Minggu, 23 Mei 2010

Postmodern Strategy

Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 memberikan warna baru dalam dunia militer khususnya peperangan pasca berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang ini, yang pada implementasinya di lapangan, tidak lagi bergantung pada pasukan dan persenjataan, namun lebih mencoba mendayagunakan teknologi dan kendali jarak jauh serta pencitraan besar-besaran oleh media sehingga dapat berdampak secara psikologis. Hal ini tentu saja kontras dengan perang pada era klasik modern dimana lebih mendayagunakan pasukan, kekuatan militer, dan persenjataan yang kian rumit dan canggih secara aktual di medan pertempuran. Keadaan ini secara perlahan menunjukkan adanya perubahan strategi perang dari masa modern menjadi strategi perang pada era posmodern. Perang teluk menjadi tepat untuk dijadikan salah satu contoh dari perang posmodern karena di dalamnya terdapat berbagai perbedaan dengan perang-perang sebelumnya pada era modern. Sebelum masuk pada bahasan perbedaan antara antara strategi perang modern dan strategi perang posmodern, maka akan dibahas tentang latar belakang dan kondisi masing-masing perang pada masing-masing era.

Pada era modern, dimana oleh Clausewitz, perang dimaknai sebagai kontinuitas dari politik dalam bentuk lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Perang juga dimaknai sebagai pendayagunaan segala kemampuan dan sumber daya untuk mencapai sebuah tujuan politik (Clausewitz, 1780-1831). Dengan demikian, latar belakang dari perang modern tidak lain adalah kepentingan politik yang kemudian dilanjutkan dengan pendayagunaan militer untuk mempermudah pencapaian tujuannya. Perkembangan persenjataan canggih seperti rudal balistik hingga nuklir juga menjadi salah satu sumber kekuatan dan pertimbangan dalam penyusunan strategi pada perang modern. Sederhananya, strategi perang yang berkembang pada era modern ini tidak lain adalah sebagai sebuah alat atau bentuk lain sebagai kelanjutan dari politik untuk mencapai tujuan secara militer. Dengan demikian, strategi menjadi jembatan antara politik dan militer karena strategi mampu mendekatkan politik dan militer kepada tujuan akhir.

Namun, perang seperti ini berubah seiring runtuhnya Uni Soviet sebagai pesaing utama Amerika Serikat. Sumber kekuatan dalam perang modern berupa pasukan dan kekuatan militer agaknya mulai tereduksi dengan hadirnya teknologi informasi yang berkembang begitu pesat. Penemuan GPS dan teknologi lainnya membuat perang bisa dilakukan dengan kontrol jarak jauh sehingga peperangan akan lebih berifat virtual, tidak lagi aktual (Sesandi, 2009). Jarak dan waktu bukan menjadi masalah ketika teknologi dan informasi hadir di tengah-tengah peperangan yang pada akhirnya digunakan sebagai salah satu faktor dalam perang. Dengan tidak adanya perang secara langsung ini memberikan keuntungan yaitu dapat mengurangi biaya untuk melakukan peperangan dan juga dapat meminimalisir jatuh dan meluasnya korban jiwa. Penggunaan robot dan teknologi canggih lainnya sebagai pengganti manusia dalam perang merupakan contoh yang sangat nyata.

Peran media juga menjadi begitu sentral ketika media telah berkembang secara signifikan dan pada akhirnya digunakan sebagai alat untuk menyebarkan propaganda dan teror yang nantinya media sangat berperan dalam mengkonstruksi efek psikologis bagi lawan yang diserang. Selain berusaha mematahkan lawan, sebenarnya tujuan awal dari perang ini adalah dengan memainkan persepsi lawan untuk bergabung dengan kita karena mengajak seseorang untuk bergabung adalah lebih mudah dan murah daripada membunuhnya. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa senjata dalam perang postmodern adalah estimasi, persepsi, definisi karena itu media merupakan senjata yang penting dalam perang postmodern (Maria, 2009).

Dengan demikian, adanya perbedaan keadaan dari era modern dan era posmodern ini lah yang memicu adanya strategi posmodern sebagai jawaban atas dunia yang telah berubah.

Critical Theory : Kritisasi Terhadap Teori Tradisional

Seiring dengan perkembangannya, ilmu hubungan internasional dibangun atas teori-teori yang terus bermunculan sebagai hasil dari perdebatan yang terus berlangsung. Masing-masing teori dibangun dengan asumsi dasar yang berbeda-beda sehingga mereka memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi distinct dengan teori yang lain. Dalam perjalanannya, dua teori besar telah dan terus berkembang sampai sekarang, realisme dan liberalisme beserta turunannya : neorealisme dan neoliberalisme. Dua teori dan turunannya ini begitu mendominasi para penstudi hubungan internasional. Namun, teori-teori ini tidak begitu saja berdiri tegak dengan segala kemapanannya. Ada sebuah teori yang kemudian mencoba untuk mengkritisi dua teori yang telah mapan ini, mencoba melihat dan menggali sisi lain dari hal-hal yang tidak terjangkau oleh dua teori pendahulunya. Para pemikir teori ini menamakan teori yang dianutnya sebagai teori kritis. Jackson dan Sorensen (1999) mengkategorikan teori kritis dalam kategori teori-teori pospositivis dalam hubungan internasional.

Teori kritis ini dibangun dari studi sosial yang berusaha membedakan pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Horkheimer menjelaskan bahwa pengetahuan tradisional memiliki beberapa karakteristik yaitu adanya pemisahan antara obyek dan subyek sehingga teori yang didapat bisa tepat, ada dunia eksternal di luar studi, dan bersifat bebas nilai. Hal ini berebda dengan karakteristik pengetahuan kritis yaitu, menolak sistem analisis bebas nilai, mengijinkan adanya uji tujuan dan fungsi dari teori tertentu, menempatkan orientasi dari konteks sosial dalam situasi yang ditentukan, serta menjunjung aspek emansipasi dari pada berpijak pada konsolidasi atau legitimasi (Devetak, 2005). Pada tahun 1937, teori kritis semakin populer dengan hadirnya “Frankfurt School of Thought” yang terdiri dari beberapa teoritisi kritis, antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Teoritisi HI kritis yang paling populer adalah Robert Cox dan Andrew Linklater. Mereka dengan tegas menolak tiga postulat dasar positivisme, yaitu : realitas eksternal obyektif, perbedaan subyek/obyek, dan ilmu sosial bebas nilai (Jackson dan Sorensen, 1999).

Salah satu bagian dari teori kritis adalah marxisme dan neomarxisme. Pada dasarnya pemikiran marxisme dan neomarxisme tidak memiliki banyak perbedaan siginifikan. Pendekatan yang digunakan neomarxisme sebagai turunan dari marxisme ini hanya berbeda dalam hal aktor dan struktur. Asumsi dasar neomarxisme pada dasarnya adalah sama dengan asumsi dasar dari marxisme itu sendiri. Bila dikaitkan dengan perkembangan neomarxisme, teori kritis berorientasi pada perubahan progresif dan keinginan idealisme dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Teori kritis HI mencari pengetahuan untuk tujuan politis, yaitu untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang ”menekan” dan dikendalikan oleh kelas hegemon seperti Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global kelas negara kaya di belahan Utara dunia atas kelas negara miskin yang mayoritas berada di Selatan dunia. Oleh karena itu, tak jarang bila teori kritis sering dikaitkan dengan teori Ekonomi Politik Internasional (Jackson dan Sorensen, 1999).

Perwujudan dari teori kritis ini ada yang berupa pemikiran neomarxisme yang kemudian hadir untuk memberikan ktirik terhadap dua teori lain yang telah mapan, neorealisme dan neoliberalisme. Ada dua teori yang digunakan dalam mengkritik neorealisme yaitu yang pertama adalah idealisme-liberalisme yang dibawa oleh Robert O. Keohane dan Teori Kritis-Marxisme yang dibawa oleh Robert Cox (Fienberg, 1995). Namun, Robert Cox dalam kritiknya terhadap neorealisme, memberikan suatu kritikan yang dibangun dengan metodologi kritis yang kemudian menjadi kritikan yang lebih memiliki ciri khas sendiri daripada sekedar kritik yang diajukan oleh orang neoliberal. Dalam konstruksi pemikiran Cox, ia sangat meyaini bahwa tidak pernah ada suatu teori pun yang mampu mencapai suatu konsep yang dinamakan sebagai kebenaran sejati, dimana neorealis dan juga neoliberalis (kaum tradisionalis pada umumnya) justru setuju bahwa kebenaran sejati telah berhasil mereka capai dalam setiap asumsi-asumsi yang mereka miliki. Inilah yang menjadi poin paling esensial yang disampaikan oleh Robert Cox dalam mengkritik neorealisme, ketika Cox menanyakan tentang outright objectivity yang diajukan oleh neorealisme. Dengan perspektif marxismenya, Cox menyatakan bahwa konsep kebenaran sejati hanya akan dapat dicapai jika seseorang mengetahui apa yang diperbuatnya dan memahami apa yang diperbuatnya, dan menerima bias atas apa yang sedang diperbuatnya (Cox, 1981). Di sisi lain, Robert Cox juga menolak konsep moralitas yang juga dibawa oleh neorealis. Moralitas menurut asumsi Cox, akan menyebabkan adanya suatu pemikiran tentang adanya suatu kebenaran. Seperti yang telah diuraikan diatas, Cox mengklaim bahwa dirinya telah mencapai apa yang ia sebut sebagai kebenaran dengan menerima bias pernyataanya sendiri dan menyatakan pernyataanya itu. Menurut standarisasi yang dibuatnya sendiri, menurut Cox, dirinya telah mencapai apa yang disebut sebagai kebenaran dan mengklaim bahwa apa yang dikatakanya adalah sesuatu yang benar.

Sebagai sebuah teori yang dibangun dengan pemikiran yang kritis, teori kritis mampu menajadi pemikiran alternatif yang berupaya memberikan sentuhan dan warna baru ada teori-teori tradisional yang telah mapan dalam hubungan internasional, realisme dan liberalisme. Secara metodologis, teori kritis tidak berfokus pada bagaimana mempeajari fenomena hubungan internasional, namun lebih untuk memahami fenomena tersebut dengan lebih mendekatkan pada fenomena-fenomena kompleks yang cenderung tidak bisa dijelaskan oleh teori-teori pendahulunya. Teori kritis juga berusaha menyadarkan kepada para semua penstudi sosial khususnya hubungan internasional bahwa sesuatu yang bersifat sosial tidak memiliki konsep kebenaran mutlak. Nilai-nilai universalitas yang diusung oleh teori pendahulunya mencoba dipatahan dengan menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan sosial bersifat parsial dan tidak akan pernah lepas dari pemikiran yang bersifat ideologis dari para pemikirnya sehingga menyebabkan hal tersebut tidak bebas nilai.

Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis tidak selamanya menguntungkan. Teori kritis cenderung dibangun tanpa adanya tahapan analisis yang jelas karena hanya berangkat dari teori yang telah ada ada kemudian dikritik. Teori kritik juga tidak menyajikan sebuah solusi aka sesuatu yang telah dikritiknya. Akibatnya, teori kritis tidak mampu mengambil sikap dalam menentukan relativitas dan netralisasi aksi politis. Penentangan bebas nilai memang diagungkan oleh teori kritis, namun yang menjadi kendala ialah bagaimana keputusan mereka dalam mensubstansikannya dengan kajian riset dan keilmuan? Jika teori-teori yang ada dalam hubungan internasional merupakan teori yang tidak bebas nilai, maka sebenarnya hubungan internasional bahkan ilmu politik itu sendiri tidak pernah ada sebagai suatu ilmu pengetahuan dan tidak lebih dari sekedar hasil pemikiran politis biasa.





Referensi :



Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Relations Studies.

Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Plagave Camillan.

Fienberg, Howard. 1995. Keohane’s Realisme and Its Critics. http://www.hfienberg.com/irtheory/neorealism.html diakses pada 19 Mei 2009

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Kritis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Selasa, 18 Mei 2010

Neoliberal Empire : Dominasi Baru Dalam Globalisasi Pasca Tragedi 11 September

Globalisasi yang akhir-akhir ini kerap kali digembor-gemborkan keberadaannya telah berkembang begitu pesat. Implikasi dari proses globalisasi yang terjadi sekarang tidak hanya meliputi bertambah pesatnya kemajuan dalam hal teknologi dan perdagangan saja, melainkan telah merambah pada perubahan tatanan dunia. Spirit neoliberalisme begitu kental terasa dalam proses globalisasi. Adanya spirit globalisasi yang begitu kental menyebabkan globalisasi lebih mengarah kepada isu-isu ekonomi seperti perdagangan bebas dan kerjasama baik bilateral maupun regional. Sejak perang dingin berakhir hingga tahun 2002, peran WTO begitu penting dalam menjalankan perekonomian dunia dalam semangat neoliberalisme sebagai manifestasi globalisasi. Promosi mengenai perdagangan bebas yang digaungkan Amerika Serikat begitu gencar dilakukan untuk memperlancar neoliberalisasi. Politik luar negeri Amerika Serikat bahkan diarahkan kepada isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan finansial dan pasar. Pada masa ini, perkembangan globalisasi kemudian disebut sebagai neoliberal globalization. Namun, hal tersebut mulai berubah semenjak adanya serangan 11 September ke WTC yang pada saat itu merupakan simbol kekuatan ekonomi Amerika Serikat. Serangan 11 September serta merta membuat Amerika Serikat marah dan mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk terorisme. Amerika Serikat menuduh Al-Qaeda sebagai pelakunya dan semenjak saat itu Amerika Serikat menyatakan perang kepada terorisme.

War on Terrorism yang kerap dikumandangkan Amerika Serikat sering kali dijadikan alat legitimasi dan justifikasi dalam setiap tindakannya. Yang paling hangat dalam ingatan adalah ketika Amerika Serikat melancarkan invasi ke Irak dan Afghanistan dengan dalih memerangi terorisme. Tindakan Amerika Serikat yang seakan terlalu paranoid ini justru kemudian lebih menjurus pada pendudukan. Era ini selanjutnya disebut sebagai neoliberal empire, babak baru dari globalisasi. Disebut sebagai neoliberal empire karena merupakan osmosis dari neoliberalism dan empire. Neoliberalism selalu berkaitan dengan bisnis, keuangan, dan mekanisme pasar, sedangkan inti dari empire adalah keamanan nasional dan industri militer yang kompleks (Pieterse, 2004). Keduanya melebur menjadi satu dan tersaji dalam globalisasi kontemporer. Terdapat perubahan pola-pola yang mendominasi proses globalisasi antara neoliberal globalization dan neoliberal empire. Perubahan tersebut dapat diamati dari perilaku Amerika Serikat yang selama ini menjadi pelaku utama globalisasi atau yang kemudian dikenal sebagai Amerikanisasi. Perubahan tersebut meliputi pemerintah, privatisasi, pola perdagangan, dan hal-hal yang kerap dikumandangkan dan dipromosikan olehnya.

Pola perubahan pertama dapat diamati dari pemerintahan Amerika Serikat. Secara filosofis, pemerintahan neoliberalisme tidak begitu membutuhkan pemerintahan yang besar dan kompleks. Namun, serangan 11 September telah menunjukkan bahwa Amerika Serikat ternyata masih memiliki pemerintahan dan sistem pertahanan yang lemah. Oleh karena itu Amerika Serikat kemudian memperkuat sistem pemerintahan dan pertahanannya. Departemen Keamanan Dalam Negeri menjadi salah satu contoh dari perbaikan sistem pemerintahan dan pertahanan pasca tragedi 11 September. Ekspansi dalam bidang militer dan intelejen, sistem keamanan, dan propaganda kebijakan juga menjadi contoh lain bahwa perubahan memang benar-benar terjadi (Pieterse, 2004).

Pola perubahan kedua adalah adanya privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Privatisasi merupakan manifestasi dari neoliberal globalization yang ditujukan pada bidang ekonomi dan bisnis. Privatisasi dan komersialisasi bahkan semakin merambah dalam bidang politik. Money politic kerap kali terjadi menghilangkan akuntabilitas dari bisnis tersebut, dimana akuntabilitas merupakan ciri alami dari sebuah bisnis yang diprivatisasi. Banyak kebijakan yang kerap kali dianggap tidak begitu tepat namun dapat lolos dari birokrasi dan pada akhirnya dapat teratifikasi sebagai kebijakan. Pada era neoliberal empire, privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah semakin merambah ke bidang pertahanan dan militer. Serangan 11 September menjadi pemicu dan pelecut Amerika Serikat untuk lebih meningkatkan sistem keamanan dan keamanannya dengan cara menggandeng perusahaan swasta untuk menopang industri militer negara tersebut. Hal ini dilakuakan untuk mendukung kebijakan war on terrorism yang digaungkan oleh Amerika Serikat. Privatisasi militer yang kemudian sebagian dipegang oleh swasta termanifestasi oleh adanya pelayanan pelatihan tentara luar negeri hingga jaminan keamanan Presiden Karzai di Afghanistan. Semua hal tersebut dilakukan oleh kontraktor swasta seperti DynCorp dan MPRI (Pieterse, 2004). Tidak hanya berhenti di sini, pemerintah juga menggandeng swasta dalam upaya restrukturisasi Irak yang juga dilakukan tanpa adanya akuntabilitas publik yang jelas.

Pola perubahan ketiga adalah dalam bidang perdagangan. Perdagangan bebas telah menjadi agenda utama dalam globalisasi. WTO menjadi institusi internasional yang menjalankan peran dominan dalam setiap perdagangan internasional. Amerika Serikat sebagai negara dengan industri maju merupakan salah satu pelaku perdagangan bebas internasional. Namun ketika pemerintahan Amerika Serikat berkeyakinan bahwa perdagangan lebih dari sekedar efisiensi ekonomi, namun lebih kepada peran Amerika dalam tatanan internasional. Dengan demikian, Amerika Serikat hanya akan menjalankan perdagangan bebas jika hal tersebut tidak mengganggu kepentingannya (Pieterse, 2004). Hal ini kemudian menimbulkan benturan dengan WTO sebagai pemegang peran dalam perdagangan internasional. Amerika Serikat kini lebih cenderung melakukan kerjasama menyangkut perdagangan bebas secara bilateral maupun regional. Dengan demikian Amerika Serikat lebih bisa memaksimalkan perannya untuk mencapai kepentingan nasionalnya dalam perdagangan internasional.

Pola perubahan keempat adalah adalah promosi yang digencarkan oleh Amerika Serikat. Membawa semangat neoliberalisme, Amerika Serikat sangat gencar mempromosikan kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat benar-benar memiliki peran dan pengaruh dalam konstelasi internasional. Namun, sekali lagi, serangan 11 September benar-benar telah merubah segalanya. Amerika Serikat yang sebelumnya sangat gencar dalam mempromosikan kerjasama seketika merubah arah promosinya. War on terrorism menjadi bahan promosi yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Pieterse, 2004). Bahkan hal tersebut telah menjelma menjadi alat legitimasi dan justifikasi bagi setiap kebijakan Amerika Serikat yang berkaitan dengan perang terhadap terorisme. Invasi terhadap Irak dan Afghanistan yang disebut-sebut untuk memerangi terorisme sepertinya telah berubah orientasi menjadi pendudukan dan pengeksploitasian kedua negara tersebut mengingat kedua negara itu memiliki cadangan minyak yang besar. Namun, Amerika Serika tetap menggunakan dalih war on terrorism sebagai dalih dari tindakannya padahal tindakanya telah menjurus pada imperialisme.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa telah terjadi pembelokan dari neoliberal globalization menjadi neoliberal empire. Invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan dengan mengatasnamakan war on terrorism telah menyimpang dari tujuan awalnya. Pendudukan lahir sebagai sesuatu yang berbeda dari era globalisasi yang dibawa oleh Amerika Serikat sebelumnya. Inilah mengapa periode ini kemudian disebut sebagai neoliberal empire, dimana nilai-nilai neoliberal masih ada namun teraplikasikan dalam bentuk yang berbeda dimana perubahan tersebut dikarenakan serangan 11 September yang begitu mencengangkan.


Referensi

Pieterse, Jan Nederveen. 2004. Neoliberal Empire, dalam Globalization or Empire?. London: Routledge

Kamis, 13 Mei 2010

“The presidency requires the constitution of an athlete, the patience of a mother, and the endurance of an early Christian” (Woodrow Wilson)

Rakyat Amerika Serikat memiliki harapan yang begitu besar kepada setiap presiden yang memimpin mereka. Seperti yang disampaikan oleh Thomas Cronin, rakyat Amerika membutuhkan pemerintahan pusat dan kepresidenan yang kuat, namun mereka juga khawatir jika pemerintahan justru hanya menyebabkan “American King”. Harapan-harapan mereka terhadap presiden terkadang bersifat kontradiktif. Contohnya adalah mereka menginginkan presiden mereka menjadi seorang inspirator yang dapat mengangkat harapan rakyatnya, namun terlalu banyak inspirasi hanya akan menjadikan angan-angan saja dan cenderung semu. Rakyat Amerika juga menginginkan presiden yang biasa saja namun memiliki kinerja yang luar biasa dan kompeten. Pada intinya, rakyat Amerika menginginkan seorang presiden yang bersahaja namun memiliki kinerja yang luar biasa. Keseimbangan ini merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dicapai.

Berkaitan dengan segala harapan yang ada pada setiap rakyat Amerika terhadap presidennya, presiden Amerika memiliki peran yang beragam. Presiden Amerika dapat beperan kepala negara yang bertugas untuk memimpin beragam upacara kenegaraan, berperan sebagai kepala eksekutif yang bertugas mengawasi kinerja Federal Bureaucracy, berperan sebagai kepala diplomat yang bertugas untuk bertemu para duta besar dan membuat kesepakatan, berperan sebagai pusat komando yang bertugas untuk menentukan langkah-langkah para jendral dan kaptennya dalam militer, berperan sebagai pengatur kesejahteraan yang bertugas untuk mengalokasikan dana bagi kemakmuran rakyatnya, dan berpera sebagai pemimpin partai yang bertugas untuk mengkampanyekan partainya. Keadaan demikian sering kali menimbulkan konflik peran yang overlap satu sama lain misalnya saat presiden berperan sebagai seorang diplomat yang idealnya memperjuangkan kepentingan negara, bukan hanya kepentingan golongan atau partainya saja. Tugas presiden memang banyak, namun diharapkan presiden tetap menjunjung tinggi kepemimpinan. Pendayagunaan sumber-sumber dan kerjasama harus benar-benar dimaksimalkan dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan yang ada. Setidaknya inilah uraian dari apa yang disampaikan Woodrow Wilson, bahwa sebenarnya presiden memiliki banyak peran yang mungkin kontradiktif dan dapat menimbulkan konflik peran dikarenakan adanya overlapping dalam tugasnya. Namun, hal ini tidak menjadikan presiden dapat bertindak di luar hukum dan keadilan, karena bagaimanapun juga keadilan harus tetap dijunjung tinggi dan ditegakkan.



Referensi :



Melusky, Joseph. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education.

Rabu, 12 Mei 2010

Kebijakan Luar Negeri dan Elemen Penyusunnya

Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Walker Bush menetapkan kebijakan luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT). Dalam kebijakan luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat menetapkan kebijakan keamanan ekstra ketat di dalam negeri, menyeleksi secara ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang sejalan dengan kebijakan luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu. Tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat inilah yang dinamakan sebagai kebijakan luar negeri. Sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana kebijakan luar negeri itu dibuat, marilah kita memulai dengan definisi dari kebijakan luar negeri itu sendiri. Carlton Clymer Rodee et al. mendefinisikan Kebijakan Luar Negeri sebagai :




“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain … [yaitu] bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan internasional.”



Dengan demikian, kebijakan luar negeri adalah suatu hal yang sangat esensial bagi suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Menurut Coulombis dan Wolfe, kebijakan luar negeri dijabarkan sebagai suatu sintesis dari kepentingan nasional yang bergantung pada power dan kapabilitas suatu negara. Hal inilah yang membuat kebijakan ini lebih penting daripada kebijakan lain karena kebijakan ini membawa tujuan untuk mencapai kepentingan nasional yang merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu negara. Power dan kepentingan nasional memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebijakan luar negeri. Power dan kebijakan luar negeri dapat dilihat melalui dua keadaan. Keadaan pertama yaitu dengan memposisikan power sebagai tujuan dan kebijakan luar negeri sebagai alat untuk mencapainya. Kebijakan luar negeri yang dibangun berdasarkan kepentingan nasional digunakan untuk mencapai power yang lebih tinggi atas negara atau aktor lain. Keadaan kedua adalah dengan memposisikan power sebagai instrumen yang digunakan secara bersamaan dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional. Hal ini menunjukkan fleksibilitas hubungan antara kebijakan luar negeri, power, dan kepentingan nasional.

Kebijakan luar negeri disusun oleh negara dengan dasar kepentingan nasional dan dengan memperhatikan kapabilitas dari negara tersebut. Secara garis besar terdapat lima elemen analisis penting yang sangat mempengaruhi penyusunan kebijakan luar negeri. Rosenau menjabarkan lima elemen analisis ini adalah individu, kelompok, birokrasi, sistem nasional, dan sistem global.

Kapasitas individu yang dalam hal ini merupakan pemimpin negara sangat mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara. Behavior dari individu dalam hal ini presiden akan sangat dipengaruhi oleh ideosinkretis dan pertimbangan rasional dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Ideosinkretis adalah segala hal yang berkaitan dengan ideologi, kepercayaan, dan budaya. Ideosikretis dan pertimbangan rasional dapat mempengaruhi psikologis para pengambil kebijakan. Dominasi individu sebagai pemimpin negara akan sangat terlihat dominan dalam pengambilan kebijakan luar negeri pada negara-negara yang bersistem otoriter dan sosialis. Contohnya adalah peran Kim Jong Il yang begitu dominan bagi rakyat Korea Utara karena negara ini menganut sistem otoriter sehingga begitu mencerminkan setiap tindakan Korea Utara dalam pengambilan kebijakan luar negerinya.

Pengaruh individu dalam pengambilan kebijakan dapat terlihat sangat jelas jika negara tersebut menganut sistem otoriter dan sosialis. Namun jika yang menjad objek adalah nera demokrastis, maka ada variabel lain yang juga sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri. Kelompok adalah faktor lain di luar individu. Baik kelompok kepentingan, kelompok penekan, atau kelompok lain yang memiliki posisi strategis dan kepentingan tertentu di pemerintahan dapat mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara. Contohnya adalah ketika Indonesia memberikan dukungan kepada AS mengenai penghentian nuklir Iran, FPI bereaksi dan mendesak agar Indonesia membatalkan dukungan tersebut dan pada akhirnya Indonesia membatalkan dukungan kepada AS.

Kelompok kepentingan yang merupakan representasi dari opini publik yang tersalurkan melalui media akan berubah menjadi kelompok penekan bila mereka merasa bahwa aspirasinya tidak dapat tersalurkan dengan baik. Mereka juga tidak bisa memaksakan begitu saja kepada pemerintah agar mengikuti keinginan mereka. Dengan demikian terjadi proses antara beberapa pihak yang berkepentingan dalam penyusunan kebijakan luar negeri ini melalui pendekatan birokratis. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Allison dalam melihat kasus krisis Kuba. Penempatan rudal di Kuba bukanlah hasil dari keputusan Reagan atau Kruschev semata, namun lebih karena ada proses birokrasi. Dalam pendekatan ini, kebijakan luar negeri bukan merupakan produk rasionalitas individu saja, melainkan terdapat proses kompromi, bargaining, dan adjustment.

Berkaca pada salah satu dasar dari kebijakan luar negeri adalah kepentingan nasional, maka dalam penyusunan kebijakan, segala faktor yang ada di dalam negeri menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting. Elemen-elemen kekuatan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan kekuatan militer menjadi aspek kalkulasi kebijakan. Kondisi dalam negeri meliputi keadaan politik dan pertumbuhan ekonomi juga merupakan faktor penting dalam penyusunan kebijakan. Misalnya pengambilan kebijakan Indonesia dengan Vietnam tentang barter beras dengan tank tank milik Indonesia. Kondisi saat itu adalah Indonesia sedang mengalami krisis beras sehingga kita sangat membutuhkan beras dari Vietnam, sedangkan Indonesia memiliki pabrik pembuat tank yang hasilnya dapat dibarterkan dengan Vietnam.

Seperti namanya, kebijakan luar negeri, maka kebijakan ini ditujukan kepada segala sesuatu yang berada di luar suatu negara. Selain memperhitungkan kondisi internal suatu negara, penyusunan kebijakan luar negeri juga perlu mempertimbangkan kondisi eksternal negara yaitu sistem global atau internasional. Kebijakan luar negeri dapat berupa reaksi dari apa yang terjadi dalam sistem internasional. Contohnya adalah kebijakan Korea Utara mulai membuka diri untuk berunding kembali mengenai proliferasi nuklirnya ketika mendapatkan banyak desakan internasional kepada Korea Utara padahal Korea Utara sempat tidak mau untuk berunding kembali.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima elemen yang esensial dalam penyusunan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional dari suatu negara. Namun, sebenarnya ada satu elemen lagi yaitu eksistensi organisasi atau institusi internasional yang juga dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Misalnya, Indonesia yang telah tergabung dengan ASEAN akan mengarahkannya kebijakan luar negerinya terhadap hal hal yang juga menjadi perhatian bagi ASEAN.



Referensi


Rodee, Carlton Clymer, dkk. 2002. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali

Columbis, Theodore dan James H. Wolfe. 1999. Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin

Perwita, Banyu. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya

Rosenau, James. 1976. World Politics : An Introduction. New York : The Free Press

Soeprapto. 1997. Ilmu Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku. PT Raja Grafindo Persada

Strategi Nuklir dan Perkembangannya

Sejak pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan sebagai senjata. Senjata nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh Sekutu untuk menundukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah strategi keamanan, nuklir baru menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang saling bertikai (Timur atau AS dan Barat atau US) menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh. Dari sini lah dapat dikatakan bahwa nuklir ada sebagai salah satu strategi baru dalam hubungan internasional. Berikut ini akan dijabarkan penggunaan nuklir sebagai salah satu strategi dalam setiap jamannya.


Nuklir Sebagai Strategi Penangkalan Pada Perang Dingin

Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir.

Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir ada beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).

Strategi Nuklir Pasca Perang Dingin

Pembahasan mengenai strategi nuklir pasca Perang Dingin akan difokuskan pada strategi nuklir Amerika Serikat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hingga kini Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang memiliki keunggulan nuklir.

Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.

Tindakan ini kemudian disusul oleh tindakan-tindakan berikutnya yaitu mengenai pengurangan senjata nuklir yang beredar. Pada tahun 1994 terdapat Nuclear Posture Review (NPR). Pada tahun 1993 dan diperpanjang sampai 2007 terdapat perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty). Dua perjajian ini merupakan landasan bagi AS untuk menunjukkan itikad baiknya untuk mengurangi kepemilikan nuklir demi menjaga perdamaian dan keamanan stabilitas internasional. AS juga bekerjasama dengan negara-negara bekas US untuk mencegah pengembangan nuklir akibat “kebocoran nuklir” (Butfoy, 1999).

Perbedaan sikap dan strategi AS pada saat perang dingin dengan pasca perang dingn menunjukkan bahwa hubungan tersebut benar-benar ada. Nuklir yang awalnya merupakan senjata sekarang mulai berubah menjadi sebuah strategi suatu negara.


Referensi


J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986

A.R. Sutopo, “Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.

Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.