Sabtu, 09 Oktober 2010

Diplomasi : Representasi Kepentingan Nasional, Konstruksi dan Refleksi Kebijakan Luar Negeri

Suatu negara yang berdaulat pasti tidak bisa lepas dari dunia internasional yang tidak hanya terdiri dari negara lain, namun juga terdiri dari entitas politik dan ekonomi lain yang juga menjalin hubungan dengan negara. Dalam upaya menjalin hubungan, negara kerap kali menjalani suatu proses yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang tentu saja mencerminkan kepentingan nasional yang diwujudkan dengan kebijakan luar negeri. Proses menghasilkan kesepakatan inilah yang disebut diplomasi. Dalam bukunya, S. L. Roy (1993) menjelaskan bahwa diplomasi berasal dari kata diploun yang artinya “melipat”. Selanjutnya kata ini berkembang dan mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing di luar bangsa Romawi. Karena perjanjian ini semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban dengan dokumen-dokumen kecil yang tak terhitung jumlahnya yang dilipat dan diberikan dalam cara khusus (Roy, 1993). Dari sejarah perjalanan diplomasi yang demikian, mucullah beberapa definisi baru mengenai diplomasi.

Harold Nicolson ( ) mendefinisikan diplomasi sebagai proses dan alat dimana negosiasi dilakukan. Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa diplomasi adalah proses negosiasi yang dilakukan antara perwakilan resmi negara dengan negara lain.

Tujuan dari diplomasi adalah untuk mempengaruhi (Rosecrance, 1973). Diplomasi dapat dinilai berhasil jika salah satu pihak dapat meyakinkan dan mempengaruhi pihak lain. Dengan demikian diplomasi dapat dikategorikan sebagai salah satu cara dalam exercising power. Konsep Power menurut Morgenthau adalah kemampuan aktor A untuk membuat aktor B agar mau mengikuti apa yang menjadi keinginan dari aktor A. Cara untuk membuat mempengaruhi dapat yang antara lain melalui paksaan, hukuman, hadiah, atau bujukan dapat dilakukan oleh seorang diplomat dalam menjalankan diplomasi. Jika dengan hadiah atau bujukan tidak berhasil membuat negara lain mau menuruti apa diinginkan suatu negara, maka, dalam sebuah diplomasi, diplomat dapat memberikan ancaman yang bertujuan untuk membuat pihak yang diancam mau untuk menurutti apa yang menjadi kepentingan yang diperjuangkan oleh diplomat. Namun, dalam sebuah diplomasi, diplomat dibatasi untuk tidak sampai pada pemberian ultimatum keras yang menjurus pada pernyataan perang secara resmi. Melihat kondisi ini, diplomasi dapat juga dimaknai sebagai upaya menuju kesepakatan yang dilakukan oleh perwakilan negara dengan negara lain terkait suatu isu.

Dalam diplomasi internasional, cara-cara persuasif menjadi cara paling utama dalam pencapaian sebuah kesepakatan. Diplomat yang baik adalah mereka yang mampu menyampaikan argumen, pandangan, dan pernyataan dengan mengedepankan keadaan aktual dan faktual dengan cara sepersuasif mungkin. Sebuah diplomasi juga memungkinkan untuk dibumbui dengan ancaman dan hadiah jika memang hal tersebut telah dipertimbangkan oleh diplomat bahwa negaranya dapat benar-benar melakukan apa yang disampaikannya. Jika kesepakatan yang diinginkan gagal terwujud, maka diplomat dapat memberi tahu negaranya bahwa perundingan selanjutnya hanya akan sia-sia saja.

Diplomasi berusaha menciptakan kesesuaian dan mendamaikan perbedaan-perbedaan dengan melakukan negosiasi dan mediasi antar negara dengan baik dan cerdik. Dalam hal ini, diplomasi indonesia menerapkan pola “intermestik“, yaitu diplomasi yang menyuarakan kepentingan nasional ke masyarakat internasional, dan mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dalam negeri ke dunia internasional. Komunikasi dalam negeri bertujuan untuk membentengi kepentingan nasional serta mengambil langkah antisipatif dalam menghadapi arus tuntutan dunia.

Selain bekal kemampuan yang handal dari seorang diplomat dalam bernegosiasi, kesuksesan dalam diplomasi juga ditentukan oleh negara dimana diplomat berasal. Seorang diplomat tentu akan terbatasi oleh kemampuan dan kekuatan negaranya. Seorang diplomat tentu saja tidak akan melakukan atau menjanjikan sesuatu di luar kemampuan negaranya, atau bahkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan negaranya. Oleh karena itu, dalam berdiplomasi, diplomat juga berperan dalam membentuk kebijakan luar negeri negaranya. Menurut Coulombis dan Wolfe, kebijakan luar negeri dijabarkan sebagai suatu sintesis dari kepentingan nasional yang bergantung pada power dan kapabilitas suatu negara. Hal inilah yang membuat kebijakan ini lebih penting daripada kebijakan lain karena kebijakan ini membawa tujuan untuk mencapai kepentingan nasional yang merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu negara.

Kepentingan nasional, seperti yang didefinisikan oleh Morgenthau, adalah suatu abstraksi yang luas. Kepentingan nasional pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya (Morgenthau, 1966). Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi.

Sebuah diplomasi yang berangkat dari kepentingan nasional yang pada akhirnya membentuk kebijakan luar negeri adalah ketika para petinggi Israel dan Palestina yang mulai melunak dengan membuat kebijakan baru yaitu memutuskan untuk memulai perundingan lagi. Diplomasi juga dapat mencerminkan sebuah kebijakan luar negeri dari suatu negara. Dalam keadaan demikian, diplomat harus mempertahankan sikap yang diambil negaranya dalam setiap upaya diplomasi demi memperjuangkan kepentingan nasionalnya ( ). Contoh dari keadaan ini adalah ketika Iran memutuskan untuk menjadi oposisi Amerika Serikat dalam upaya diplomasinya dengan siapapaun. Iran telah mengambil kebijakan untuk selalu kontra dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Sekutunya.

Melihat kenyataan bahwa sebuah kebijakan luar negeri suatu negara dirumuskan dari kepentingan nasionalnya, proses diplomasi yang dilakukan oleh seorang diplomat adalah sebuah proses yang mewakili negara dalam memperjuangkan kepentingan negara, dan mewakili negara dalam membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Diplomasi yang membawa kepentingan nasional suatu negara juga merupakan refleksi dari kebijakan luar negeri suatu negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diplomasi yang bertujuan untuk mencari sebuah kesepakatan antara dua atau lebih entitas negara yang mengedepankan cara-cara persuasif adalah salah satau wadah representasi kepentingan nasional yang jika kesepakatan telah terjadi, maka kesepakatan hasil diplomasi tersebut adalah cerminan dari kebijakan luar negeri suatu negara dan diplomasi yang merupakan representasi kepentingan nasional juga merupakan refleksi dari kebijakan luar negeri suatu negara. Antara diplomasi, kebijakan luar negeri, dan kepentingan nasional terdapat keterkaitan yang saling bersinergi dan berkesinambungan satu sama lain.



Referensi :



Morgenthau, Hans J.1966.“Another “Great Debate”: The National Interest of the United States,” in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasques. NewJersey : Prentice Hall.



Columbis, Theodore dan James H. Wolfe. 1999. Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin.



Roy, S. L. 1993. Diplomasi. Jakarta : Rajawali.



Rosecrance, Richard. 1973. International Relations : Peace or War?. McGraw Hill Inc.