sebagai neorealisme dan neoliberalisme (Jackson & Sorensen, 1999). Keduanya dibangun dengan asumsi dasar yang masih sama dengan pendekatan realisme dan liberalisme klasik, namun pada neorealisme dan neoliberalisme terjadi “pengakuan” satu sama lain dalam beberapa hal yang menyebabkan perspektif mereka seolah-olah “berdekatan.” Walaupun keduanya mulai berdekatan, keduanya masih memilik perbedaan yang kemudian menjadi sebuah perdebatan diantara keduanya. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa aspek yang menjadi perbedaan dan perdebatan antara perspektif neorealisme dan neoliberalisme.

Aktor Hubungan Internasional
Salah satu aspek yang menjadi perdebatan antara realisme dan liberalisme klasik adalah mengenai aktor hubungan internasional. Secara garis besar realisme memandang negara sebagai satu-satunya aktor yang paling dominan dalam hubunga internasional, sedangkan liberalisme memandang bahwa dalam hubungan internasional juga terdapat individu, swasta, dan institusi atau organisasi internasional sehingga dalam pandangan kaum liberalis merekalah aktor dalam hubungan internasional. Namun pandangan ini berubah seiring dengan adanya revolusi dari kaum behavioralis yang menyatakan bahwa hubungan internasional adalah sesuatu yang dapat dijelaskan secara ilmiah dengan adanya data-data yang ada. Perubahan ini semakin diperkuat dengan berubahnya tatanan dunia pasca perang dunia dan mulainya perang dingin. Munculnya beberapa organisasi pasca perang dingin turut mempengaruhi pandangan neorealisme dan neoliberalisme dalam memandang aktor hubungan internasional. Neorealisme tetap memandang negara sebagai aktor paling penting . Hal ini sangat mudah dijelaskan oleh kaum neoralis, dengan melihat aktor yang sangat dominan pada masa perang dingin adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Isu yang sering dibawa oleh kaum neorealis seputar konflik dan perang yang terjadii diantara negara membawa kesimpulan bagi kaum neorealis bahwa negara merupakan aktor paling dominan dan penting dalam hubungan internasional (Beitz, 1979). Namun, hal ini tidak berarti bahwa neoralisme hirau akan adanya non-state actor seperti organisasi dan institusi internasional. Neorealisme tetap memandang eksistensi organisasi dan institusi internasional sebagai aktor penting namun bukan berarti sebagai aktor yang dominan karena dibalik mereka masih ada negara yang merupakan aktor paling dominan dalam hubungan internasional karena hanya negaralah yang memiliki kedaulatan.

Neoliberalisme berpandangan kontradiktif, menganggap bahwa dengan semakin banyaknya organisasi dan institusi internasional menandakan bahwa merekalah aktor hubungan internasional. Peran mereka yang begitu penting bahkan membuat mereka memiliki peran melebihi peran yang dimiliki oleh negara. Neoliberalisme juga tidak serta merta menyangkal adanya negara sebagai aktor hubungan internasional. Negara tetap dianggap sebagai aktor penting namun dalam era kontemporer peran organisasi dan institusi jauh lebih besar dari pada negara dan tidak dapat dipungkiri jika negara sangat membutuhkan kehadiran organisasi dan institusi internasional. Salah satu pandangan kaum neoliberal, dikemukan salah satunya oleh James Rosenau, mengemukakan bahwa hubungan internasional tidak hanya hubungan antar negara saja, melainkan di dalamnya terdapat individu yang secara signifikan terlibat dalam interaksinya (Jackson & Sorensen, 1999). Komunikasi juga terlihat dari adanya interaksi dengan kelompok masyarakat swasta. Hubungan antara negara, individu, dan kelompok masyarakat swasta yang saling tumpang tindih dan menjadi kooperatif ini dikenal dengan jaring laba-laba. Dengan meluasnya hubungan transnasional ini akan membawa kehidupan yang lebih damai.

Relative Gain versus Absolute Gain
Institusi dan organisasi internasional dianggap sebagai suatu elemen penting dalam hubungan internasional baik oleh neorealis dan neoliberalis. Institusi dan organisasi diciptakan untuk mengakomodasi negara-negara dan aktor-aktor lainnya untuk bekerjasama. Namun, neorealisme dan neoliberalisme memiliki perspektif yang berbeda dalam kerjasama yang terjalin. Dalam perspektif neorealisme, eksistensi institusi dan organisasi internasional diakui. Neorelaisme tidak menyangkal semua kemungkinan bagi kerjasama antar negara. namun, mereka berpendapat bahwa negara akan selalu berusaha memaksimalkan kekuatan relatif dan mempertahankan otonominya (Jackson & Sorensen, 1999). Pemaksimalan kekuatan relatif ini dikarenakan masing masing negara memiliki kapabilitas dan kapasitas yang berbeda daam hal power. Perbedaan kapabilitas dari negara-negara membentuk sebuah struktur yang hirarkis dalam tatanan dunia yang anarkis (Donnelly, 2005). Adanya perbedaan kapabilitas kekuatan menempatkan mereka dalam keadaan selalu cemas. Ketika mereka selalu cemas dengan negara lain yang memiliki kekuatan yang berbeda, maka mereka akan membuat kesepakatan-kesepakatan yang dapat digunakan untuk meredam kecemasan dan ketakutan. Perbedaan kapasitas dan kapabilitas kekuatan yang dimiliki masing-masing negara tentu saja tidak bisa menghasilkan suatu kesepakatan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Ada salah satu pihak yang akan lebih diuntungkan karena memiliki power lebih besar. Hal ini lah yang disebut dengan relative gains.

Relative gains menurut neorealis ini kemudian dibantah oleh kaum neoliberalis yang beranggapan bahwa kerjasama dan interaksi antar negara yang terjadi akan memberikan keuntungan bagi semua piha yang terlibat. Inilah yang disebur dengan absolute gains. Negara akan memaksimalkan kerjasama untuk mencapai keamanan serta kemakmuran (Burchill, 2005). Adanya interdependensi kompleks membuat negara-negara membutuhkan wadah untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan mereka. Liberalisme institusional menerangkan hal tersebut, bagaimana sebuah institusi atau organisasi dapat menjadi aktor hubungan internasional. Kerjasama tersebut dapat dan selayaknya disandarkan pada sebuah institusi/organisasi (Burchill, 2005). Institusi/organisasi internasional diyakini mampu menjembatani masalah internasional dan kemudian menyelesaikannya. Penyelesaian masalah ini didasari adanya rasa yang berkenaan dengan ketakutan, ketidakpercayaan, dan kecemasan antar negara. Dengan demikian hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dapat tercapai dan absolute gain terpenuhi.

Agenda dan Survivalitas
Perbedaan perspektif akan proses dan hasil yang diperoleh dalam kerjasama menurut neorealisme dan neoliberalisme juga membawa perbedaan terhadap isu dan agenda yang diperjuangkan oleh keduanya. Dengan adanya perbedaan kapabilitas kekuatan dan adanya kecemasan diantara negara-negara, maka kerjasama yang terjadi adalah kerjasama untuk mengurangi kecemasan tersebut dan menyeimbangkan kekuatan demi tercapainya suatu keamanan dunia dan terjaganya eksistensi negara. Isu-isu keamanan menjadi hal sering kali dibahas oleh para neorealis dalam mencapai sebuah perdamaian. Negara-negara akan beraliansi sebagai reaksi atas perbedaan kapabilitas kekuatan untuk mereduksi kecemasan yang ada diantara mereka (Donnelly, 2005). Isu lain yang paling populer adalah tentang kelebihan sistem bipolar dalam menjaga perdamaian dunia daripada sistem multipolar yang dijabarkan secara luas oleh Mearsheimer. Ada beberapa alasan mengapa sistem bipolar dianggap baik dalam menjaga stabilitas dan keamanan dunia (Jackson & Sorensen, 1999). Pertama, jumlah konflik negara-negara dengan kekuatan besar lebih sedikit, dan hal itu akan mengurangi kemungkinan perang negara-negara kekuatan besar. Kedua, penangkalan yang efektif akan lebih mudah dilakukan karena negara-negara besar yang terlibat akan lebih sedikit. Terakhir, kesalahan perhitungan dan pengambilan tindakan dapat diminimalisir karena hanya ada dua kekuatan besar yang mendominasi sistem tersebut.

Dalam perspektif neoliberalisme, stabilitas dan perdamaian dunia dicapai dengan cara yang berbeda. Konflik antar negara dapat direduksi dengan menciptakan kepentingan bersama dalam bidang ekonomi dan perdangangan (Burchill, 2005). Kerjasama yang diakomodasi oleh institusi dan organisasi internasional yang menitikberatkan pada perdagangan merupakan bentuk dari adanya interdependensi internasional. Interdependensi internasional ini kemudian tercermin oleh adanya transaksi global yang melintasi batas negara, contohnya perdagangan dan investasi asing (Beitz, 1979). Dengan demikian, perspektif neoliberalisme menjunjung tinggi adanya kerjasama dalam bidang ekonomi dan perdangangan. Perdagangan dan kerjasama ekonomi ini merupakan refleksi dari absolute gains dari para aktor-aktornya untuk mendapatkan perdamaian yang abadi. Agenda lain dari kaum neoliberalis sebagai upaya mencapai perdamaian dunia adalah dengan adanya demokratisasi sistem negara. Kemenangan AS atas Uni Soviet dalam perang dingin membawa perubahan pada negara-negara pada sistem internasional. Negara-negara yang ada pada sistem internasional kebanyakan menganut sistem demokrasi. Neoliberalisme percaya bahwa sesama negara demokrasi tidak akan melakukan peperangan (Jackson & Sorensen, 1999). Hal ini dikarenakan budaya domestik mereka dalam menyelesaikan permasalahan selalu menjunjung tinggi demokrasi dan musyawarah yang merupakan jalan damai. Dengan demikian apabila ada permasalahan internasional yang melibatkan banyak negara demokrasi, maka nilai-nilai dasar demokrasi lah yang pertama kali diterapkan sehingga tetap menjunjung tinggi perdamaian.

Melihat penjelasan di atas dapat ditarik benang merah bahwa antara neorealisme dan neoliberalisme terdapat beberapa hal yang bedekatan antara keduanya. Adanya pengakuan mengenai negara sebagai state actor dan organisasi, institusi, dan individu sebagai non-state actor membuat perbedaan antara neorealisme dan neoliberalisme tidak terlalu kontras layaknya perbedaan antara realisme dan liberalisme klasik. Perbedaan keduanya hanya terletak pada tingkat signifikansi masing-masing aktor menurut sudut pandang masing-masing pendekatan. Persamaan persepsi akan pentingnya kerjasama juga mencerminkan bahwa kedua teori ini sudah saling “mendekati”, yang membuatnya berbeda hanyalah proses dan hasil yang akan diperoleh kemudian yang dijelaskan oleh masing-masing pendekatan. Dengan adanya perbedaan pada proses dan hasil, membuat keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai agenda dan survivalitas dalam rangka mencapai perdamaian dunia. Adanya persamaan persepsi dalam beberapa hal menjadikan neorealisme dan neoliberalisme sebagai dua pendekata yang saling mendekati.


Referensi

Beitz, Charles R. 1979. Political Theory and International Relations. New Jersey: Princeton University Press.
Donnelly, J., & Burchill, S. 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
Jackson, R., & Sorensen, G. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. New York: Oxford University Press.

Jumat, 16 April 2010

Ketika Konsepsi Power Analog Dengan Cinta

Dalam menjalankan hubungan internasionalnya, suatu aktor hubungan internasional tentu saja akan menjadikan kepentingan nasional sebagai landasan fundamental dan tujuan utama dalam setiap pengambilan kebijakan. Untuk mencapai itu semua, suatu aktor menggunakan sebuah instrumen yang disebut sebagai National Power atau kekuatan nasional. Kekuatan nasional didefinisikan sebagai payung konsep yang menunjukkan segala sesuatu yang bisa menentukan dan memelihara kekuasaan aktor A terhadap aktor B (Morgenthau, 1978). Power menurut Morgenthau memiliki tiga unsur yaitu kekuatan, pengaruh, dan kekuasaan. Ketiganya betujuan untuk menjaga suatu kontrol sebuah aktor terhadap aktor lain. Sebuah aktor dikatakan memiliki power atas aktor lain ketika aktor lain itu bersedia memenuhi apa yang menjadi keinginan aktor tersebut. Implementasinya adalah ketika aktor A dikatakan memiliki power atas aktor B jika aktor B bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh aktor A.

Apa yang telah diungkapkan di atas sangatlah analog dengan Cinta. Merujuk pada definisi Morgenthau tentang konsep Power, Cinta adalah sesuatu yang dapat membuat aktor A mau untuk melakukan apa yang diinginkan oleh aktor B karena antara aktor A dan aktor B terdapat sebuah ikatan batin. Menarik sekali ketika Cinta kemudian disamakan dengan konsep Power yang sebenarnya keduanya memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Namun, itulah realita yang terjadi di masyarakat. Selain ditinjau secara filosofis dari definisi, ada hal lain yang membuat konsepsi Power dan Cinta menjadi analog. Sebuah negara tidak bisa begitu saja dikatakan memiliki power atas negara lain. Misalnya Amerika, tidak bisa begitu saja dikatakan bahwa Amerika memiliki power atas negara lain jika tidak ada interaksi antara kedua negara tersebut. Entah itu melalui perang atau diplomasi. Amerika dikatakan meimiliki power atas Irak karena Amerika berhasil menang dalam perang melawan Irak. Begitu halnya dalam konsepsi Cinta. Cinta hanya akan muncul setelah adanya interaksi antara dua aktor. Interaksi tersebut menyebabkan munculnya benih-benih cinta. Namun, satu hal yang sedikit berbeda disini adalah cinta akan timbul ketika adanya interaksi yang intens antara dua aktor. Berkaca pada pepatah jawa “Witing trisna jalaran saka kulina” menunjukkan bahwa timbulnya harus diawali dengan interaksi yang intens. Ketika interaksi sudah terjadi dan benih-benih cinta sudah timbul, maka aktor-aktor yang terlibat didalamnya akan dapat saling mempengaruhi tindakan satu sama lain. Jika diantara aktor-aktor tersebut mau melakukan apa yang diinginkan oleh aktor lain, maka dapay dikatakan bahwa diantara aktor-aktor tersebut telah terdapat sebuah konsepsi Cinta.

Menilik dari kesamaan filosofis dari definisi dan kesamaan praktis dari pengaktualisasian antara konsepsi Power dan Cinta, dapat ditarik kesimpulan bahwa antara konsepsi Power dan Cinta terdapat sebuah hubungan yang analog.

Makalah, Paper, Jurnal : Bentuk Kolaborasi Kooperatif atau Kapitalisme Eksploitatif?

Sebagai bagian dari sebuah civitas akademika dan penstudi, tentu kita tidak pernah lepas dari tugas yang selalu diberikan oleh pengajar baik dalam tataran siswa maupun mahasiswa. Siswa kerap kali mendapat tugas dalam bentuk pembuatan makalah, portofolio, dll. Sedangkan pada tingkat mahasiswa, pemberian tugas lebih bervariasi, mulai dari paper, jurnal, hingga makalah. Dalam pemberian tugas, staf pengajar (guru atau dosen) pun memberikan porsi yang bervariasi sehingga hal ini menimbulkan beragam reaksi dari para penstudi. Ada yang bereaksi positif terhadap hal ini, ada pula yang menganggap pemberian tugas terlalu berlebihan sehingga mendekati bentuk “eksploitasi” yang dilakukan oleh para pengajar terhadap penstudinya. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai adanya perbedaan pandangan yang terjadi diantara para penstudi dan pendekatan identik dan analog yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena ini.

Pemberian tugas berupa pembuatan jurnal, paper, dan makalah dipandang sebagai sesutau yang menguntungkan. Mereka hirau akan banyaknya tugas yang diberikan kepada mereka. Bahkan mereka berkeyakinan bahwa dengan semakin banyaknya tugas yang diberikan maka interaksi antara pengajar dan penstudi akan semakin sering. Seringnya interaksi ini diyakini sebagai interaksi yang kontributif dan kooperatif. Hal ini tentu saja dapat dijelaskan dengan pendekatan liberalisme yang menjunjung tinggi rasionalitas dan konflik dapat diselesaikan dengan cara yang kooperatif dan kontributif antar aktornya. Jika diderivatifkan kepada ranah akademik, mereka yakin bahwa pengajar akan selalu rasional dalam memberikan tugas. Para penstudi pun berlaku demikian, rasionalitas dalam menerima dan mengerjakan tugas akan dijunjung tinggi. Adanya interdependensi dari masing-masing aktornya pun tersaji dalam ranah akademik. Hal ini diwujudkan dengan adanya diskusi-diskusi baik dalam kelas maupun di luar kelas, baik dilakukan oleh pengajar dengan penstudi maupun atar penstudi. Pada akhirnya, para penstudi yang berpandangan demikian percaya bahwa kerjasama antar aktor-aktor akademik dapat tercapai dengan baik dan berujung pada simbiosis mutualisme diantara mereka.

Di lain pihak, ada kelompok penstudi yang beranggapan bahwa tugas-tugas yang selama ini mereka terima sangat memberatkan dan lebih ekstrimnya, meminjam istilah pendekatan marxisme, hampir mendekati bentuk “kapitalisme eksploitatif”. Betapa tidak, penstudi yang beranggapan seperti ini merasa bahwa para pengajar yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan menjalankan kurikulum yang diberikan kepada penstudi kerap kali bertindak melampaui batas. Kondisi seperti ini dapat dijelaskan melalui pendekatan marxisme yang membagi struktur sosial menjadi dua kelas, borjuis dan proletar. Kaum borjuis dalam ranah akademik dapat dianalogikan dengan para pengajar, karena memiliki modal (capital) berupa kewenangan dalam pemberian tugas dan pemberian nilai. Kaum proletar dapat dianalogikan dengan para penstudi yang tidak memiliki capital seperti yang dimiliki oleh para pengajar. Hal ini menyebabkan adanya dependensi dari para penstudi terhadap para pengajar. Hal ini lah yang menurut sebagian penstudi merupakan cikal bakal terhadap timbulnya “kapitalisme eksploitatif”. Manifestasinya adalah penstudi kerap kali mendapatkan tugas yang teramat berat dan banyak namun tidak diimbangi dengan pengertian dari pengajar berupa pemberian nilai yang layak terhadap hasil tugas mereka. Lebih ekstrim lagi, mereka tidak mendapatkan pemahaman yang benar-benar mendalam tentang tugas yang mereka kerjakan karena tugas yang mereka dapat terlalu banyak dan serinng kali terbebani oleh deadline pengumpulan tugas.

Melihat dari penilaian dua kubu di atas mengenai posisi dan cara pandang mereka terhadap fenomena-fenomena pemberian tugas yang selama ini diterima, dapat disimpulkan bahwa pandangan tersebut bersifat subyektif, tergantung bagaimana setiap individu melihat fenomena ini. Namun, satu hal yang menjadi penting entah menggunakan pendekatan liberalisme atau marxisme untuk melihat fenomena tersebut, tugas-tugas yang diterima haruslah disikapi secara profesional sebagai seorang akademisi yang merupakan bagian dari civitas akademika.

“Congress in session is Congress on public exhibition, while Congress in committee rooms is Congress at work” (Woodrow Wilson)

Dalam lembaga legislatif pada sistem pemerintahan Amerika Serikat, terdapat sebuah kongres yang terbagi dalam dua bagian, yaitu senat dan lembaga perwakilan rakyat atau House of Representative. Kedua bagian legislatif ini bekerja secara sinergis dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang kontributif bagi rakyat Amerika Serikat.

Setidaknya hal itulah yang ingin disampaikan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson dalam kalimatnya yang tercantum di atas. Sidang kongres yang sifatnya terbuka untuk umum, menyajikan beberapa drama dan intrik layaknya sebuah pertunjukan. Namun, dibalik proses sidang yang terbuka untuk umum itu, terdapat sebuah “drama” yang lebih besar dan fundamental yang tersaji di dalam kongres sebagai badan legislatif.

Untuk melakukan tugas-tugas legislatif mereka, para anggota senat dan dewan perwakilan dibagi menjadi beberapa komite khusus. Dalam komite itu, para senator dan perwakilan dapat melakukan proses-proses musyawarah, kompromi, bahkan lobbying untuk mencapai suatu kesepakatan yang nantinya dapat dijadikan sebagai kebijakan. Tanpa musyawarah dan kompromi tersebut, perselisihan tidak dapat diselesaikan. Koalisi dukungan pun tidak dapat dibangun, dan undang-undang tidak dapat diundangkan. Bagian kecil dari legislator ini merupakan bagian yang esensial bagi segala proses yang terjadi dalam kongres. Peran dan partisipasi dari partai baik yang mayor maupun minor ditambah dengan hadirnya beberapa kelompok kepentingan juga turut membuat atmosfer yang tersaji dalam kongres semakin hebat. Belum lagi perdebatan-perdebatan yang dilakukan oleh para legislator baik dalam perdebatan formal yang dilakukan oleh anggota dewan perwakilan hingga filibuster yang dapat dilakukan oleh anggota senat. Woodrow Wilson menganalogikan hal ini sebagai pekerjaan yang sesengguhnya bagi para legislator dalam kongres, terutama bagi para komite yang mempunyai tugas lebih dalam mengakomodasi seluruh aspirasi rakyat Amerika Serikat. Picturizing terhadap keadaan kongres dalam sebuah komite ini menunjukkan kepada kita bahwa kerja keras para legislator tersaji di sini. Semua tindakan dan perilaku para legislator dalam setiap prose s kongresional ini tidak lain untuk mencapai satu suara tentang satu atau beberapa usulan sebagai aspirasi rakyat Amerika Serikat sehingga dapat diaplikasikan dalam sebuah kebijakan yang tepat bagi rakyat Amerika Serikat.


Referensi :
Melusky, Joseph Anthony. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education.

“Government Of The People, By The People, For The people, Shall Not Perish From The Earth.” (Abraham Lincoln)

Amerika Serikat memilki keunikan dalam sistem federal pemerintahannya, dimana kekuasaan dan kewenangan dijalankan oleh pemerintahan lokal, negara bagian, dan nasional. Dengan memiliki pemerintahan lokal dan negara bagian, warga Amerika bisa melihat dalam jarak dekat segala tindakan dan perilaku pejabat yang mereka pilih. Mereka bisa menyampaikan usulan program dan kebijakan secara langsung pada orang-orang yang menetapkan serta melaksanakan undang-undang tersebut. Hasil akhir dari pemilihan umum adalah seleksi pejabat-pejabat yang bertindak atas nama rakyat. Hal ini sangat terlihat dalam dewan legislatif negara bagian atau dalam kongres dimana para pejabatnya dalam peran mereka sebagai anggota parlemen mewakili seluruh negara bagian atau wilayah dalam negara bagian yang disebut distrik.

Sistem seperti ini menjadi unik karena ada pembagian yang berbeda dari masing-masing delegasi dari setiap dewan perwakilan. Di Kongres misalnya, jatah senator untuk negara bagian adalah dua orang menurut Konstitusi. Dengan kondisi seperti ini, arti politik dari negara-negara bagian yang kecil tidak akan hilang begitu saja hanya dikarenakan jumlah penduduknya yang sedikit. Dengan memiliki jumlah representasi yang sama dari masing-masing negara bagian, maka posisi mereka tetap diperhitungkan dalam perpolitikan Amerika Serikat

Sementara di Dewan Perwakilan Rakyat jatah tiap negara bagian bervariasi menurut jumlah penduduknya. Suatu negara bagian minimal memiliki satu perwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan untuk saat ini jumlah perwakilan terbanyak dimiliki oleh California sebanyak 35 orang. Ketentuan bagi Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat didasarkan pada hasil kompromi pada Konvensi Konstitusi pada tahu 1787.

Dengan sistem seperti ini membuat pemerintahan demokrasi yang dijunjung oleh Amerika Serikat terlihat menjadi lebih sempurna dengan pembagian dewan perwakilan yang berbeda dengan ketentuan yang berbeda pula. Pemerintahan demokrasi seperti ini lah yang akan dapat bertahan lama tanpa adanya kekacauan yang destruktif karena aspirasi rakyat dapat terakomodasi dengan baik.

Sumber :
Urofsky, Melvin I. Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi dalam buku Demokrasi.Office of International Information Programs US Department of State.
Stephenson Jr, D. Gris. Prinsip-Prinsip Pemilihan Demokratis dalam buku Demokrasi.Office of International Information Programs US Department of State

“A War For A Great Principle Ennobles A Nation” (Albert Pike)

Setelah Amerika Serikat mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1776 dan dikeluarkannya Article of Confederation pada tahun 1776, terjadi berbagai macam perbincangan bahkan perdebatan tentang bentuk pemetintahan Amerika Serikat dan pendistribusian kekuasaan dan kewenangan. Hal ini dikarenakan pembagian kewenangan yang tertera pada Article of Confederation sungguh tidak spesifik sehingga diperlukan pembahasan lebih lanjut. Contohnya, pada artikel tersebut tidak menyatakan untuk memberikan kesempatan pada presiden dari kalangan independen sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kemonarkian. Selain itu, dalam artikel ini juga mencamtumkan mengenai pendirian kongres namun memiliki tingkat kewenangan yang terbatas. Hal ini lah yang memicu pembahasan lebih lanjut mengenai nilai dasar dan bentuk pemerintahan Amerika Serikat.

Perdebatan mengenai nilai dasar pemerintahan diawali adanya usulan dari kaum republikan yang percaya bahwa ada orang yang layak menjadi raja. Oleh karena itu, diusulkanlah suatu pemerintahan campuran dengan unsur pemerintahan populer (tidak terlalu banyak memberi kekuasaan pada orang miskin) namun tetap memberi kekuasaan cukup banyak pada orang kaya. Republikan juga menyutujui untuk dihapuskannya perbudakan. Pemikiran ini kemudian memicu pemikiran lain yaitu dari kaum demokrat (yang sekarang menjadi salah satu dari 2 partai politik besar di Amerika Serikat: Republik dan Demokrat). Pada dasarnya republik dan demokrat berangkat dari keinginan yang sama yaitu menjadikan demokrasi sebagai nilai dasar, namun keduanya memiliki perbedaan pada delegasi di pemerintah. Delegasi dari republik akan menjalankan pemerintahan yang mengatasnamakan masyarakat, padahal perwakilan dari republik tidak serta merta dipilih oleh seluruh masyarakat.

Pada konteks bentuk pemerintahan juga terdapat perdebatan. Kaum federalis yang dipelopori oleh Hamilton menginginkan bentuk pemerintahan yang terpusat sedangkan kaum anti federalis yang dipelopori oleh Jefferson menginginkan bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi. Hamilton dan federalis takut akan anarki dan berpikir mengenai ketertiban, sedangkan Jefferson takut akan tirani dan berpikir mengenani kebebasan.

Dibalik perdebatan yang terjadi, tersimpan sebuah manfaat dan niat yang baik bagi bangsa Amerika Serikat. Perdebatan mengenai nilai dasar dan bentuk pemerintahan Amerika Serikat sejatinya untuk mencapai sesuatu yang terbaik bagi sebuah bangsa yang besar. Jadi, yang dikatakan oleh Albert Pike, pengacara ternama Amerika Serikat, “A War For A Great Principle Ennobles A Nation” adalah benar. Perdebatan yang terjadi demi tercapainya sebuah prinsip-prinsip yang terbaik adalah salah satu upaya untuk memuliakan bangsanya.

Sumber :
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.2004. Sejarah Amerika
Melusky, Joseph Anthony. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. USA : McGraw-Hill Higher Education

“Seorang Patriot Harus Selalu Siap Untuk Membela Negaranya Melawan Penjajah” (Edward Abbey)

Amerika sebagai negara dan bangsa yang besar tidak serta merta tiba-tiba menjadi negara yang superpower. Dibalik kedigdayaan Amerika Serikat sekarang, tersimpan sejarah tentang sosok-sosok patriot Amerika Serikat yang rela berjuang demi berdirinya Amerika Serikat sehingga Amerika Serikat dapat menjadi bangsa dan negara yang besar seperti sekarang ini. Kutipan di atas diambil dari pernyataan Edward Abbey, seorang penulis dari Amerika Serikat. Kutipan tersebut mencerminkan bahwa seorang patriot atau pahlawan adalah mereka yang siap dan mampu untuk membela negaranya melawan penjajah atau penguasa.

Dalam sejarah berdirinya Amerika Serikat, ada beberapa peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang menjadi tonggak kemerdekaan Amerika Serikat dari penjajahan Kerajaan Inggris. Setiap peristiwa memiliki tokoh-tokoh sentral yang kemudian menjadi nilai-nilai dasar bagi bangsa Amerika Serikat.

Dalam perjalanan revolusi kemedekaan Amerika, kita mengenal beberapa tokoh yang berjuang membela koloni dari penjajahan kerajaan Inggris. Bahkan ada pula sekelompok aktivis yang menamai mereka dengan nama “Sons Of Liberty”. Kelompok masyarakat ini juga bersuara lantang untuk berjuang memerdekakan Amerika Serikat.
Selain adanya kelompok aktivis tersebut juga ada pejuang perseorangan, misalnya Thomas Paine dan Samuel Adams. Mereka berjuang dengan menggunakan media cetak. Mereka menuliskan kritik, hujatan, dan rasa ketidakpuasan mereka terhadap kerajaan Inggris yang kemudian dipublikasika melalui pamflet. Yang terkenal dari Paine adalah tulisan beliau yang berjudul “Common Sense”.

Selain ada Thomas Paine dan Samuel Adams, terdapat tokoh sentral bagi berlangsungnya revolusi Amerika. Tidak lain dia adalah George Washington. George Washington ialah Presiden Amerika Serikat pertama dan menjabat pada tahun 1789 sampai 1797. Pada tahun 1776 Revolusi Kemerdekaan Amerika pecah dan Kongres Kontinental mengeluarkan Deklarasi Kemerdekaan dan memisahkan diri dari Kerajaan Inggris. Kepemimpinan George Washington berkontribusi banyak dalam keberhasilan daerah-daerah jajahan di Amerika memperjuangkan kemerdekaannya. Pada tahun 1783 Inggris mengakui kemerdekaan Amerika Serikat, George Washington keluar dari tentara. Empat tahun kemudian pada 1787 ia menjadi Ketua Konvensi Konstitusional. Pada tahun 1789 setelah Konstitusi disahkan, ia dipilih dengan suara bulat menjadi Presiden Amerika yang pertama. Ia menjalankan dua masa jabatan dari tahun 1789 hingga tahun 1797, didampingi oleh John Adams sebagai wakil presiden. Dalam pidato perpisahannya pada tahun 1797, ia mengatakan kepada rakyat Amerika Serikat agar meninggalkan rasa kedaerahan yang berlebih-lebihan. Pada tahun 1799, George Washington meninggal dunia dalam usia 67 tahun di Mount Vernon, setelah tiga tahun meletakkan jabatannya sebagai presiden.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang patriot sejati adalah mereka yang mau bejuang demi negaranya melawan segala tindakan yang mengancamnya.

Sumber :
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.2004. “Sejarah Amerika”

“Revolusi Terjadi Sebelum Perang Dimulai. Revolusi Berada di Hati dan Pikiran Rakyat.” (Mantan Presiden John Adams,1818)

Amerika Serikat adalah sebuah negara besar dengan sejuta sejarah yang menyertai pembentukannya. Quote dari mantan Presiden Amerika yang juga merupakan salah satu pendiri Amerika di atas merefleksikan sejarah perjuangan bangsa Amerika yang juga menjadi sebuah warisan yang dapat membentuk karakter khas Amerika. Amerika Serikat berada pada benua Amerika terutama bagian utara dengan penduduk asli pribumi suku Indian. Penduduk Amerika Serikat yang sekarang bukanlah merupakan penduduk asli negara super power tersebut, melainkan imigran. Imigran tersebut bermukim bermukim di beberapa wilayah di Amerika. Kebanyakan pemukim yang datang ke Amerika pada abad ke-17 adalah orang Inggris, tetapi ada juga orang Belanda, Swedia, Jerman di kawasan tengah, sejumlah kecil Huguenot Prancis (kaum Protestan) di South Carolina dan di tempat-tempat lain, budak-budak dari Afrika, khususnya di kawasan Selatan, dan orang Spanyol, Italia, dan Portugis, yang tersebar di seluruh wilayah jajahan. Ribuan imigran tersebut berbondong-bondong meninggalkan Eropa untuk melarikan diri dari bencana perang. Banyak juga yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari kemiskinan yang diakibatkan oleh penindasan pemerintah dan kekejaman para tuan tanah serta mencari kebebasan memeluk agama dan politik.

Dalam perkembangannya, perang kemerdekaan Amerika meletus. Penyebab meletusnya perang ini adalah munculnya paham kebebasan dalam bidang politik, munculnya paham kebebasan dalam bidang perdagangan, adanya pungutan pajak tinggi oleh pemerintah Inggris terhadap koloni yang kemudian disusul peristiwa The Boston Tea Party pada tahun 1774. Dalam perang, rakyat Amerika dipimpin oleh George Washington menghadapi Inggris. Pertempuran pertama terjadi di Lexington dan Concord. Pada tahun 1777, pasukan Inggris menderita kekalahan di Saratoga, dan pada tahun 1783 Inggris menyerah dalam perdamaian di Versailles, Paris (Perancis), Inggris mengakui kemerdekaan Amerika Serikat pada tahun 1783. Proklamasi Kemerdekaan Amerika Serikat ( Declaration of Independence ) disampaikan pada 4 Juli 1776. Sementara perang berkobar, berlangsung konggres kontinental I, II. III di Philadelphia. Dalam konggres III oleh 13 koloni Amerika, 4 Juli 1776, diumumkan proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat terkenal dengan nama “Declaration of Independence” yang menyebutkan hak-hak asasi manusia dan pemerintahan dijunjung tinggi.

Kendati demikian, beberapa orang percaya bahwa sejarah Revolusi Amerika telah lama dimulai sebelum tembakan pertama meletus pada tahun 1775. Inggris dan Amerika belum jelas-jelas berseberangan hingga tahun 1763, lebih dari satu setengah abad setelah pendirian pemukiman permanen pertama di Jamestown yang merupakan koloni penghasil tembakau. Di Massachussets kebebasan beragama bergejolak. Tidak semua suka pada hukum yang kolot dan kaku dari kaum Puritan sehingga membuat Williams keluar dari Massachussets untuk mendirikan koloni baru dimana kebebasan beragama benar-benar dipraktekkan. Di New Netherland dan Maryland, perdagangan dan pertanian berkembang. Koloni-koloni ini berkembang pesat dalam bidang ekonomi dan kebudayaan, serta secara nyata sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri selama bertahun-tahun. Pada tahun 1760an, gabungan penduduk mereka telah melebihi 1.500.000, enam kali lipat dibandingkan tahun 1700. Hal ini menujukkan betapa sebenarnya revolusi memang telah terjadi jauh sebelum revolusi Amerika itu sendiri dikumandangkan.
Referensi

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.2004. “Sejarah Amerika”

George Washington

Dibalik kedigdayaan Amerika Serikat sekarang ternyata menyimpan sejarah yang luar biasa menarik. Amerika Serikat memiliki seorang yang sangat berjasa dan akan selalu dikenang sebagai bagian dari sejarah Amerika, George Washington. George Washington lahir pada 22 Februari 1732. Kehidupan masa kecil George Washington tidak banyak yang diketahui. Selain dibesarkan dari keluarga bangsawan di Virginia, dalam pendidikan formalnya, ia memperlihatkan minatnya dalam matematika, ilmu mengukur tanah, budaya-budaya klasik, dan aturan-aturan tata krama. Kombinasi dari beberapa minat ini membuatnya tumbuh sebagai orang muda yang pandai dalam bidang seni. Lebih dari itu, George Washington beranggapan bahwa manusia, kehidupan perkebunan, mengunjungi sungai, lahan, dan hutan merupakan pelajaran utama baginya. Terkait dengan kariernya di masa depan, sang ibu semula menginginkan George Washington berkarier di Angkatan Laut Inggris. Tetapi, keinginan ini dicegah oleh laporan saudara sang ibu dari Inggris.

Ketertarikannya dalam bidang seni militer dan ekspansi bersifat saling mengisi dalam perjalanan hidupnya. Anak tertua Agustine Washington dari isteri keduanya, Mary Ball Washington ini, memilih hidup bersama saudara tirinya Lawrence, setelah sang ayah meninggal. Sosok Lawrence secara tidak langsung berperan besar dalam membangun karier George Washington di masa depan. Ketika Lawrence meninggal, sebelumnya ia melimpahkan kuasa pemeliharaan semua harta peninggalannya di Mount Vernont kepada George. Lawrence juga meminta George untuk mengantikan posisinya sebagai ajudan masalah umum di wilayah tanah jajahan. Tanggung jawab ini termasuk mengawasi milisi-milisi di Virginia. Pada tahun 1753, George Washington diperintahkan Gubernur Robert Dinwiddie untuk membawa misi mengirim ultimatum Inggris kepada komandan Perancis Fort le Boeuf di Lembah Sungai Ohio. Dalam laporannya, kepada sang Gubernur George Washington mengambarkan kesulitan dan bahaya yang dialaminya. Setahun kemudian, ia ditugaskan sebagai Kolonel, dalam perang melawan Perancis dan Indian.

Pada akhir tahun 1754, didorong oleh kemarahan karena diskriminasi antara tentara yang direkrut dari Inggris, dengan tentara yang direkrut di (Amerika Serikat) tanah jajahan dalam hal kepangkatan dan bayaran, George pun mengundurkan diri dari jabatannya. Ia kembali mengolah tanah perkebunannya di Mount Vernont. Tetapi tahun berikutnya, ia secara sukarela kembali ke dalam tugas kemiliteran, dan bergabung dengan Jenderal Inggris Edward Braddock melakukan ekspedisi menentang Perancis. Meskipun George Washington hampir tewas dalam misi ini, 4 buah peluru merobek mantelnya, serta 2 kuda di bawahnya tewas tertembak, namun, misi ini berhasil membuat reputasi George Washington di bidang kemiliteran bertambah cemerlang. Pada tahun 1755 di usia yang ke 23 tahun, ia pun dipromosikan menjadi Kolonel, dan ditempatkan sebagai Pimpinan Militer Tertinggi Virginia.

Setelah memastikan jika daerah perbatasan Virginia aman dari kemungkinan serangan Perancis, pada tahun 1758 Washington kembali meninggalkan dunia militer. Washington kembali ke Mount Vernon, tanah perkebunannya. Setahun kemudian Washington menikah dengan Martha Dan Dridge Custis janda dengan dua anak. Di tahun yang sama, Washington mulai memasuki dunia politik. Karier politik pertama yang dirintisnya, menjadi ketua suatu organisasi yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Inggris di Virginia. Pertama-tama, ia mengharapkan rekonsiliasi dengan Inggris, lalu menentang pejabat-pejabat militer, juga menentang kebijakan-kebijakan Inggris dalam masalah tanah.

Pandangan George Washington terhadap pendudukan Inggris sama seperti rekan-rekannya yang lain, yang mengolah tanah perkebunan. Washington merasa dieksploitasi oleh pedagang-pedagang Inggris yang merintangi ruang gerak mereka dengan peraturan-peraturannya. Pertentangan dengan pemerintah kolonial Inggris pun bertambah tajam, Washington secara lantang menyuarakan perlawanan terhadap pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah Inggris ini.

Pada bulan Februari 1775, pemerintah Inggris mendeklarasikan Massachusetts sebagai sarang pemberontak. Pada bulan Mei 1775 pertemuan Konggres Continental yang kedua diadakan di Philadelphia. Ketika itu, pertempuran antara tentara Inggris dengan para milisi di Lexington, dekat Boston tengah terjadi. Tentara Inggris disandera oleh sekitar 14000 milisi dari New England. George Washington yang hadir dalam pertemuan itu, sebagai delegasi dari Virginia, adalah satu-satunya delegasi yang berpakaian seragam tentara. Ia menyuarakan dukungannya terhadap Massachusetts dan kesiagaannya untuk berperang melawan Inggris. Pada tahun yang sama bulan Juni, Konggres membentuk Pasukan Continental dan menggabungkan pasukan ini ke dalam Pasukan Rakyat New England di sekitar Boston. Dan Konggres mengangkat George Washington sebagai Pimpinan Tertinggi Pasukan Continental. Washington mengambil alih komando, bahkan membayar para milisi tersebut dan memberikan bantuan-bantuan secara umum. Ia membakar semangat mereka untuk berjuang meraih kemerdekaan dengan strategi perang gerilya melawan penjajahan Inggris selama 6 tahun. Strategi ini ia pelajari dari peperangan yang terjadi antara Inggris dan Perancis.

Setelah perang berakhir, untuk kesekian kalinya ia kembali ke Mount Vernont, tanah perkebunannya yang mengalami banyak kemunduran selama masa absensinya. Ia kembali mengolah tanah perkebunannya dengan menambah jumlah rumah kaca, jumlah penggilingan gandum, tempat penyimpanan es, dan tanah baru untuk perluasan perkebunannya. George sangat berpengalaman dalam menggunakan mesin penggilingan, berburu, dan mengkaji perkembangan navigasi di sungai Potomac.

Pada tahun 1789, Washington dipilih secara bulat sebagai Presiden Amerika Serikat yang pertama oleh 55 delegasi yang datang dari 13 negara bagian. Washington terpilih kembali untuk yang kedua kalinya pada tahun 1792, tetapi menolak ketika ia dicalonkan untuk yang ketiga kalinya. Selama masa kepresidenannya, yang pertama-tama ia lakukan adalah mengadakan perjalanan keliling ke negara-negara bagian di New England dan negara-negara bagian di Selatan. Perjalanan ini ia harapkan dapat mencegah perpecahan bangsa yang baru lahir ini.

Menilik sisi religiusitasnya, George Washington termasuk anggota gereja Anglican. Tetapi ia tidak berpartisipasi aktif dalam gereja tersebut. George Washington percaya jika agama diperlukan untuk menopang standart moralitas di masyarakat. Sebagai seorang pemimpin nasional, ia berhasil menegakkan hak-hak dan kebebasan semua sekte untuk menjalankan keyakinan mereka secara sejajar di depan hukum.
George Washington merupakan kombinasi pribadi yang unik, memiliki pengetahuan luas dalam hal bisnis, peperangan, dan masalah pemerintahan. George Washington aktif mengambil bagian dalam tiga peristiwa sejarah yang berlanjut selama 20 tahun. Sejak tahun 1775, ia terus mengobarkan semangat rakyat Amerika untuk membangun negara Amerika yang merdeka. Setelah masa kepresidenannya tahun 1797, George Washington kembali ke tanah perkebunannya di Mount Vernon, dan meninggal di sana tiga tahun kemudian, karena inveksi tenggorokan.

Sumber

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.2004. “Sejarah Amerika”
http://www.forumkami.com/forum/5364-post1.html (24/03/2010)
http://www.earlyamerica.com/lives/gwlife/chapt1/ (24/03/2010)

Strategi Perang Sang Jendral Prusia

Salah satu pemikir strategi terkemuka dalam hubungan internasional adalah Carl Von Clausewitz, seorang jendral dari Prusia yang hidup antara tahun 1780-1831. Hasil pemikirannya tentang strategi tertuang daam karyanya yang bejudul “On War” yang kemudian kerap kali menjadi bahan rujukan dan referensi perang modern. Dalam bukunya, Clausewitz mencoba memberikan definisi perang menurut perspektifnya. Ia mengatakan bahwa perang tidak seharusnya dipandang sebagai hal yang kompleks, karena perang sebenarnya adalah sebuah duel antara beberapa pihak dalam skala yang lebih ekstensif, oleh karenanya, perang ditujukan untuk membuat lawan mengikuti kehendak kita (Clausewitz, 1780-1831). Dalam pandangan Clausewitz, perang adalah utilisasi kekerasan untuk memaksa lawan mengikuti kehendak kita. Perang merupakan suatu tindakan yang oppressive dan dengan demikian, satu-satunya cara adalah dengan kekerasan yang digunakan untuk melucuti senjata lawan sehingga tidak dapat lagi mereka gunakan untuk melawan kita.

Clausewitz mengingatkan bahwa dalam peperangan, seseorang bisa saja mengasumsikan bahwa mereka akan menang tanpa pertumpahan darah seperti yang pernah dijelaskan oleh Sun Tzu dalam bukunya, “Art of War”. Namun, hal ini kontradiktif dengan kondisi alamiah dan natural dari perang itu sendiri. Pihak yang melakukan hal demikian telah menciptakan kekalahannya sendiri karena tidak adanya pertimbangan kekerasan dan pertumpahan darah dalam penyusunan strategi perang dan cenderung melupakan elemen paling fundamental dalam peperangan. Clausewitz menjelaskan bahwa dalam peperangan selalu ada beberapa aksi resiprokal. Pertama, Clausewitz menjelaskan bahwa perang adalah tindakan kekerasan yang ketika mencapai puncaknya pihak yang menang akan memaksakan kehendaknya pada pihak yang kalah. Kedua, Clausewitz menjelaskan bahwa tujuan utama dari peperangan adalah melucuti total senjata lawan. Perlucutan total ini dilakukan agar kita dapat memaksakan kehendak kita kepada lawan dan jika hal ini tidak diaksanakan maka lawan akan dapt berbuat hal yang sama kepada kita sehingga kita yang akan dipaksa oleh lawan untuk memenuhi kehendaknya. Ketiga, dalam upaya mengalahkan musuh, kita dituntut untuk sealu meningkatkan kekuatan kita melebihi kekuatan bertahan musuh. Ketika kekuatan kita telah melebihi kekuatan musuh, maka akan dengan mudah bagi kita untuk segera mengalahkan musuh. Namun, musuh tentu saja memiliki pemikiran yang sama, selalu meningkatkan kemampuannya. Oleh karena itu, hal ini akan memicu timbulnya perlombaan dan persaingan peningkatan kekuatan.

Clausewitz mengungkapkan beberapa poin dalam bukunya. Salah satu hal yang fundamental adalah kenyataan bahwa perang bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan fenomena atau kejadian lain. Pemikiran ini sangat koheren dan senada dengan pendapatnya yang megungkapkan bahwa perang adalah bentuk kontinuitas dari kebijakan suatu pihak dalam bentuk aktualisasi lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Pendapatnya yang lain adalah bahwa perang tidak bisa diakhiri hanya dengan satu pukulan instan. Pukulan instan yang dimaksudkan disini adalah bahwa kita tidak bisa mengalahkan musuh kita hanya dengan sekali serangan saja. Oleh karena itu, utilisasi strategi yang telah disusun sebelumnya dengan baik menjadi teramat penting. Poin penting lain adalah bahwa hasil dalam peperangan tidaklah menjadi sesutau yang mutlak dan absolut. Ketidak-absolutan hasil dari peperangan tersebut adalah kemenangan dan kekalahan dalam peperangan bukan menjadi sesuatu yang pasti dan bertahan selamanya. Salah satu pernyataan Clausewitz yang kemudian menjadi sangat legendaris dari Clausewitz adalah bahwa peperangan digerakkan oleh keingi-keiniginan politik (political will). Clausewitz kemudian menyederhanakan bahwa semakin besar keinginan-keinginan politik ini maka semakin besar pula intensitas perang yang dapat terjadi, dan begitu puila sebaliknya (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Ketika political will ini berkurang, maka intensitas peperangan juga berkurang. Akan tetapi, dalam beberapa keadaan, ternyata peperangan tak kunjung terjadi meskipun keinginan-keinginan politik sudah sangat besar. Clausewitz memiliki pandangan yang sangat kontradiktif dengan apa yang disampaikan Sun Tzu sebagai strategi untuk menang tanpa bertarung. Sun Tzu menjelaskan bahwa kemenangan yang ideal adalah ketika tidak ada pertempuran dan pertumpahan darah yang terjadi (Sun Tzu, 500 SM). Clausewitz justru memiliki pandangan bahwa jeda maupun gencatan senjata dalam peperangan hanyalah merupakan bentuk aksi dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang untuk menunggu saat yang tepat dan momen yang tepat pula untuk melakukan penyerangan.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Clausewitz sebelumnya bahwa dalam peperangan, penggunaan strategi menjadi sangat penting. Strategi dalam perang oleh Clausewitz, diartikan sebagai “the employment of the battle as the means towards the attainment of the object of the War”. Hal ini berarti strategi adalah penggunaan pertempuran sebagai cara memperolah tujuan-tujuan perang. Dari sini bisa diartikan bahwa dalam pandangan Clausewitz, strategi diartikan sebagai penyusunan cara-cara (ways) bertempur agar kita dapat memperoleh tujuan-tujuan (ends) kita. Clausewitz menilai bahwa dalam tataran praktis, strategi sebenarnya sangat sederhana, tidak begitu kompleks seperti yang dibayangkan, dan tidak banyak memperhitungkan kekuatan-kekuatan moral. Akan tetapi, jika melihat kembali pendapat awal Clausewitz adalah bahwa strategi memiliki relasi yang begitu erat dengan politik dan perang, yang merupakan tujuan pembentukan strategi. Karena strategi dibentuk untuk mencapai kemenangan dalam peperangan yang merupakan kelanjutan dari kebijakan-kebijakan politik, maka strategi selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur moral. Clausewitz memberi contoh bahwa dalam pembuatan strategi yang lebih diutamakan dan diperlukan adalah unsur-unsur moral seperti keinginan yang kuat. Kontradiktif dengan taktik yang jauh lebih praktis dalam segi penerapannya karena dihadapkan langsung dengan lawan, dalam strategi yang terkait dengan gambaran-gambaran besar maka seorang Jenderal atau Panglima tidak harus punya kemampuan teknis yang kuat melainkan daya analisa dan kekuatan juga keinginan yang kuat serta besar. Karena jika ia tidak memiliki keduanya, maka ia akan terombang-ambing dalam sebuah keragu-raguan sehingga tidak akan bisa memutuskan strategi mana yang akan digunakan.

Clausewitz menjabarkan 4 elemen penting dalam penyusunan strategi. Pertama adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan moral. Kedua adalah kekuatan militer dan perbandingan kekuatan ketiga angkatan bersenjata serta kekuatan organisasinya. Ketiga adalah tindakan operasional yang akan dilakukan serta gerakan ataupun manuver-manuver yang biasa dilakukan. Dan yang terkahir adalah kondisi geografis dari wilayah-wilayah tempat dimana peperangan berlangsung. Clausewitz juga menilai bahwa penghancuran total musuh bukanlah cara yang tepat untuk memenangkan peperangan. Ia mencontohkan dalam kasus perang 1814, bagaimana pengambilalihan wilayah musuh adalah salah satu cara efektif. Jikalau saat itu cara yang sangat destruktif diterapkan salah satu pihak dengan menghancurkan kota musuh, maka nilai kota tersebut akan hilang begitu saja bagi musuh dan bagi kita. Dalam pandangan Clausewitz disini adalah membuat musuh menyerah dengan cara mengejutannya dengan menyerangnya dari sisi yang amat ditakutinya merupakan suatu strategi yang efektif. Ketika musuh terlalu bergantung pada sesuatu, maka serang ia pada titik itu, dan ia akan kehilangan pijakan dan aka menyerah.

Dalam bukunya, Clausewitz juga menuliskan tentang adanya 3 elemen penting dalam penyusunan strategi dan peperangan. Yang pertama adalah kapabilitas dari komandan perang. Namun, Clausewitz tidak mengangungkan dan menitikberatkan bahasannya dalm hal ini karena sebenarnya kapabilitas seorang pemimpin merupakan sebuah bakat yang hanya dimiliki oelh orang-orang terentu. Oleh karenanya, ia tidak begitu dalam membahas masalah ini. Ada dua yang lebih penting menurutnya selaina kapabilitas seorang komandan perang. Dua hal itu adalah kekuatan lainnya yaitu nilai-nilai militer dari pasukan dan perasaan nasionalisme dari seluruh elemen. Beberapa elemen dasar dari nilai-nilai militer pasukan adalah keberanian, kemampuan teknis dari pasukan, kemampuan untuk bertahan dalam segala situasi, dan antusiasme dalam berperang. Namun, Clausewitz menggarisbawahi bahwa dari semua nilai-nilai yang ada, ada satu hal yang amat penting yaitu kebanggaan akan angkatan bersenjata tempat mereka berada.

Salah satu kekuatan moral yang fundamental dan krusial lainnya adalah boldness. Boldness berarti rasa tak kenal takut dan sedikit memberontak. Dalam hal strategi perang, Clausewitz sangat menitikberatkan pada hal ini, walaupun ia mengingatkan bahwa rasa ”nekat” ini tidak boleh dilakukan hingga dimanifestasikan pada aksi penentangan terhadap perintah atau ketidaktaatan. Seperti yang diungkapkan Clausewitz, dalam perang tidak ada yang lebih penting daripada loyalitas dan ketaatan. Oleh karenanya, ia menempatkan boldness ini pada level tertinggi dan hanya bisa digunakan perwira-perwira tinggi.

Dengan demikian, konsepsi strategi yang dijabarkan oleh Clausewitz merupakan suatu hal yang sangat fundametal dan krusial dalam peperangan. Sumbangsih Clausewitz bagi studi strategis adalah konsep-konsepnya yang lebih praktis jika dibandingkan dengan konsep strategi yang dijabarkan oleh ahli strategi pendahulunya, Sun Tzu. Kemampuan Clausewitz menarik benang merah dari politik dan perang yang kemudian dijelaskan bahwa perang merupakan kelanjutan dari politik membuat konsepsinya lebih feasible jika diterapkan dalam era kontemporer. Clausewitz juga mampu menjelaskan bahwa perang dan strategi merupakan suatu jalan dan alat untuk mencapai kepentingan politik. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan apa yang dituliskan oleh Sun Tzu yang menyampaikan bahwa perang itu sendiri merupakan sebuah tujuan. Dengan demikian, pemikiran Clausewitz mengenai strategi ini kerap kali diadopsi tidak hanya oleh ahli militer tetapi juga oleh ahli non-militer di dunia.

Referensi :
Clausewitz, Carl Von. 2006. On War – Volume 1. Republished by Bebook
Rothe, Andreas Herberg. 2007. Clausewitz’s Puzzle : The Political Theory of War. New York : Oxford University Press

Sun Tzu dan Sumbangsihnya

Konsep strategi yang dijabarkan oleh Sun Tzu menjadi sangat penting dalam kelanjutan diskursus mengenai strategi. Perlu diketahui pula bahwa apa yang sebenarnya dijabarkan oleh Sun Tzu dalam bukunya, Art Of War, adalah bukan merupakan ilmu militer, ilmu yang digunakan untuk memenangkan pertempuran dan peperangan. Art Of War adalah sebuah buku mengenai filsafat militer. Sesuai dengan judulnya, Sun Tzu mencoba menggambarkan sebuah seni militer yang menitikberatkan diskursusnya mengenai konsep strategi lebih pada aspek psikologis. Sun Tzu tidak menjelaskan cara dalam memenangi sebuah peperangan haruslah didekati secara militer, melainkan ia mengajarkan bahwa seorang ahli pertempuran adalah mereka yang dapat memenangkan sebuah pertempuran tanpa menggunakan tentara sama sekali untuk mengancurkan musuh. Hal ini tentu saja berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh penstudi strategi yang berasal dari Barat semisal Clausewitz. Dia menitikberatkan beratkan studinya mengenai strategi lebih kepada ilmu militer, dimana ia merupakan pendukung pengerahan pasukan guna mempercepat penghancuran musuh. Dengan demikian, konsep strategi Sun Tzu yang memberikan pendekatan lebih ke aspek psikologis dalam memenangkan pertempuran membuat konsep strateginya begitu fleksibel dan feasible jika diterapkan tidak hanya dalam ranah militer namun juga dapat diterapkan dalam ranah bisnis.

Dari tulisan Sun Tzu dapat disederhanakan dalam tiga hal yang menjadikan tulisan Sun Tzu begitu penting untuk dipelajari dan bahkan diterapkan mengenai hal yang berkaitan membutuhkan adanya perancangan sebuah strategi. Yang pertama adalah penjelasan Sun Tzu mengenai komitmen. Sun Tzu mengajarkan bahwa bila eksekutif berhasil membawa semua personil dalam organisasinya dalam komitmen pada sasaran yang sama, maka tidak ada satupun musuh dapat mengalahkannya. Konsep ini lebih dikenal dengan konsep Tao, dimana menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam penyusunan rencana atau strategi. Tao adalah faktor moral. Jika pemimpin negara mendapat dukungan moral dari rakyat, maka rakyatnya pasti siap bertempur dan akan rela berkorban. Konsep ini menjadi penting karena fleksibilitas penerapannya dalam beberapa ranah. Dalam ranah militer tentu saja kemampuan seorang jenderal dalam memotivasi dan melecut semangat para pasukannya akan sangat berpengaruh dalam keberhasilan strategi yang telah disusun dan yang akan dijalankan dalam setiap pertempuran. Sedangkan dalam ranah bisni, seorang manager harus mampu menjadi seserang yang dicintai, disegani dan mampu menguasai beberapa karakter supervisor-supervisor dan marketing anda menjadi satu kekuatan yang memiliki satu suara yaitu mendukung satu misi dan mengakuai bahwa dibawah kepemimpinan seorang manager, mereka bisa mengemban tugasnya dengan baik.

Yang kedua adalah Observasi. Pengamatan yang tajam atas lawan akan menghasilkan informasi mengenai situasi yang terjadi. Sebaliknya, kita harus mampu mengaburkan pengamatan lawan atas kita. Menurut Sun Tzu setiap gerakan besar lawan, hampir selalu ditandai dengan gerakan kecil terlebih dahulu, sehingga pengamatan yang terus menerus membuat kita waspada atas setiap tanda perubahan dari lawan. Hal ini tentu saja dapat diterapkan dalam ranah bisnis seperti yang biasa dilakukan oleh maarketing atau pemasar. Pemasar mesti bergerak cepat untuk dapat menguasai persaingan. Agar bisa menggunakan pengetahuan dan tipuan secara penuh, Sun Tzu menyatakan bahwa kita mesti mampu bertindak dengan kecepatan tinggi. “Bersandar apa adanya tanpa persiapan merupakan kejahatan terbesar, persiapan terhadap
kemungkinan yang muncul adalah kebijakan terbesar.” Bergerak dengan cepat bukan berarti mengerjakan secara tergesa-gesa. Kenyataannya, kecepatan butuh persiapan matang. Mengurangi waktu yang diperlukan untuk mengambil keputusan, mengembangkan produk, dan layanan pelanggan adalah hal utama. Memahami reaksi kompetitor potensial terhadap serangan kita merupakan hal yang juga penting. “Suatu perencanaan akan membuahkan hasil maksimal bila kita mempunyai informasi yang tepat waktu, relevan, dan akurat,” begitu pendapat Khoo Keng Jor, penulis Applying Sun Tzu’s in Marketing. Karenanya, memaksimalkan kekuatan dalam mengumpulkan informasi itu sangat penting. Penggunaan intelejen pasar (spy) yang jitu akan meningkatkan pengetahuan untuk menyerang pasar dan mendiferensiasikan diri dalam mind share pelanggan. Dan pada akhirnya, pemasar tidak bisa mengabaikan gerakan pesaing, terlebih lagi tidak bisa mengabaikan kebutuhan pelanggan. Di dunia pemasaran kini, kita mesti mengenal siapa pelangan kita, mengenal siapa musuh kita, dan mengenal diri kita sendiri untuk dapat merebut kemenangan.

Yang ketiga adalah persiapan. Persiapan adalah landasan yang sangat penting untuk memanfaatkan action pada saat kesempatan datang. Pemimpin tidak akan mampu untuk melakukan tindakan guna memanfaatkan kesempatan yang muncul, bila dia tidak siap. Ada ungkapan yang berbunyi Che Chi Chie Bie, Pai Chan Pai Sen. Artinya, kita harus mengetahui kekuatan maupun kelemahan diri sendiri. Sekaligus, kita harus mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan. Hasilnya, 100 kali berperang, 100 kali menang. Sun Tzu juga mengingatkan bahwa , kemenangan bisa direngkuh melalui penyusunan rencana strategi yang matang. Jangan sekali-kali bertindak gegabah atau sembrono pada tahap yang paling mendasar ini. Adakan penyelidikan, pengumpulan data atau informasi yang lengkap, akurat, detail, menyeluruh, serta tinggi tingkat presisinya. Kemudian hal ini diderivatifkan kepada ranah bisnis yang bisa dilakukan oleh seorang marketing. Di dunia marketing, seni perang Sun Tzu menjiwai konsep modern analisis SWOT, sebuah analisis mengenai Strength atau Kekuatan, Weakness atau Kelemahan, Opportunity atau Kesempatan, dan Threath atau Ancaman. Berpuluh-puluh tahun lamanya, analsis SWOT ini telah dibuktikan keandalannya oleh para marketer.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsepse Sun Tzu mengenai strategi dalam Art of War menjadi begitu penting dan masih relevan dengan diskursus mengenai strategi kontemporer karena Sun Tzu dapat menyajikan konsep strategi yang fleksibel dan feasible untuk diterapkan dalam berbagai ranah. Walaupun berangkat dari ranah militer, tidak membuatnya kaku dan stagnan hanya pada ranah militer saja.

Strategi dan Studi Strategi

Strategi merupakan kegiatan yang mengandung unsur perencanaan, berisi gambaran tujuan yang akan dicapai, seperti yang diartikan oleh Henry Mintzberg bahwa “Strategy is perspective, that is, vision and direction”. Selain itu juga ada beberapa pengertian dasar strategi yang lain, diantaranya, “Strategy refers to basic directional decisions, that is, to purposes and missions” (George Steiner), kemudian “The essence of strategy is choosing to perform activities differently than rivals do” (Michael Porter, 1996), dan juga “Strategy is not only the creation of advantage but also the creative destruction of the opponent’s advantage” (D’Aveni, 1994). Strategi pertama kali dikenalkan oleh dunia militer. Strategi umumnya digunakan untuk merencanakan bagaimana sebuah peperangan dapat dimenangkan. Strategi juga mengevaluasi modal, sumber daya, dan alat yang dapat dimaksimalkan untuk mengalahkan lawan sebagai suatu visi. Tidak jarang jika dalam penerapannya, strategi tidak mengenal nilai etis karena strategi memang disusun untuk fokus dalam menggapai suatu visi. Memahami akan pentingnya sebuah strategi, maka lahirlah suatu studi yang membahas tentang strategi secara mendalam yaitu studi strategi.

Studi strategi muncul pasca perang dunia 2 dan lebih tepatnya pada saat awal perang dingin (John Baylis, 2007). Studi strategi muncul ketika pemimpin-pemimpin negara harus mempertahankan kepentingan negaranya dari ancaman negara lain. Hal ini tejadi sebagai akibat gagalnya collective power yang kemudian merefleksikan pemikiran kaum realis bahwa dunia yang anarki tidak dapat dihindarkan dari konflik dan perang. Studi strategi dibangun dari perspektif yang interdisipliner yang didalamnya terdapat berbagai dimensi kajian. Dimensi kajian itu berangkat dari dimensi militer yang memang menjadi awal lahirnya sudi strategi. Selain militer juga ada dimensi politik, ekonomi, sosiologi, dan bahkan psikologi. Banyakya dimensi dalam studi strategi ini membuat studi strategi sendiri menjadi suatu disiplin yang strategis. Perkembangan studi strategi juga dibarengi dengan perkembangan globalisasi sehingga isu-isu baru akibat munculnya globalisasi juga mejadi kajian dalam studi strategi. Berkembangnya teknologi, munculnya ancaman baru, dan berkembangnya perspektif universal juga menambah bumbu bagi perkembangan studi strategi.

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa studi strategis pada awalnya dibangun oleh strategi militer. Dalam perkembangannya, strategi militer telah memunculkan strategi-strategi baru di bidang keamanan dan ekonomi. Strategi-strategi baru itu seperti strategi nuklir, bisnis, manajemen, dan sebagainya. Kemunculan strategi-strategi baru itu tentu saja dilatar-belakangi oleh kebutuhan dunia yang teah berkembang dengan pesat. Sebelum membahas tentang perkembangan dimensi strtategi, perlu diketahui bahwa strategi pertama kali dikenalkan oleh militer. Strategi militer yang disebut juga sebagai strategi klasik karena dianggap menjadi awal mula munculnya strategi. Memabahas strategi militer maka tidak bisa dilepaskan dari perang. Terdapat beberapa konsep tentang strategi militer yang diungkapkan oleh dua ahli militer terkenal, “What is of supreme importance in war is to upset the enemy’s strategic plans, next best is to disrupt his alliance by diplomacy, and the next best is to attack his army, the worst policy is to attack cities” (SunTzu). Kemudian, “Strategy as The use of engagement for the purpose of war”, “War is thus an act of force to compel our enemy to do our will” (Clausewitz). Dari segi militer, strategi dimaknai sebagai sebuah perencanan untuk memenangkan perang dan mengalahkan musuh.

Selanjutnya yang kedua adalah strategi nuklir. Strategi nuklir merupakan pergeseran ruang lingkup strategi militer. Keadaan terasa sangat menakutkan saat ancaman akan perang nuklir muncul. Perang nuklir adalah perang yang melibatkan nuklir bukan hanya ancaman konflik fisik melainkan juga konflik batin. Perkembangan teknologi militer yaitu nuklir membuat tingkat ketegangan yang dirasakan oleh tidak hanya mereka yang berperang tetapi juga masyarakat sipil bahkan juga dunia semakin tinggi. Perang nuklir menjadi sesuatu yang sangat mengerikan jika perang itu sampai terjadi, contohnya ketika perang dingin terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, tingginya tensi telah terjadi meskipun perang nuklir itu sendiri belum terjadi dan perang tersebut masih hanya berupa ancaman-ancaman saja, tidak terbayang bagaimana yang akan terjadi dari segi reaksi dan dampak yang dapat diakibatkannya jika perang nuklir itu benar-benar terjadi saat perang dingin. Strategi, dalam hal ini berusaha mengkaji upaya-upaya yang memanfaatkan nuklir sebagai alat tempurnya. Pertempuran yang dimaksud di sini bisa berarti tempur secara fisik maupun secara psikis.

Ranah yang ketiga adalah strategi bisnis. Strategi ini berbeda dengan dua strategi sebelumnya yaitu militer dan nuklir yang sedikit memiliki kesamaan yaitu berkaitan dengan adanya perang. Strategi bisnis lebih memainkan perannya di bidang ekonomi dan “perang” nya pun berbeda dengan perang yang ada dalam dunia militer dan nuklir.
Ada beberapa pergeseran yang terjadi yang membedakan antara strategi bisnis dan lainnya. Dalam strategi bisnis, perang yang terjadi tidak dalam ukuran hidup dan mati sehingga lebih bersifat kompetisi bukan pertandingan atau pertarungan. Selain itu fokus strategi bisnis adalah pada internal reorganizing yang menjadikan strategi bisnis tidak bisa terlepas dari manajemen. Salah satu contoh adanya strategi bisnis adalah suatu kondisi dimana terdapat perusahaan yang bersaing dengan perusahaan lain tidak hanya dalam kualitas produk yang diciptakan tetapi juga konsumen yang ingin ditariknya, hal itu bergantung terhadap strategi yang digunakan terkait dengan keinginan atau tujuannya tersebut. Inilah aspek-aspek yang menjadi ranah studi strategi kontemporer.


Referensi :

Baylis, John dan Writz, James. 2007. Strategy In The Contemporary World. New York : Oxford University Press
file://localhost/F:/strtgi%20bahan/strategicthinking.html
http://media.wiley.com/product_data/excerpt/30/07879650/0787965030.pdf.
www.vibiznews.com (file://localhost/F:/strtgi%20bahan/journal_last.php.htm)

Strategi : Definisi dan Kontraposisinya

Dalam salah satu perspektif kaum realis, Hobbes, diungkapkan bahwa seorang pemimpin negara, diplomat, pengambil kebijakan luar negeri haruslah dapat berikir strategis. Setiap tindakan dan kebijakan yang diambilnya haruslah menjamin keamanan dan stabilitas negaranya. Kebijakan yang akan diambil tentu harus disertai dengan strategi-strategi yang telah dipersiapkan secara matang sebelumnya yang kemudan diimplementasian menjadi sebuah kebijakan. Sebenarnya apa yang dimaksud strategi? Apakah yang bukan strategi? Apakah perbedaan strategi dengan taktik? Apakah strategi mendefinisikan kebijakan? Dan seberapa praktisnya strategi? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan coba dijawab dalam tulisan ini.

Strategi adalah sebuah istilah yang berasal dari istilah Yunani yaitu “strategos” yang merujuk pada kepemimpinan. Strategi biasanya diterapkan pada dunia kemiliteran. Menurut Clausewitz, strategi adalah bentuk ikatan atas sesuatu yang digunakan untuk berperang. Strategi juga didefinisikan oleh Liddell Hart sebagai seni pendistribusian dan penerapan instrumen militer sebagai akhir dari sebuah kebijakan. Terlepas dari pendapat beberapa ahli yang mendefinisikan strategi lebih kepada alat untuk menjalankan perang, strategi memiliki satu pengertian dan konsep dasar yang senada. Strategi adalah seni untuk mengatur dan mengelola segala macam sumber daya yang dimiliki untuk meraih suatu tujuan yang telah dicanangkan sebelumnya. Secara sederhana, strategi dapat didefinisikan sebagai perencanaan untuk diterapkan dalam misi untuk menggapai suatu visi. Pada tahap pertama, strategi mencoba mengevaluasi tentang modal yang kita miliki, keadaan sekitar, dan segala faktor yang mempengaruhi tercapainya suatu visi. Strategi juga membahas tentang segala bentuk kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi beserta alternatif-alternatif penanggulangannya. Singkatnya, strategi juga mencoba bertanggung jawab akan setiap tujuan yang telah dibangun, rencana yang sedang dicanangkan, dan segala implikasi yang dapat terjadi. Prediksi pun kerap kali dihadirkan dalam penyusunan strategi. Oleh karena itu, jangkauan dimensi waktu dari strategi adalah jangka panjang dengan memperhatikan kapital yang dimiliki, hambatan yang mungkin menghalangi, dan alternatif yang dapat diimplementasi. Pada akhirnya, tidak menutuip kemungkinan jika kemudian penyusunan strategi diarahkan pada suatu cara yang tidak memandang nilai etis karena kembali kepada tujuan dasar dari penyusunan strategi adalah untuk menggapai tujuan dan mengalahkan lawan. Strategi disusun berdasarakan pemikiran dan pertimbangan dalam jangka waktu yang lama. Berbagai aspek mengenai prediksi jangka panjang, akibat yang akan ditimbulkan, serta alternatif lain yang mungkin dilakukan turut mewarnai penyusunan strategi. Seperti yang diungkapkan oleh Clausewitz, dalam strategi semuanya berjalan pada pada tingkat yang lebih lambat.

Berbicara mengenai strategi, tentu kita juga tidak dapat terlepas dari istilah taktik. Strategi sering pula diidentikan dengan taktik. Secara sekilas strategi sangat mirip dengan taktik. Namun, keduanya memiliki dimensi, cakupan, dan penggunaan yang berbeda. Strategi mereperesentasikan pemikiran dan aktivitas pengelolaan akan sesuatu yang bersifat jangka panjang. Segala bentuk implementasi dan manifestasi dari strategi untuk menggpai suatu visi itulah yang disebut sebagai taktik. Singkatnya, pengaktualisasian dari strategi adalah taktik. Taktik merupakan tindakan jangka pendek yang hanya dipersiapkan dan dilakukan untuk menghadapi apa yanga ada sekarang. Taktik lebih bersifat ringkas dan memiliki tingkat fleksibilitas dan feasibilitas yang minimal jika dibandingkan dengan strategi sehingga memudahkannya untuk dilaksanakan. Strategi mengharuskan ketelitian dalam setiap perhitungannya karena strategi menyangkut sebuah dimensi yang lebih besar dan fundamental. Ibarat sebuah bangunan, strategi adalah pondasi dari bangunan tersebut. Visi yang ingin dicapai dalam sebuah penyusunan strategi diibaratkan dengan atap dari sebuah bangunan. Atap tersebut tentu membutuhkan penyangga dan penyangga tersebut adalah taktik. Oleh karena itu, kesalahan pada penyusunan strategi akan sangat fatal sekali daripada kesalahan pada penyusunan taktik.

Berbicara mengenai tingkat praktis dan tidaknya strategi, seperti yang telah diuraikan di atas bahwa strategi adalah perencanaan yang sifatnya jangka panjang dan memerlukan berbagai macam kalkulasi, maka dapat dikatakan bahwa strategi tidak cukup praktis. Keharusannya membutuhkan berbagai macam konsiderasi dan kalkulasi membuatnya seakan-akan hanya dapat diterapkan pada tataran pemikiran strategis yang kerap kali melakukan pemikirannya dalam sebuah ruangan dengan banyak meja. Hal ini kontradiktif dengan taktik yang merupakan implementasi dari strategi. Taktik sangatlah praktis karena pelaksanaannya menyangkut tindakan yang ada di lapangan. Sebagai contoh implementasinya, dalam sebuah perencanaan militer strategi berperan dalam penyusunan perencaan bagaimana suatu Negara dapat memenangkan suatu peperangan. Dengan mempertimbangkan kekuatan sendiri, faktor-faktor sumber daya, dan juga kekuatan lawan, strategi mencoba membuat suatu kalkulasi matematis untuk menggapai suatu visi yaitu memenangkan perang. Implementasi dari strategi dimanifestasikan melalui penyusunan taktik. Taktik ini adalah wujud dari misi yang digunakan untuk mecapai visi. Dalam konteks militer terutama perang, taktik diterapkan melalui pembagian pos-pos militer, pelaksaan operasi militer, dan pembagian unit-unit militer untuk memenangkan sebuah pertempuran. Jika berhasil memenangkan banyak pertempuran, maka kemenangan perang yang menjadi visi dapat tercapai. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa ranah strategi adalah begitu fundamental, menyangkut bagaimana suatu negara memenangkan sebuah peperangan. Sedangkan taktik lebih membahas pada bagaimana operasi militer diterapkan sebagai bentuk aktualisasi strategi.

Strategi juga berperan dalam ranah hubungan internasional dan pengambilan kebijakan luar negeri. Suatu negara tentu membutuhkan seorang strategis yang handal terutam untuk menteri dan para diplomatnya. Hal tersebut dikarenakan para menteri dan diplomat adalah ujung tombak negara dalam mempertahankan eksistensi dan posisinya dalam hubungan internasional. Penetapan national interest adalah penyusunan strategi yang disusun untuk jangka panjang yang kemudian diimplementasikan melalui penetapan kebijakan guna mempertahankan eksistensi dan posisi suatu negara dalam kancah hubungan internasional.

Referensi

Rothe, Andreas Herberg. 2007. Clausewitz’s Puzzle : The Political Theory of War. New York : Oxfor University Press
Steans, Jill. 2009. Hubungan Internasional : Perspektif & Tema. Yogayakarta : Pustaka Pelajar

Balance of Power dan Hegemonic Stability : Ekspansi Konsepsi Power

Dalam menjalankan hubungan internasionalnya, suatu aktor hubungan internasional tentu saja akan menjadikan kepentingan nasional sebagai landasan fundamental dan tujuan utama dalam setiap pengambilan kebijakan. Untuk mencapai itu semua, suatu aktor menggunakan sebuah instrumen yang disebut sebagai Power atau kekuatan. Kekuatan didefinisikan sebagai payung konsep yang menunjukkan segala sesuatu yang bisa menentukan dan memelihara kekuasaan aktor A terhadap aktor B (Morgenthau, 1978). Power menurut Morgenthau memiliki tiga unsur yaitu kekuatan, pengaruh, dan kekuasaan. Ketiganya betujuan untuk menjaga suatu kontrol sebuah aktor terhadap aktor lain. Sebuah aktor dikatakan memiliki power atas aktor lain ketika aktor lain itu bersedia memenuhi apa yang menjadi keinginan aktor tersebut. Implementasinya adalah ketika aktor A dikatakan memiliki power atas aktor B jika aktor B bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh aktor A. Jika dalam hal pengaktualisasian power terdapat dua aktor yaitu aktor A dan aktor B, maka kemudian power memiliki lima dimensi (Baldwin,1989). Pertama adalah scope, yang merujuk pada perilaku pihak A untuk mempengaruhi pihak B. Perilaku ini dipengaruhi oleh kapabilitas pihak A untuk menggunakan power-nya. Contohnya, Jepang cenderung menggunakan kekuatan ekonominya daripada militernya karena perekonomian Jepang kuat. Kedua, domain, yaitu jumlah pihak B yang bisa dipengaruhi oleh pihak A. Jadi, jumlah pihak B yang dapat dipengaruhi oleh pihak B didasarkan oleh besarnya kekuatan yang dimiliki pihak A. Ketiga, weight, yaitu kemungkinan pihak B untuk mempengaruhi pihak A walaupun pihak B hanya memiliki kekuatan yang kecil. Keempat, costs, yaitu besarnya dana yang digunakan oleh pihak A untuk dapat mempengaruhi pihak B tergantung pada besarnya power yang dimiliki oleh pihak B. Semakin besar kekuatan yang dimiliki pihak B semakin besar pula dana yang digunakan oleh pihak A untuk dapat mempengaruhi pihak B. Kelima, means, yaiu kategori yang digunakan untuk dapat mempengaruhi pihak B. Jadi, untuk dapat mempengaruhi pihak B, pihak A diharapkan menggunakan kategori yang sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan pihak B. Seperti contoh, saat perang dingin, Amerika Serikat menggunakan Marshall Plan sebagai cara untuk menggunakan power-nya dalam bidang ekonomi di kawasan Eropa Barat agar dapat membendung meluasnya pengaruh komunisme yang telah mencapai kawasan Eropa Timur.

Aktualisasi power ini teraplikasikan dalam hubungan internasional yang anarki. Menurut perpsektif kaum realis, kondisi dimana negara-negara dalam sistem internasional ini memiliki kekuatan yang berbeda-beda, maka dibutuhkan adanya perimbangan kekuatan (balance of power). Sementara Ernst Haas mengemukakan ada 4 kriteria agar eksistensi sistem balance of power tetap terjaga, yaitu :
a. suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otoritas
b. distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran dan kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem
c. persaingan dan konflik yang berkesinambungan karena adanya persepsi dunia merupakan sumber langka
d. pemahaman implisit di antara para pemimpin negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.
Sistem balance of power (BoP) tersaji dalam keadaan sistem internasional yang anarki dan kekacauan internasional. Ketidakteraturan politik dunia ini kemudian membawa para aktor-aktornya untuk bertahan dalam hukum rimba, siapa yang kuat dia yang bertahan. Keadaan seperti ini membuat negara-negara berjuang untuk mengejar power (struggle of power). Ketika negara-negara sedang berjuang untuk mengejar power, maka intensitas interaksi mereka akan meniangkat dan mereka akan terbagi dalam dua kutub atau bipolar. Ketika keadaan bipolar sudah terbentuk, maka BoP telah tercipta. Keadaan seperti ini begitu dipercaya oleh kaum realis untuk menciptakan suatu perdamaian karena kemungkinan negara-negara besar untuk berperang akan sangat minimal. Pencegahan dan penanangkalan terhadap timbulnya peperangan akan semakin mudah karena negara dengan kekuatan besar yang terlibat pun sedikit. Keadaan sepert dapat dilihat ketika perang dingan. Pada saat itu hanya ada dua negara dengan kekuatan besar yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Konflik yang terjadi pada saat itu hanya sebatas persaingan dalam perluasan pengaruh, kalaupun ada perang yang terjadi, bukanlah perang yang besar, yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet secara langsung.

Namun, keadaan yang ideal di mata para realis ini bukan berarti tanpa kritik. Tujuan BoP yang menurut Bolingbroke, Gentz, dan Castlereagh untuk menyelenggarakan hegemoni dunia, menyiapkan sistem pendukung itu sendiri, menjamin stabilitas keamanan bersama, serta mejamin perdamaian abadi kemudiana dimanifestasikan melalui cara-cara yang tidak etis. Politik adu domba, aliansi, perluasan area pengaruh, serta adanya intervensi seolah membuat esensi dari BoP itu sendiri dalam menjaga stabilitas perdamaian internasiona terbantahkan. Kepentingan nasional yang dijunjung oleh masing-masing negara malah tidak bisa menghindarkan mereka dari perang.

Ketidaksempurnaan BoP dalam menjaga perdamaian internasional kemudian memunculkan suatu teori yaitu teori stabilitas hegemoni (hegemonic stability). Jika BoP dapat dijelaskan dengan kondisi pendistribusian kekuatan dalam keadaan bipolar, maka teori stabilitas hegemoni dapat dijelaskan dengan keadaan kekuatan yang unipolar, hanya ada satu kutub kekuatan yang dominan. Menurut Paul, Wirtz, dan Frotmann (2004) teori stabilitas hegemoni biasanya berhubungan dengan kekuatan ekonomi politik. Dengan kekuatan ekonomi politik ini, kekuatan dunia akan terkonsentrasi pada satu kutub. Para hegemon dalam sistem stabilitas hegemoni ini dipercaya dapat membawa keadaan dunia kepada suatu perdamaian, keadaan yang tidak hanya menguntungkan bagi hegemon saja. Stabilitas hegemoni menjelaskan keberadaan rezim yang memiliki daya tarik yang nyata dan menjelaskan bahwa sistem ekonomi internasional sebagai bentuk power daripada sebuah rational exchange. Implementasi dari teori ini banyak tersaji pada organisasi atau institusi internasional dan kerjasama dalam bidang perdagangan yang melibatkan banyak negara. Para hegemon bisa saja mempengaruhi dan bahkan memaksa negara lain untuk tetap menjalankan apa yang diinginkan para hegemon dalam suatu sistem yang telah disepakati bersama. Namun, hal tersebut tidak serta merta dilakukan karena dapat menimbulkan kerugian bagi para hegemon. Negara-negara non-hegemon juga dapat menikmati adanya kebijakan dan kerjasama yang dibangun dalam suatu sistem yang dijalankan dengan para hegemon. Tentu saja para non-hegemon akan menghindarkan diri mereka dari dominasi hegemon. Aplikasi ini dapat dilihat dari adanya kerjasama perdagangan bebas yang dibangun Amerika Serikat sebagai hegemon dengan negara-negara lain. Dominasi Amerika Serikat dapat dilihat kapabilitasnya dalam menjaga dan mengatur perdagangan bebas walaupun partner kerjasamanya menginginkan adanya batasan. Namun, jika Amerika Serikat terlalu memaksakan kehendak, maka partnernya dapat memutuskan sistem ini.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan konsep perluasan kekuasaan. Perbedaan ini tidak lepas dari adanya perbedaan konsep power yang kemudian membawa pada dua konsep perluasan kekuasaan dan kekuatan yang berbeda pula, balance of power dan hegemonic stablity. Namun, satu hal yang menjadi penting adalah adanya kemajuan dalam implementasi dan aktualisasi power yang siginifikan yang menjadikan power sebagai elemen utama dalam sistem internasional.


Referensi :

Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations. Handbook of IR. London : SAGE Publication Ltd.
Haas, Ernst. 1953. The Balance of Power : Prescription Concept or Propaganda?.
World Politics.
Morgenthau, Hans. J. 1978. Politics Among Nations : Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A. Knopf
Wirtz, James J, dkk. 2004. Balance Of Power. California : Stanford University Press.

Marxisme dan Strukturalisme

Pendekatan tradisional pada hubungan internasional tidak berhenti pada pendekatan realisme dan liberalisme saja. Ada sebuah pendekatan lagi yang menitikberatkan pada ranah ekonomi dalam diskursusnya, marxisme. Marxisme dihadirkan untuk menyanggah pendekatan realisme yang menjelaskan tentang negara yang selalu bersaing dalam hal kekuatan dan kekuasaan dalam hubungan internasionalnya. Kekuatan negara adalah instrumen utama bagi negara untuk mendominasi hubungan internasional. Marxisme juga mencoba menyerang pendekatan liberalisme yang menyatakan bahwa perdamaian internasional dapat dicapai dengan adanya kerjasama antar negara yang bersifat kooperatif dan kolaboratif karena di mata para liberalis, negara bersifat positif dan rasional. Tulisan ini akan membahas mengenai pendekatan marxisme secara keseluruhan meliputi pemikiran dasar, aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan internasional menurut kaum marxis, bentuk sistem internasional, agenda utama, dan pemikiran kaum marxis mengenai keamanan dan perdamaian internasional. Tulisan ini juga akan membahas beberapa kritik dari kaum marxis terhadap pendekatan terdahulu, realisme dan liberaslisme.

Pendekatan marxisme diawali dan dibangun oleh seorang ahli ekonomi asal Jerman, Karl Marx. Marx berpikiran bahwa dalam kehidupan sosialnya, materi menjadi sesuatu yang penting dan menentukan. Masing-maisng individu akan berjuang untuk mendapat materi sebanyak-banyaknya. Hal ini menyebabkan manusia terbagi dalam kelas yang berbeda. Masing-masing kelas memiliki ciri khas tersendiri dan saling mempunyai ketergantungan. Kelas tersebut adalah Borjuis dan Proletar. Borjuis adalah kelas bagi para pemilik modal (capital) sedangkan proletar adalah kelas bagi para pekerja (labour) yang tidak memiliki modal. Kaum proletar bekerja dan bergantung pada kaum borjuis. Keadaan ini lah yang kemudian diterjemahkan oleh Marx akan menimbulkan sebuah eksploitasi yang dilakukan pleh kaum borjuis sebagai pemilik modal terhadap kaum proletar. Kapitalisme merupakan wujud rasional dan implikasi logis dari adanya perbedaan kelas ini. Pandangan seperti ini jelas kontradiktif dengan pandangan kaum liberalis yang berpandangan bahwa kerja sama akan dapat terjadi antar manusia untuk mencapai sebuah kesejahteraan. Menurut kaum marxis, manusia tidak akan pernah seobyektif dan seinnosense itu dalam kehidupannya. Marxisme menolak pemikiran kaum liberalis yang memandang kerjasama dalam perekonomian sebagai positive sum game. Marxis memandang perekonomian sebagai zero sum game karena sejatinya perekonomian merupakan tempat eksploitasi manusia dan perbedaan kelas. Meskipun kaum marxis berpandangan bahwa perekonomian kapitalis merupakan lahan ekspolitasi manusia, marxis tidak menganggap kapitalisme ini merupakan suatu kemunduran. Justru ini merupakan sebuah kemajuan dalam perekonomian yang setidaknya kemajuan dalam dua hal (Jackson dan Sorensen, 1999). Pertama, kapitalisme menghancurkan hubungan produksi sebelumnya yang bahkan lebih eksploitatif, yaitu feodalisme. Feodalisme adalah bentuk eksploitasi yang berwujud buruh dan petani dan bahkan menyerupai budak. Marxisme percaya bahwa kapitalisme merupakan suatu kemajuan karena dalam kapitalisme, kaum proletar (buruh) dapat menjual tenaganya pada kaum borjuis sehingga mendapat imbalan terbaik yang kemudian menghindarkan mereka dari segala bentuk perbudakan. Kedua, kapitalisme membuka jalan bagi revolusi sosial dimana alat-alat produksi ditempatkan dalam kontrol sosial bagi keuntungan kaum proletar sebagai mayoritas tebesar sehingga kaum borjuis tidak bisa semena-mena mengeksploitasi kaum proletar yang notabene tdak memiliki modal.

Pandangan Marx mengenai adanya perbedaan kelas dalam kehidupan manusia ini belum relevan jika dibawa pada hubungan internasional. Pada akhirnya, Lenin muncul mengadopsi pemikiran-pemikiran Marx yang kemudian digunakan untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional. Tulisan Lenin yang terkenal “Imperialism, The Highest Stage of Capitalism” mencoba mengintegralkan pemikiran Marx dalam konteks hubungan antar negara. Menurut pemikiran neomarxisme, ekonomi merupakan dasar dari semua kegiatan hubungan internasional dan bahkan berada di atas politik. Konsekuensinya adalah konflik kelas menjadi implikasi logis dari hal ini. Lenin melihat bahwa negara tidak otonom, mereka digerakkan oleh kepentingan kaum borjuis yang ada di negara mereka. Bahkan peperangan yang terjadi merupakan implikasi dari adanya persaingan diantara para kelas kapitalis (Jackson dan Sorensen, 1999). Dengan pandangan demikian, marxisme dan neomarxisme mencoba mematahkan pandangan kaum realis yang menyatakan bahwa konflik yang terjadi dalam hubungan internasional adalah akibat perbedaan kekuatan dan keinginan untuk saling menguasai satu sama lain dan politik menjadi hal yang pertama di atas ekonomi. Lenin juga menjelaskan sebagai suatu sistem ekonomi, kapitalisme bersifat ekspansif dan selalu mencari pasar baru yang lebih menguntungkan. Dengan adanya perbedaan kelas lintas batas negara, imperialisme dan kolonialisme muncul sebagai bentuk perluasan kapitalisme dalam rangka mencari pasar baru dan mencari proletariat baru agar bisa dieksploitasi.
Pemikiran neomarxisme juga dijelaskan oleh pemikir lainnya, seperti Wallerstein. Dalam pemikirannya, Wallerstein menitikberatkan pada perekonomian dunia dan cenderung mengabaikan politik internasional. Ia yakin bahwa dalam perekonomian, dunia berkembang dalam keadaan yang tidak seimbang yang kemudian memunculkan ketergantungan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan hubungan tersebut. Sistem kapitalisme dunia didasarkan pada hubungan asimetris yang bersifat subordinatif sehingga negara kaya dengan nyata menindas negara miskin. Wallerstein menjelaskan bahwa hubungan antar negara dalam sistem internasional yang kapitalis eksplotaif adalah bersifat dependensi (Burchill dan Linklatter, 2005). Terdapat hubungan saling ketergantungan antara masing-masing negara yang kemudian dispesifikkan menjadi sebuah tatanan negara yang lebih hirarkis dan struktural yaitu core, semiperiphery, dan periphery yang kemudian dikenal sebagai World System Theory (Jackson dan Sorensen, 1999). Pandangan mengenai keadaan yang terstruktur inilah yang kemudian disebut sebagai Strukturalis, yang maksudnya adalah tatanan dunia memang sudah terstruktur sedemikian rupa. Dalam World System Theory, Core adalah negara kaya, semiperiphery adalah negara yang biasa saja, dan periphery adalah negara miskin atau negara dunia ketiga. Dalam kapitalisme dunia, negara core bertindak sebagai borjuis, negara yang memiliki modal sedangkan negara periphery bertindak sebagai proletar. Keadaan struktural ini memaksa negara-negara miskin untuk masuk dan terlibat pada kapitalisme global sehingga menyebabkan mereka bergantung pada negara-negara kaya. Bagi negara-negara kaya, hal ini adalah lahan baru bagi keberlanjutan kapitalisme mereka. Pemikiran kaum strukturalis atau neomarxis ini juga membantah pandangan kaum liberal yang menyatakan bahwa kesejahteraan dapat terjadi atas sifat rasional manusia dan negara yang kooperatif dan kolaboratif, karena pada kenyataannya manusia dan negara tidak akan bisa seobyektif yang mereka bayangkan.

Dari tulisan diatas dapat disederhanakan bahwa pemikiran marxisme didasarkan pada hakikat dasar manusia adalah materi dan setiap manusia akan berjuang untuk mendapatkan materi tersebut dan perbedaan kelas menjadi konsekuensi logis baginya. Kelas-kelas tersebut adalah borjuis dan proletar yang kemudian menjadi aktor utama dalam hubungan internasional menurut pandangan marxisme. Diantara kelas-kelas ini terdapat ketergantungan satu sama lain sehingga menyebabkan kaum borjuis yang dalam konteks negara diintegralkan menjadi negara core akan mengeksploitasi kaum proletar atau negara periphery jika ditempatkan pada konteks negara dengan World System Theory sebagai sistem internasionalnya. Kondisi kapitalisme dunia inilah yang dinamakan dengan strukturalisme.

Referensi :
Burchil, Scott, dkk. 2005. “Theories of International Relations”. Palgrave Macmillan : New York
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. “Pengantar Studi Hubungan Internasional”. Oxford University Press : New York

Liberalisme dan Neoliberalisme

Berangkat dari berakhirnya Perang Dunia 1 yang membawa kehancuran yang maha dahsyat bagi umat manusia kala itu, pemikiran liberalisme muncul dengan tujuan untuk menemukan perdamaian dan menghentikan perang. Liberalisme berusaha mengkritik dan mengcounter pemikiran realisme yang memiliki perpektif bahwa perang tidak dapat dihindarkan dan kalaupun bisa dicegah, hanya dengan perimbangan kekuatan yang di dalamnya masih ada kekhawatiran dan kecemasan dari masing-masing negara. Perspektif liberalisme berangkat dari asumsi dasar tentang optimisme dan pandangan positif terhadap sifat manusia yang selalu dianggap baik. Dalam kacamata liberalis, manusia memiliki pertimbangan rasional yang dapat digunakan dalam tindakan sosialnya melalui tindakan yang kooperatif dan kolaboratif. Perspektif liberalisme klasik terhadap manusia ini kemudian diintegralkan kepada negara, suatu institusi yang merupakan kumpulan dari manusia. Para liberalis yakin dan bahkan cenderung utopis bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai oleh para pemimpin negara dalam menghadapi masalah-masalah internasional (Jackson dan Sorensen, 1999). Pada liberalisme klasik, perhatian dasar tertuju pada kebahagiaan dan kesenangan individu. Tokoh-tokoh liberalisme klasik adalah John Locke yang mengemukakan bahwa negara muncul untuk menjamin kebebasan dan kebahagiaan warga negaranya, dikenal sebagai negara konstitusional, dimana rasionalitas individu sangat dijunjung tinggi. Hal ini didukung oleh Bentham dengan kajiannya mengenai hukun internasional dan timbal balik dari negara-negara yang rasional dan diperdalam oleh Immanuel Kant yang menyampaikan konsep kemajuan dan perdamaian abadi dari adanya sikap saling menghargai dari negara-negara yang rasional.

Sederhananya, perkembangan kaum liberalis erat kaitannya dengan munculnya negara konstitusional modern yang kemudian menimbulkan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan. Kemajuan ini juga berarti berkembanya pemikiran manusia yang menyebabkan terjadinya kerjasama yang lebih besar yang notabene menjadi penyelesaian masalah-masalah internasional (Jackson dan Sorensen, 1999). Aktor-aktor dan agenda hubungan internasional menurut perspektif liberalisme akan dijabarkan pada pembagian aliran liberalisme yang pernah ada, yaitu : liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional, dan liberalisme republikan. Perspektif liberalisme yang parsial ini merupakan pengembangan dari perspektif liberal klasik akibat adanya revolusi dari kaum behavioral pasca perang dunia kedua yang kemudian dikenal sebagai neoliberalisme.

Salah satu pemikiran neoliberalisme adalah liberalisme sosiologis. Liberalisme sosiologis adalah salah satu pandangan kaum liberal yang dikemukan salah satunya oleh James Rosenau. Liberalisme sosiologis mengemukakan bahwa hubungan internasional tidak melulu hanya hubungan antar negara saja, melainkan di dalamnya terdapat individu yang secara signifikan terlibat dalam interaksinya. Komunikasi juga terlihat dari adanya interaksi dengan kelompok masyarakat swasta. Hubungan antara negara, individu, dan kelompok masyarakat swasta yang saling tumpang tindih dan menjadi kooperatif ini dikenal dengan jaring laba-laba. Dengan meluasnya hubungan transnasional ini akan membawa kehidupan yang lebih damai.
Modernisasi yang terjadi karena adanya hubungan yang baik antara negara, individu, dan kelompok masyarakat swasta meningkatkan derajat dan ruang lingkup interdependensi (ketergantungan). Peningkatan ini terjadi secara kompleks sehingga aktor-aktor tansnasional menjadi sangat penting, bahkan mulai menyisihkan negara sebagai pelaku utama hubungan internasional. Ketika aktor-aktor negara mulai tersisih, maka agenda utama pun mulai bergeser. Kekuatan militer menjadi tidak berguna dan digantikan oleh pencapaian kesejahteraan bersama yang dicapai melalui cara yang kooperatif sebagai tujuan utamanya. Keamanan bukan lagi menjadi tujuan utama. Inilah hasil pemikiran dari liberalisme interdependensi.

Adanya interdependensi kompleks membuat negara-negara membutuhkan wadah untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan mereka. Liberalisme institusional menerangkan hal tersebut, bagaimana sebuah institusi atau organisasi dapat menjadi aktor hubungan internasional. Kerjasama tersebut dapat dan selayaknya disandarkan pada sebuah institusi/organisasi (Burchill, dkk : 2005). Institusi/organisasi internasional diyakini mampu menjembatani masalah internasional dan kemudian menyelesaikannya. Penyelesaian masalah ini didasari adanya rasa yang berkenaan dengan ketakutan, ketidakpercayaan, dan kecemasan antar negara. Hal ini juga diperkuat dengan optimisme bahwa para pemimpin negara dapat mempergunakan pemikiran rasional yang kooperatif untuk menyelesaikan masalahnya demi tercapainya perdamaian. Adanya organisasi internasional ini sebenarnya sesuai dengan harapan Woodrow Wilson yang ingin mengubah hubungan internasional dari “hutan” politik kekuasaan yang kacau menjadi “kebun binatang” yang damai (Sorensen dan Jackson, 1999).

Melihat negara-negara yang sekarang hidup di dunia internasional, kebanyakan dari mereka adalah negara demokrasi. Hal ini tidak lepas dari kemenangan dari AS dalam penyebaran pengaruh demokrasinya. Banyaknya negara demokrasi ini kemudian memunculkan pemikiran liberalisme republikan. Liberalisme republikan memandang bahwa negara-negara demokrasi tidak berperang satu sama lain. Hal ini dikarenakan budaya domestik mereka dalam menyelesaikan permasalahan selalu mejunjung tinggi demokrasi dan musyawarah yang merupakan jalan damai. Dengan demikian apabila ada permasalahan internasional yang melibatkan banyak negara demokrasi, maka nilai-nilai dasar demokrasi lah yang pertama kali diterapkan sehingga tetap menjunjung tinggi perdamaian.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa liberalisme dan neoliberalisme pada dasarnya dibangun atas asumsi dasar yang sama mengenai pandangan positif dan optimis terhadap sifat manusia yang diyakini dapat menggunakan pertimbangan rasionalnya dan akan bersifat kooperatif dan kolaboratif. Baik liberalisme dan neoliberalisme juga melihat individu, kelompok masyarakat swasta, serta organisasi dan institusi internasional memiliki peran yang signifikan dalam hubungan internasional sehingga mereka direkognisi sebagai aktor hubungan internasional. Bentuk tatanan dunia menurut liberalis dan neoliberalis adalah transnasional dan interdependensi kompleks. Dengan demikian, agenda utama internasional bukan lagi soal keamanan dan militer melainkan pencapaian perdamaian dan kesejahteraan bersama melalui kerjasama ekonomi.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa liberalisme dan neoliberalisme tanpa cacat. Liberalisme dan neoliberalisme tidak mampu menjawab kritik kaum realis tentang kondisi internasional yang anarki yang benar-benar ada. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa yang merupakan bentuk organisasi internasional menjadi kritik dari realisme bagi liberalisme yang tidak bisa dijawab. Liberalisme juga hanya menjadi kedok bagi negara-negara besar untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Dengan berpura-pura menjalin kerjasama internasional, negara-negara besar memainkan power mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa negara, individu, dan organisasi internasional tidak sepenuhnya baik seperti yang dibayangkan oleh liberalis dan neoliberalis.

Referensi :
Burchil, Scott, dkk. 2005. “Theories of International Relations”. Palgrave Macmillan : New York
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. “Pengantar Studi Hubungan Internasional”. Oxford University Press : New York