Minggu, 20 Februari 2011

Perjalanan Indonesia Sebagai Individu : Masa Senja Penuh Luka, Borok Busuk Dimana-mana

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, tetap di puja-puja bangsa.. ???

Ada tanda tanya yang tersemat di belakang potongan lirik lagu wajib, lirik yang isinya menggambarkan betapa besarnya bangsa ini. Indonesia (baik negara dan bangsanya) dicita-citakan menjadi bangsa yang bermartabat dan disegani oleh negara dan bangsa lain karena serangkaian keberhasilan dan prestasinya di berbagai bidang. Pertanyaan lain juga muncul jika kita mencermati potongan lirik tersebut. Siapa yang dimaksud dengan “Indonesia” pada lirik tersebut, negara secara utuh kah, pemerintahnya saja kah, rakyatnya, atau hanya beberapa oknum saja. Pun demikian dengan “bangsa”, siapa yang memuja Indonesia, entitas yang juga belum nampak jelas. Apakah bangsa Indonesia sendiri, bangsa pejabat pemerintahan Indonesia, bangsa oknum busuk yang gemar mempermainkan kebijakan, atau bangsa lain yang tidak paham tentang Indonesia. Terlepas dari siapapun dan apapun “Indonesia” dan “bangsa” yang ada pada lirik tersebut, Indonesia (layaknya pemahaman umum) telah menggagas cita-cita ideal itu saat Indonesia masih “muda”, bahkan “balita”. Namun seiring berjalannya waktu, layaknya perjalanan usia seorang manusia, terjadi perubahan-perubahan sikap yang juga berpengaruh terhadap pencapaian cita-cita Indonesia.

Perjalanan Indonesia memang layaknya perjalanan usia seorang manusia. Ketika masih bayi dan balita, semua tampak sehat, bersih, dan polos. Kondisi fisik yang masih lucu dan segar bugar pun membuat setiap orang yang melihatnya menjadi gemas dan menggemarinya. Hal yang sama juga terjadi pada Indonesia saat bangsa Indonesia mulai terbentuk. Bangsa Indonesia mulai menyatu dari sekian bangsa yang terdiri dari suku-suku sejak deklarasi Sumpah Pemuda yang menandakan perjuangan serentak dari seluruh suku bangsa di Indonesia pada saat itu dan bertujuan satu yaitu mengusir penjajah. Kondisi bangsa Indonesia pada saat itu diliputi semangat membara yang luar biasa. Arah pikiran masing-masing kepala setiap individu adalah satu, penjajah harus keluar dari bumi Indonesia. Hal ini dilakukan demi tercapainya kemerdekaan bagi Indonesia. Banyak pula dukungan yang diberikan oleh dunia internasional bagi perjuangan heroik yang ditunjukkan oleh upaya bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah.

Masa kemerdekaan Indonesia adalah masa layaknya seorang individu yang telah menginjak usia 7 tahun. Dia sudah bisa bermain sendiri, memilih teman, suka jajan, dsb. Kegemasan dan keimutan juga masih tampak bagi individu di usia yang demikian. Kenakalan-kenakalan juga sering dilakukan namun masih dalam taraf kenakalan seorang anak kecil. Tak ubahnya Indonesia yang mulai mendapat legitimasi untuk bergaul dengan dunia internasional ketika setelah secara de facto dan de jure diakui sebagai sebuah negara pada 17 Agustus 1945. Namun pada saat itu Indonesia juga masih tidak tenang pada saat menjalankan aktivitasnya karena masih saja “diganggu” oleh Belanda dengan dua kali agresi. Lagi-lagi, karena usianya masih belia, semangat nasionalisme pun masih membara, Indonesia berhasil dengan heroik mendapatkan kebebasannya dari kekangan penjajah. Perjuangan kali ini tidak hanya melalui konfrontasi melainkan juga dengan diplomasi, terlihat dari adanya serangkaian perjanjian dari Linggarjati sampai Konferensi Meja Bundar. Lepas dari itu, pembangunan negara Indonesia juga dilangsungkan. Berbagai bentuk pemerintahan dijajal, konferensi-konferensi internasional diselenggarakan, bahkan organisasi regional Asia Tenggara pun turut digagas oleh Indonesia. Pada masa ini, terlihat Indonesia yang notabene masih belia masih memiliki semangat kebangsaan yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjalankan pembangunan negri. Indonesia juga sudah pandai bermain di kancah Internasional layaknya anak kecil yang suka bermain. Bahkan Indonesia telah pandai memilih teman dalam bergaul sehingga disegani oleh teman-teman sepermainannya, hal ini ditunjukkan dengan peran sentralnya di ASEAN pada saat itu. Fase ini setidaknya berlangsung sampai orde lama.

Indonesia dapat dikatakan memasuki fase remaja pada saat orde baru. Layaknya remaja pada umumnya yang mulai terlihat pesonanya (cantik atau gantengnya), Indonesia pun mulai terlihat mempesona pada awal sampai pertengahan era orde baru. Pembangunan yang masih di segala bidang terutama di bidang ekonomi telah mengantarkan Indonesia mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan sempat mencapai swasembada pangan. Betapa mempesonanya Indonesia pada saat itu! Andaikan Indonesia seorang lelaki, wanita pasti tersihir dengannya. Namun, layaknya remaja, Indonesia pun mulai nakal hingga terjerumus ke perilaku yang amat sangat tidak terpuji. Rezim Soeharto yang menjabat pada masa itu disinyalir melakukan segala cara untuk melanggengkan pemerintahannya. Pengarahan kekuasaan untuk kepentingan pribadi mulai menjadi marak. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di pemerintahan akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis yang pecah pada penghujung orde baru. Krisis ini merupakan bentuk kemuakan masyarakat pada pemerintahan yang sudah terlalu nakal sehingga perlu ada pihak yang mengingatkan dan menghukun “remaja” ini karena kesalahannya. Masa ini meninggalkan luka sepanjang perjalanan Indonesia. Masa remaja yang (awalnya) gemilang harus tercoreng oleh luka yang diakibatkan karena kenakalan Indonesia sendiri, kenakalan yang sangat fatal dan akan terus dikenang oleh Indonesia.

Setelah melalui masa remaja yang sempat kelam, Indonesia pun memasuki masa dewasa dan melakukan pertobatan sebagai penebusan dosa di masa remaja. Setelah revolusi 1998, masa reformasi pun digulirkan. Reformasi-reformasi kebijakan pun dilakukan, mulai dari pelaksanaan pemilu baik presiden maupun legislatatif secara langsung oleh rakyat, pembatasan masa jabatan presiden, dsb. Pengobatan juga terus dilakukan untuk menyembuhkan “luka” seperti korupsi dan nepotisme. Masa ini masih berlangsung sampai sekarang, dimana Indonesia mulai menginjak masa tua. Terlihat antiklimaks ketika melihat apa yang terjadi pada masa ini. Alih-alih menyembuhkan luka, justru luka itu kini semakin menganga lebar, menjadi borok yang busuk. Bagaimana tidak, lihat saja kasus-kasus yang mencuat belakangan ini seperti terbongkarnya makelar kasus, mafia pajak yang melibat sejumlah pejabat pemerintahan, politisasi segala bidang demi tercapainya kepentingan pribadi, dan juga berbagai kebijakan yang dianggap aneh oleh masyarakat. Belum lagi luka lama seperti korupsi yang sepertinya tak pernah sembuh dari tubuh yang sakit ini.

Kasus Bank Century yang kemudian menyeret Susno Duaji dan beberapa orang pejabat menunjukkan bahwa selama ini ada oknum yang memainkan kewenangan yang diberikan oleh negara demi kepentingan sekelompok orang, lagi kolusi dan nepotisme. Sampai Susno dibebaskan pun kasus ini belum jelas juntrungannya karena terlalu banyak saksi yang harus diperiksa, betapa kompleks dan rapi kasus ini bukan? Kasus Gayus dengan mafia pajaknya yang sampai sekarang juga belum beres karena masih terus memeriksa sejumlah orang juga menunjukkan begitu payahnya pejabat lembaga pemerintahan dari negeri ini. Belum lagi soal lembaga PSSI dan kompleksitasnya. Tentu masih ingat bagaimana timnas Indonesia yang masih berlaga dan harus berkonsentrasi dalam piala AFF justru menghadiri serangkaian undangan yang salah satunya adalah jamuan makan dari Aburizal Bakrie yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan persiapan timnas. Wajar jika publik mempertanyakan momen ini. Belum lagi soal diloloskannya Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai calon ketua dan wakil ketua umum PSSI dimana Arifin Panigoro dan George Toisuta tidak lolos verifikasi, padahal Nurdin Halid juga merupakan mantan narapidana. Anehnya tidak ada penjelasan logis dan transparan dari komite pemilihan soal tidak lolosnya dua calon tersebut. Hal ini otomatis memancing kecurigaan dari semua pihak. Pertanyaan bagaimana bisa yang lolos hanya Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie yang notabene satu kubu dan sangat dekat dengan Aburizal Bakrie sering terlontar. Ada indikasi politisasi lembaga PSSI ini yang hanya mengarah pada kepentingan sekelompok orang saja.

Masih banyak kejadian-kejadian serupa di negeri ini, yang terindikasi dibalut dengan aroma kepentingan segelintir orang yang sangat kental tanpa mempedulikan tujuan bersama atau kepentingan rakyat. Luka lama seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme bukannya semakin sembuh justru semakin menjadi borok yang menjijikkan dan berbau busuk. Bau busuknya begitu mudah tercium oleh orang banyak. Di fase yang senja ini, Indonesia seakan sudah jauh dari spirit masa mudanya dulu, spirit kebangsaan dan satu tujuan untuk satu kepentingan. Di fase senja ini, Indonesia bagai manula yang telah dipenuhi luka dan borok di sana-sini dan sudah menjadi sangat bau. Jika dibiarkan, tidak lama lagi Indonesia akan mati dalam keadaan yang tragis. Tentu tidak ada yang berharap demikian. Satu-satunya yang bisa mengembalikan keadaan Indonesia menjadi seperti dulu adalah memberikan kesempatan bagi para generasi muda yang sekarang mengkritisi, mendemo, dan mendebat pemerintah, generasi yang katanya sedah menjalani tempaan pendidikan dan pengalaman dan melihat apakah mereka (lebih tepatnya kita) bisa melakukan hal yang sesuai dengan apa yang disampaikan melalui demonstrasi, kritik, dan perdebatan yang mengatasnamakan rakyat.

Eksistensi dan Intervensi Budaya dalam Negosiasi Internasional

Negosiasi dalam level yang tinggi dilakukan oleh negara dan aktor-aktor internasional lainnya. Karena dilakukan dalam level internasional, negosiasi internasional menjadi sangat kompleks karena aktor-aktor yang terlibat di dalamnya berasal dari berbagai penjuru dengan berbagai macam budaya dan lingkungan. Faktor lingkungan dan konteks immediate memberikan pengaruh penting pada proses negosiasi internasional (Habib, 1996). Salauce (1998) mendeskripsikan beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi negosiasi internasional :

1. Pluralisme legal dan politik  kondisi negara yang merupakan institusi legal formal dan memiliki sistem politik mempunyai perbedaan dengan perusahaan dalam menjalankan urusan rumah tangga, bisnis, dan usahanya. Antar satu negara dan negara yang lain memiliki kondisi yang berbeda juga.

2. Ekonomi internasional  adanya keterikatan terhadap ekonomi internasional, dimana setiap negara memiliki perbedaan mata uang. Oleh karena itu harus disepakati mata uang apa yang akan digunakan.

3. Birokrasi dan pemerintahan luar negeri  Perbedaan juga terdapat dalam sistem birokrasi dari berbagai macam negara. Ada negara yang memberikan kebebasan bagi perusahaan untuk menjalankan bisnisnya dengan leluasa dan ada pula yang memiliki aturan yang ketat terhadap perusahaan dan perindustrian di negaranya.

4. Ideologi  perbedaan ideologi juga perlu diperhatikan dalam negosiasi karena perbedaan ini menjadi sangat prinsipal. Negosiasi yang Amerika Serikat misalnya akan lebih cenderung bersifat liberal, individualistik, dan kapitalistik. Hal ini berbeda dengan negosiasi yang dijalankan oleh China dan Perancis yang lebih mementingkan hak publik.

5. Budaya  perbedaan budaya termasuk juga akan mempengaruhi bagaimana seorang negosiator bersikap. Pengaruh dari budaya dalam diri seorang negosiator biasa akan tampak dari gaya, bahasa tubuh, dan bahkan dari cara berpikir yang menimbulkan interpretasi yang beragam.

6. Stakeholder eksternal  negosiasi juga harus memperhatikan pihak-pihak di luar negosiasi dan tidak terlibat dalam negosiasi namun terdampak dengan hasil negosiasi yang akan dihasilkan.

Faktor yang juga mempengaruhi negosiasi internasional yaitu konteks immediate. Elemen-elemen dari konteks immediate antara lain adalah sebagai berikut :

a) Kekuatan penawaran relatif  kerjasama sering kali dilakukan oleh aktor-aktor internasional. Unsur finansial pun kerap bermain dalam kerjasama yang dilakukan tersebut. Pihak-pihak yang memiliki investasi lebih memiliki kekuatan lebih untuk bernegosiasi.

b) Level konflik  tingkat konflik yang terjadi juga mempengaruhi negosiasi yang berlangsung. Konflik yang berdasarkan etnis dan identitas merupakan konflik tingkat tinggi yang memiliki tingkat pengaruh yang besar terhadap negosiasi.

c) Hubungan antar negosiator

d) Outcome yang diinginkan

e) Stakeholder immediate  adalah pihak-pihak yang memiliki pengaruh yang besar terhadap jalannya negosiasi. Mereka yang termasuk dalam pihak ini juga memiliki posisi tawar yang tinggi dalam negosiasi.

Ada dua aspek budaya yang mencerminkan konseptualisasi budaya dan negosiasi. Budaya dapat dipahami sebagai fenomena level group yang berarti masyarakat dengan berbagai kepercayaan. Budaya juga dapat dipahami sebagai kepercayaan itu sendiri, nilai, serta perilaku yang tercermin dari masyarakat. Ada dua perspektif bagaimana perbedaan budaya dapat mempengaruhi proses negosiasi, yaitu perspektif praktisi dan perspektif peneliti.

Perspektif praktisi

• Definisi negosiasi dapat mempengaruhi negosiasi. Hal ini berdasarkan pada pemikiran apakah negosiasi dilihat sebagai kompetisi atau kesempatan untuk bertukar informasi.

• Kesempatan bernegosiasi yang berbeda juga mempengaruhi negosiasi. Tidak semua pihak bisa mendapatkan kesempatan untuk berbendapat.

• Penyeleksian negosiator dengan menggunakan kriteria seperti status dan pengalaman kerja memberikan kemudahan dalam pengambilan dan perekrutan negosiator.

• Adanya hal-hal yang bersifat protokoler juga mempengaruhi negosiasi. Amerika Serikat misalnya, adalah negara yang tidak terlalu formal. Kebiasaan memanggil seseorang dengan langsung menggunakan nama depan di Amerika Serikat akan menjadi sangat berbeda di berbagai negara lain dan bahkan hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak dianjurkan.

• Cara berkomunikasi dari para negosiator yang berbeda juga akan mempengaruhi negosiasi. Komunikasi verbal maupun non verbal (body language) dari lawan negosiasinya juga perlu dipelajari oleh setiap negosiator.

• Tingkat sensitifitas terhadap juga waktu juga merupakan cermin budaya yang juga dapat mempengaruhi negosiasi. Beberapa negara seperti Jepang dan Amerika Serikat sangat menghargai waktu dan tidak suka untuk membuang-buang waktu sedangkan di beberapa negara Asia dan Amerika Latin mereka tidak memiliki kebiasaan seperti Jepang dan Amerika Serikat

• Keberanian mengambil resiko dari seorang negosiator pun juga dapat dipengaruhi oleh budayanya. Ada negosiator yang memiliki pemikiran konservatif dan mengikuti birokrasi dan ada pula negosiator yang distinct dan bermental entrepreneur yang berani mengambil resiko.

• Pilihan mengenai apakah lebih mementingkan individu atau kelompok juga merupakan produk dari budaya yang juga akan berpengaruh terhadap negosiasi. Amerika Serikat misalnya, merupakan negara yang mengutamakan kepentingan individu dan Jepang dianggap sebagai negara yang mengutamakan kepentingan kelompok.

• Bagaimana kesepakatan dapat terbentuk juga bisa menjadi cerminan dari budaya. Ada yang mengedepankan aspek-aspek rasional yang mempertimbangkan cost and benefit dalam pengambilan kesepakatan dan ada pula yang mengedepankan subjektifitas misalnya bergantung pada keluarga, ketua adat, dan tokoh agama.

• Emosi yang juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dari para negosiator juga dapat mempengaruhi negosiasi.

Perspektif Peneliti

Menurut perspektif peniliti setidaknya ada empat hal yang menunjukkan pengaruh dari budaya terhadap proses negosiasi internasional. Empat hal tersebut adalah :

• Outcome negosiasi  Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa terdapat hubungan antara budaya dan negosiasi dimana budaya memiliki pengaruh terhadap hasil dari negosiasi. Disebutkan juga bahwa negosiasi yang dilakukan secara lintas budaya cenderung menghasilkan kesepakatan yang kurang maksimal dibandingkan dengan negosiasi yang dilakuakan secara intrakultural.

• Proses negosiasi  negosiasi yang dijalankan secara crosscultural tentu dipengaruhi oleh perbedaan budaya yang ada. Perbedaan itu dapat dilihat dari bagaimana para negosiator menyusun rencana, penawaran-penawaran yang diajukan, proses komunikasi yang terjadi, dan lalu lintas pertukaran informasi yang terjadi selama negosiasi.

• Kognisi negosiator  aspek kognisi dari negosiator dapat dipastikan berbeda-beda. Aspek kognisi ini meliputi kapasitas, akuntabilitas, dan kepercayaan diri dari masing-masing negosiator. Negosiator dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sering dianggap sebagai negosiator yang memiliki kemampuan kognisi yang tinggi. Hal itu tidak terlepas dari budaya mereka yang applicable secara universal.

• Etika dan taktik negosiasi  hal ini juga dipengaruhi oleh budaya, dimana seperti diketahui bersama, etika di masing negara-negara berbeda-beda.

Perbedaan budaya dalam negosiasi merupakan tantangan tersendiri dalam negosiasi. Stephen Weiss (1994) menyebutkan ada beberapa cara yang berguna untuk menyikapi negosiasi lintas budaya. Cara ini diperoleh dari bagaimana seorang negosiator menyikapi dan memahami adanya perbedaan budaya dalam negosiasi. Cara-cara yang dipengaruhi oleh tingkat pemahaman tersebut adalah :

a) Pemahaman tingkat rendah  apabila seorang negosiator memiliki pemahaman yang minim terhadap budaya lawan negosiasinya maka negosiator tersebut dapat mempekerjakan agen/penasehat negosiasi atau juga dapat meminta bantuan negosiator.

b) Pemahaman tingkat menengah  dalam pemahaman tingkat ini, negosiator dapat mengadaptasi pendekatan negosiator pihak lain. Selain itu, negosiator juga dapat melakukan adaptasi menemukan beberapa kesamaan lalu kemudian mencocokkan dengan pihak lain.

c) Pemahaman tingkat tinggi  pada pemahaman tingkat ini, seorang negosiator dapat merangkul pihak lain, bisa juga melakukan improvisasi pendekatan atau bahkan memunculkan pendekatan baru.

Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana budaya dapat mempengaruhi jalannya negosiasi. Hal ini menjadi tantangan bagi para negosiator untuk merespon perbedaan budaya dalam negosiasi. Negosiasi internasional memang menjadi sedemikian rumit karena adanya perbedaan budaya di dalamnya.



Referensi :

Chapter 11. International and Cross Cultural Negotiation. Bahan Asdos

Multiple Parties Negotiation : Kompleksitas Dalam Negosiasi

Negosiasi tidak selalu hanya melibatkan dua pihak yang berkepentingan saja, ada negosiasi yang sangat kompleks yang melibatkan jauh lebih banyak pihak. Multiple parties negotiation adalah sebuah kegiatan negosiasi yang melibatkan lebih dari satu pihak untuk bekerja bersama-sama dalam mencapai suatu goal yang diinginkan oleh setiap pihak tersebut. menyetujui untuk membuat “single collective decision” untuk menentukan langkah-langkah. Ada sejumlah perbedaan antara multiparties negotiation dengan two-party negotiation. Jumlah pihak yang mengikuti proses negosiasi tersebut merupakan perbedaan yang paling mendasar antara keduanya. Pada negosiasi multipartai aktor yang mengikuti proses negosiasi lebih dari dua pihak. Dalam negosiasi multipartai ini juga terdapat tantangan karena setiap pihak-pihak memiliki masing-masing kesempatan untuk mengutarakan kepentingan mereka masing-masing.

Dalam negosiasi multipartai yang melibatkan banyak pihak akan lebih banyak isu-isu yang akan dibahas karena ada banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari masing-masing pihak terhadap satu isu yang sama. Dengan semakin banyaknya isu ini, akan semakin banyak pula informasi (seperti, fakta, argument, dll) yang dikenalkan dalam negosiasi ini. Banyaknya pihak yang terlibat dan banyaknya isu yang dibahas makan akan semakin banyak pula tatap muka yang terjadi. Proses diskusi akan meluas menjadi diskusi-diskusi kecil yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil. Ini akan menambah kompleksitas negosiasi. Prosedur yang harus diikuti pun menjadi semakin banyak dan rumit jika dibandingkan dengan negosiasi yang dijalankan oleh dua pihak saja. Hal yang juga membedakan negosiasi multipartai dengan negosiasi bilateral adalah jika pada negosiasi bilateral para negosiator hanya perlu untuk memperhatikan kelakuan negosiator dari pihak lain, aksi yang akan dilakukan oleh negosiator dari pihak lain, serta taktik yang akan mereka gunakan, maka dalam multipartai, masing-masing negosiator harus benar-benar mempertimbangakan strategi yang akan digunakan dalam negosiasi demi tercapainya keinginan yang diinginkan oleh masing-masing pihak.

Dalam mengatur atau mengelola negosiasi multipartai setidaknya terdapat 3 langkah-langkah penting, diantaranya adalah Prenegotiation, Actual Negotiation, dan Managing the Agreement. Yang dilakukan dalam Prenegotiaton Stage adalah negosiator masih melakukan hubungan yang belum formal dengan pihak lain dan cenderung untuk membahas isu-isu yang akan dibahas selanjutnya. Hal-hal yang termasuk dalam prenegotiaton stage adalah membahas mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi, siapa yang berbicara dalam negosiasi, dan posisi mereka dalam negosiasi. Peraturan-peraturan dalam kelompok juga ditentukan, jika suatu grup telah memiliki serangkain peraturan dan struktur seperti pemimpin, mediator, dll, maka sudah tidak perlu lagi dibentuk. Namun, jika dalam suatu kelompok anggotanya tidak pernah bertemu sama sekali maka perlu dibuat suatu susunan atau peraturan dalam kelompok tersebut dan ada salah satu anggota dalam kelompok yang harus mengambil alih kepemimpinan. Sebagian orang dalam kelompok tersebut ada yang ingin menjadi pemimpin, ada juga yang aktif, namun tidak sedikit juga yang diam dan tidak ingin menyampaikan pendapatnya. Kemudian, pemahaman mengenai biaya-biaya yang akan dikeluarkan dalam proses negosiasi, dan konsekuensi jika tidak tercapainya suatu perjanjian. Dan yang terakhir adalah mempelajari isu-isu dan mengkonstruksikan agenda-agenda yang akan mereka iktui selama negosiasi.

Formal Negotiation Stage adalah langkah kedua dari negosiasi multipartai. Tahap ini mencerminkan proses negosiasi yang sebenar-benarnya baik dalam mengatur kelompok atau masing-masing pihak dalam bernegosiasi dan nantinya dalam langkah ini akan dikeluarkan kerangka hasil yang akan digunakan dalam pembuatan persetujuan. Dalam langkah kedua ini, Juga ditetapkan beberapa hal yang merupakan komponen prosedur negosiasi yang diantaranya tentang siapa yang akan ditunjuk sebagai pimpinan sidang, penggunaan agenda yang telah ditentukan secara efektif dan apabila ada beberapa agenda yang tidak disetujui oleh salah satu pihak harus diatur kembali. Pertukaran informasi dan manner oleh semua pihak juga terjadi dalam tahap ini. Ada beberapa metode yang dapat digunakan misalnya dengan menggunakan Delphi technique dengan menggunakan kuisioner, brainstorming, dan beberapa teknik lainnya. Proses pemilihan tata cara mengatur konflik agar dapat diselesaikan secara efektif, meninjau dan mengatur kembali peraturan-peraturan yang akan digunakan, menjamin informasi dan pandangan dari berbagai macam pihak yang berbeda-beda, berjuang keras agar persetujuan yang pertama dapat terwujud juga merupakan hal-hal yang termasuk dalam tahap ini.

Langkah selanjutnya adalah Agreement Phase. Langkah yang terakhir adalah menunjukkan hasil-hasil yang telah dibahas selama proses negosiasi berlangsung untuk disepakati secara bersama dan dirangkum sebagai sebuah perjanjian. Dalam tahap ini, masing-masing pihak diharapkan untuk mempertahankan satu alternatif yang telah disepakati pada tahap sebelumnya. Tapi tidak menutup kemungkinan pada tahap ini para negosiator menemui kesulitan disaat-saat terakhir dalam pengambilan keputusan, seperti munculnya isu-isu yang tidak dapat diselesaikan pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu, ada 4 langkah dalam menghadapi masalah pengambilan keputusan tersebut, diantaranya adalah memilih solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut agar suatu persetujuan dapat segera disepakati bersama, mengembangkan rencana aksi serta melaksanakan rencana aksi tersebut, dan mengevaluasi proses-proses tersebut apakah masalah yang dibahas telah teratasi dengan baik, sehingga wajar jika proses ini memakan waktu lama. Selain itu, dalam proses pembentukan persetujuan ini, ketua negosiasi dapat membantu memperlancar persetujuan agar dapat disetujui oleh semua pihak, diantaranya adalah berterimakasih kepada para peserta negosiasi atas partisipasinya, kerja keras, dan usaha mereka untuk menyelesaikan negosiasi ini dan mencapai suatu kesepakatan, pemimpin juga bisa bergerak mendekati kelompok-kelompok untuk memilih satu atau lebih pilihan, membuat konsep mengenai perjanjian sementara.

Contoh dari negosiasi multipartai ini adalah perundingan yang membahas mengenai hukum laut internasional. Perundingan tersebut melibatkan banyak negara yang akhirnya membentuk suatu konvensi internasional yang dikenal dengan UNCLOS. Negosiasi yang melibatkan banyak pihak ini menjadi berbeda jika dibandingkan negosiasi bilateral. Tingkat kompleksitas semakin bertambah karena semakin banyaknya pihak yang terlibat, semakin banyaknya isu yang dibahas, dan semakin banyaknya tahapan dan prosedur yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan itu sendiri terbagi menjadi tahap prenegotiaton stage yang meliputi persiapan, penghimpunan informasi, dan penentuan isu; tahap formal negotiation stage yang merupakan cerminan dari proses negosiasi formal dimana terdapat pimpinan sidang yang mengatur dan menjamin kelancaran jalannya sidang; dan tahap agreement phase yang merupakan tahap dimana persetujuan akan diambil dengan memperhatikan proses-proses yang telah dijalankan sebelumnya.



Referensi :

Chapter 10. Multiple Parties and Team. Bahan Asdos

Negosiasi Bilateral : Perundingan Camp David

Negosiasi menurut jumlah pihak yang terlibat dibedakan menjadi dua, yaitu negosiasi bilateral yang diikuti oleh dua pihak dan negosiasi multilateral atau multipartai yang diikuti oleh banyak pihak. Dalam negosiasi bilateral pun terdapat bermacam-macam cara dalam pelaksanaannya. Camp David Negotiation adalah salah satu contoh dari negosiasi bilateral yang melibatkan pihak ketiga untuk ikut membantu proses pelaksanaan negosiasi dengan cara mediasi serta menggunakan sebuah teknik negosiasi yang dikenal dengan Single Negotiating Text. Perundingan Camp David ini melibatkan dua pihak yaitu Anwar Sadat, Presiden Mesir dan Menachem Begin, Perdana Menteri Israel serta Jimmy Carter, Presiden Amerika Serikat yang berperan sebagai mediator. Carter mengundang Sadat dan Begin ke Camp Daivid, tempat peristirahatan presiden Amerika Serikat di Frederick County, Maryland, pada bulan September 1979.

Perjalanan menuju perundingan Camp David dimulai sekitar awal tahun 1977. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Henry Kissinger dalam menyelesaikan konflik Arab-Israel mulai ditinggalkan dan Presiden Jimmy Carter dan sekretaris negara Cyrus Vance memiliki cara baru. Beberapa perundingan sempat dilakukan misalnya konferensi Jenewa yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Dalam konferensi tersebut, beberapa pihak yang berkepentingan tidak hadir dalam konferensi tersebut, misalnya Syria karena isu yang menimpa Palestina, Israel karena tidak mau menyetujui PLO yang dianggap organisasi teroris dan bukan representasi rakyat Palestina, serta Mesir yang keberatan dengan peraturan yang ditetapkan oleh Uni Soviet. Presiden Mesir Anwar Sadat mengadakan kunjungan ke Jerussalem dan berunding dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada November 1977. Sadat, dalam hal ini bertindak sebagai juru bicara untuk semua kepentingan negara-negara Arab, meminta pengembalian semua wilayah yang diduduki seperti Semenanjung Sinai, tepi barat wilayah Jordan, Dataran Tinggi Golan di Siria serta kembalinya Jerussalem Timur sebagai ganti perdamaian dan normalisasi hubungan dengan Israel. Begitu pula dengan Begin, dia tampak senang dengan prospek negosiasi yang dilakukan Israel dengan Mesir, selama kedua belah pihak fokus terhadap isu-isu bilateral yang terjadi.

Perdamaian yang akan tercapai dengan Mesir memberikan keuntungan di bidang militer bagi Israel. Israel dapat terhindar dari masalah keamanan dengan kembalinya Dataran Tinggi Golan ke Siria dan tepi barat ke Jordan. Namun, ada indikasi dengan terjadinya perdamaian, Sadat akan berusaha untuk mendapatkan sebuah perjanjian dari Israel yang isinya memberikan hak otonomi kepada Palestina terhadap jalur Gaza dan West Bank. Hak yang diberikan kepada Palestina nantinya akan memperbesar kemungkinan Palestina untuk bisa mengembangkan lebih jauh mengenai kesepakatan tersebut. Untuk mempermudah proses negosiasi yang sedang berlangsung, Sadat dan Begin menyetujui diadakannya rapat setingkat 2 menteri di Ismalia. Di ranah militer telah disepakati adanya pengembalian tentara Israel dari Sinai agar kesepakatan damai kedua negara dapat tercapai. Di ranah politik telah disepakati adanya pemberian otonomi kepada Palestina terhadap wilayah tepi barat dan Jalur Gaza dan menginginkan adanya konstruksi dari Declaration of Principles supaya terbentuk “framework” untuk tercapainya perundingan perdamaian.

Peran Amerika Serikat terlihat dari teknik yang dilakukannya dalam memediasi Sadat dan Begin. Mereka menggunakan single negotiation text untuk menengahi proses negosiasi kedua negara yang sangat alot. Single text negotiation ini diusulkan oleh Roger Fisher dari fakultas hukum univeritas Harvard yang menempatkan mediator bagi pihak-pihak yang bernegosiasi. Mediator bisa mengajukan usulan solusi yang kemudia masih bisa diperiksa dan dikoreksi oleh pihak-pihak yang bernegosiasi. Penggunaan SNT ini juga biasa diterapkan pada perundingan tingkat internasional, terutama perundingan yang melibatkan banyak pihak. Amerika Serikat mulai memberikan penawaran solusi di SNT 1 tapi kemudian dikritisi oleh kedua pihak karena kedua pihak protes proposal yang diajukan oleh Amerika sangat konyol. Sadat meminta Amerika Serikat tidak menjadikan hal terebut sebagai hasil akhir perundingan dan menjadikannya sebagi dokumen yang dikritisi untuk membuat perjanjian yang lebih layak. Setelah Sadat dan Begin mengajukan keberatan, Amerika Serika mengajukan solusi berupa SNT-2, meskipun menurut kedua belah pihak SNT-2 lebih baik dibandingkan dengan SNT-1 tapi mereka belum bisa menerima SNT-2 tersebut. Kemudian Amerika Serikat meninjau kembali SNT-3, kemudian SNT-4 dan SNT-5. Mungkin masih ada keuntungan bersama yang bisa didapat jika Mesir menyetujui SNT-4. Mengingat Israel tidak dapat menerima SNT-4, maka SNT-4 pun tidak diterima, padahal jika Israel juga menerima SNT-4, Israel mendapatkan sedikit keuntungan yang berlebih dibandingkan Mesir. Jika SNT-5 dideasin untuk menguntungkan salah satu pihak, maka pihak lain akan dirugikan. Titik X dalam gambar yang terdapat dalam bahan menunjukkkan tentang composite reservation value. Mesir hanya ingin mencapai suatu kesepakatan tidak ingin mencapai suatu perjanjian begitu pula dengan Israel yang hanya ingin mencapai suatu kesepakatan. Dengan demikian, kedua belah pihak menyetujui adanya sebuah kesepakatan di titik X daripada terbentuknya sebuah perjanjian.

Perundingan Camp David yang terjadi pada 1979 antara Mesir dan Israel memiliki salah satu agenda yang paling sulit yaitu saat membahas mengenai semenanjung Sinai. Kedua belah pihak tidak mau memberikan konsesi teritorial. Dengan kata lain, baik Mesir maupun Israel sama-sama berkeinginan untuk menguasai wilayah semenanjung Sinai. Perundingan berlangsung alot dan hampir menemui jalan buntu. Namun, setelah proses negosiasi yang panjang dan berhari-hari, para mediator perundingan ini menemukan bahwa meskipun Mesir dan Israel memiliki keinginan yang sama untuk menguasai semenanjung Sinai, tetapi Mesir dan Israel memiliki kebutuhan yang berbeda. Mesir menginginkan semenanjung Sinai karena kebutuhan akan adanya pengakuan kedaulatan, sedangkan Israel menginginkan Sinai karena membutuhkan jaminan keamanan. Disinilah letak kejelian mediator yang dalam kasus ini diperankan oelh Amerika Serikat. Amerika Serikat mencoba untuk mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan pihak-pihak yang terlibat dengan berbagai proposal SNTnya. Perlu adanya sutau kepekaan dari Amerika Serikat yang berperan sebagai mediator untuk mengidentifiki perbedaan sehingga menciptakan SNT-5. Kepekaan untuk mengidentifikasi perbedaan kebutuhan itulah yang akhirnya menghasilkan terobosan kesepakatan yang menarik : menciptakan zona demiliterisasi yang berada di bawah naungan bendera Mesir. Kedua negara itu puas dengan hasil kesepakatan karena kebutuhannya sama-sama terpenuhi.



Referensi :

Raiff, Howard. 2003. The Art and Science of Negotiations. Cambridge : The Belknap Press of Harvard University Press.

Negosiasi : Perencanaan dan Penyusunan Strategi

Sebagian besar apa yang akan kita lakukan dalam semua aspek kehidupan baik secara sadar maupun tidak terframing dalam sebuah perencanaan atau strategi. Perencanaan dan strategi akan memudahkan dalam memetakan apa yang akan kita capai dan apa yang akan kita lakukan untuk mencapainya. Hal yang sama juga berlaku pada negosiasi. Dengan melakukan penyusunan strategi dan perencanaan yang efektif, tingkat keberhasilan dalam negosiasi akan semakin lebih besar. Waktu untuk persiapan yang kurang kerap menjadi kendala yang akhirnya menyebabkan kegagalan pada negosiasi. Persiapan yang kurang matang menyebabkan negosiator tidak dapat menentukan tujuannya dengan jelas yang berujung pada ketidakmampuan dalam mengimplementasikan tawaran-tawaran dalam negosiasi. Persiapan yang kurang matang juga dapat membuat negosiator tidak mengetahui kelemahan lawan dan posisi diri sendiri dan bahkan tidak tahu apakah harus menunda proses atau atau langsung bergantung kepada hasil negosiasi. Oleh karena itu, proses persiapan yang meliputi penyusunan rencana dan strategi menjadi penting dalam proses negosiasi. Tahap persiapan negosiasi dimulai dengan eksplorasi tujuan yang ingin dicapai yang dilanjutkan dengan pengembangang strategi untuk mencapai tujuan. Secara umum, tahap persiapan dalam negosiasi diuraikan dalam penjelasan di bawah ini.



Goals : The Focus That Drives a Negotiation Strategy

Goal adalah sebuah konsep yang menggambarkan hasil yang ingin dicapai (Lewicki, 2007). Para negosiator harus jeli dalam menemukan dan menentukan hasil apa yang ingin dicapai. Goal sangat menentukan langkah-langkah strategis selanjutnya dalam proses negosiasi. Goal pun bermacam-macam jenisnya, ada substantive goals yaitu yang sesuai dengan permasalahan seperti uang atau hasil spesifik lainnya, intangible goals yaitu hasil yang tidak dapat dilihat secara langsung misalnya kepuasan, dan procedural goals misalnya membentuk agenda atau hanya menyatukan suara dari para negosiator. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan suatu hasil yang ingin dicapai karena hasil yang ingin dicapai menentukan strategi apa yang akan digunakan.

Efek langsung dari penentuan goals akan muncul dari empat aspek yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah harapan (wishes), harapan bukanlah hasil yang ingin dicapai melainkan hanya berhubungan dengan kepentingan atau kebutuhan yang memotivasi goals. Yang kedua adalah kondisi bahwa goals sering berkaitan dengan goals dari pihak lain yang berbeda, inilah yang kemudian dapat memicu konflik yang harus diselesaikan. Yang kedua adalah adanya batasan terhadap apa yang akan dilakukan jika goals yang telah ditentukan terindikasi untuk tidak dapat tercapai. Dengan demikian perlu adanya pertimbangan untuk mengganti dengan goals yang lain. Yang keempat adalah penentuan goals secara efektif dimana goals yang ditentukan harus spesifik, konkrit, dan measureable. Semakin spesifik, konkrit, dan terukur maka semakin mudah dalam menentukan strategi yang akan dilakukan. Efek tidak langsung adalah dengan membuat goals yang sederhana sehingga dapat membuat perencanaan yang sederhana pula bagi para negosiator yang akhirnya mempengaruhi strategi yang digunakan dalam negosiasi.



Strategy : The Overall Plan to Achieve One’s Goals

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa goals dapat menentukan strategi yang digunakan untuk mencapai goals itu sendiri. Dibawah ini akan dijabarkan mengenai beberapa konsep yang berkaitan dengan strategi sebagai rencana keseluruhan untuk mencapai hasil yang ditargetkan (Lewicki, 2007).

• Strategy vs Tactic

Konsep strategi sering diidentikkan dengan taktik, padahal keduanya memiliki makna dan tingkatan yang berbeda. Taktik bersifat sementara dan cenderung adaptif, dan bersifat mendukung strategi. Secara hirarkis, taktik merupakan kepanjangan dari strategi sehingga takti merupakan subordinasi dari strategi yang telah ditentukan sebelumnya.

• Unilateral vs Bilateral Approach to Strategy

Dalam menyusun strategi, terdapat pendekatan unilateral yang bermaksud tidak melibatkan pihak lain. Sedangkan pendekatan bilateral adalah dengan melibatkan beberapa pihak lain dalam penyusunan strategi.

• Dual Concern Model as a Vehicle for Describing Negotiation Strategies

Ada dua pertanyaan fundamental yang sangat direkomendasikan untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan strategi yang akan digunakan. Yang pertama adalah seberapa besar perhatian aktor negosiasi terhadap hasil substantif negosiasi. Yang kedua adalah seberapa besar perhatian para negosiator terhadap kualitas hubungan dengan pihak lain nantinya.

• Alternative Situational Strategies

Seorang negosiator harus mampu merespon keadaan dalam negosiasi secara cepat dan tepat. Alternatif dalam strategi juga perlu dipertimbangkan jika dalam praktiknya terjadi suatu hal yang di luar rencana.

• The Non-engagement Strategy : Avoidance

Ada kalanya dalam sebuah negosiasi, apa yang ingin dicapai tidak dapat dicapai. Dengan demikian, hal yang paling rasional dilakukan adalah dengan meninggalkan proses negosiasi.

• Active-engagement Strategy : Competition, Collaboration, Accomodation

Negosiasi yang terjadi dapat berupa kompetisi yang bersifat distributif, ada pihak yang menang dan kalah dan terjadi saling tawar-menawar. Negosiasi juga dapat berupa kolaborasi yang berisfat integratif, berusaha untuk meraih kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Negosiasi juga dapat berupa akomodasi yang hampir mirip dengan kompetisi namun satu pihak memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengindari konflik.



Understanding the Flow of Negotiations

Ada 7 langkah dalam proses negosiasi yang ideal menurut Leonard Greenhalgh yang dijabarkan dibawah ini :

1) Persiapan, adalah fase untuk mendefinisikan tujuan dan goal.

2) Relationship building, adalah fase untuk memetakan pihak-pihak yang terlibat, mencari tahu dan mencoba mengerti perbedaan yang muncul, menjalin kerjasama, dan membangun komitmen.

3) Information gathering, adalah fase untuk mengumpulkan informasi, mempelajari apa yang dibutuhkan oleh pihak lawan negosiasi, dan memperkirakan apa yang terjadi jika hal tersebut gagal dipenuhi.

4) Information using, adalah fase dimana informasi yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya digunakan.

5) Bidding, adalah fase dimana setiap pihak mengutarakan tawarannya untuk membuka negosiasi.

6) Closing the deal, adalah fase dimana komitmen untuk mencapai sebuah kesepakatan mulai diperkuat berdasarkan fase-fase sebelumnya.

7) Implementing the agreement, adalah fase lebih lanjut ketika kesepakatan telah dibuat. Dalam fase ini dibahas mengenai implementasi dari kesepakatan lebih detail, tentang siapa harus melakukan apa dan sebagainya.



Getting Ready to Implement the Strategy : The Planning Process

Sebelum memasuki beberapa tahapan dalam proses perencanaan, ada beberapa hal yang perlu diingat dalam proses perencanaan negosiasi :

a) Proses perencanaan tunggal dapat digunakan untuk proses negosiasi distributif maupun integratif

b) Ada banyak faktor yang dapat menentukan strategi yang akan digunakan dalam sebuah negosiasi, tidak hanya berdasarkan dua kategori yang telah disebutkan saja yaitu distributif dan integratif.

c) Negosiasi tidak hanya dilakukan oleh 2 orang atau 2 pihak, namun dapat juga dilakukan oleh banyak pihak.

d) Langkah ini dideskripsikan sebagai sebuah langkah yang linear, lengkap, dan up to date.

Dibawah ini adalah serangkaian proses dalam perencanaan dan penyusunan strategi dalam sebuah negosiasi :

a) Defining the issue adalah tahap menganalisa isu yang akan dibahas dalam negosiasi serta unsur-unsur dasar lainnya.

b) Assembling the issues and defining the bargaining mix adalah menyatukan isu-isu yang telah ditemukan ke dalam sebuah daftar isu. Setelah isu-isu tersebut didaftar sedemikian rupa, negosiator harus membuat prioritas terhadap isu-isu tersebut.

c) Defining the interest adalah proses pendefinisian interest dari pihak sendiri maupu pihak lawan. Pendefinisian tersebut berdasarkan isu-isu yang telah ditemukan sebelumnya. Interest yang muncul bisa berupa substantif interest, process-based interest, atau relation-based interest.

d) Knowing limit and alternatives adalah proses untuk mengetahui resistence point atau reservation price dari pihak-pihak yang bernegosiasi. Titik ini menunjukkan keadaan dimana para negosiator harus meninggalkan negosiasi karena apa yang menjadi keinginannya sudah tidak dapat lagi terwujud. Ketika mengetahui keadaan yang demikian, negosiator juga harus mempersiapkan alternatif lain untuk mengatasinya.

e) Setting targets and openings adalah proses untuk menentukan target yang ingin dicapai dalam negosiasi. Target lebih bersifat fleksibel, universal, atau meliputi beberapa hal yang ingin dicapai, tidak harus kaku dan ketat.

f) Assessing constituent and social context of negotiation adalah proses untuk menentukan dan menganalisa siapa saja yang terlibat dalam negosiasi beserta posisinya. Dalam negosiasi ada yang menduduki posisi yang superior, ada yang hanya mengobservasi, dan ada pula yang hanya mendengar. Apa yang terjadi di lingkungan sekitar juga harus menjadi pertimbangan bagi keberlangsungan negosiasi.

g) Analizing the other party adalah proses analisa yang sangat komprehensif dan holistik mengenai pihak lawan. Negosiator harus mengetahui sumber daya, isu, serta posisi tawar lawannya. Kepentingan dan kebutuhan, resistance point dan alternative, target dam tujuan, konstituen dan struktur sosial, hingga strategi dan tujuan dari pihak lawan pun harus diketahui.

h) Presenting issue to the other party adalah tahap dimana setiap pihak menyampaikan argumen, pandangan, dan posisi mereka terhadap permasalahan yang dibahas. Dalam proses biasanya terdapat berbagai macam pertanyaan dari satu pihak ke pihak lain mengenai argumennya.

i) What protocol needs to be followed in this negotiation adalah kewajiban bagi para negosiator untuk memperhatika serangkaian protokol dalam sebuah negosiasi seperti agenda yang akan diikuti, lokasi negosiasi berlangsung, waktu negosiasi akan dilangsungkan, periode waktu negosiasi, hal yang akan dilakukan ketika negosiasi gagal memenuhi kepentingan, menjaga kesepakatan yang telah disetujui, dan hal-hal yang menunjukka negosiasi mencapai kesepakatan.

Melalui penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa proses persiapan dalam negosiasi menjadi sangat penting dan menentukan untuk kelanjutan proses negosiasi selanjutnya. Strategi yang ditentukan juga akan menentukan keberhasilan negosiator dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan mengumpulkan informasi mengenai segala hal yang berkaitan dengan proses negosiasi juga membantu menyukseskan jalannya negosiasi. Dengan adanya persiapan dan penyusunan strategi yang baik, diharapkan dapat tercipta kesepakatan yang mengakomodasi kepentingan dan menguntungkan bagi semua pihak.



Referensi :

Lewicki, Roy J, et al. 2007. (4) Negotiation : Strategy and Planning dalam Essentials of Negotiation (4th edition). New York : McGraw-Hill Companies, Inc.



Strategi dan Taktik Negosiasi Integratif

Negosiasi adalah bentuk kegiatan yang kerap dilakukan dalam semua level kehidupan. Berdasarkan cara mencapai keputusan dan pemenuhan kepentingannya, ada dua macam negosiasi yaitu distributive negotiation dan integrative negotiation. Distributive negotiation lebih akrab dikenal sebagai negosiasi yang bersifat win-lose atau zero sum sedangkan integrative negotiation dikenal sebagai negosiasi yang bersifat win-win. Harvard Business Essentials (2003) memaknai negosiasi integratif sebagai proses negosiasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengintegrasikan kepentingan-kepentingan yang dimiliki untuk dapat memperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Ada beberapa ciri yang membedakan negosiasi integratif dengan negosiasi distributif yang diantaranya adalah sebagai berikut :

• fokus terhadap persamaan dibandingkan perbedaan;

• mengedepankan kebutuhan dan kepentingan, bukan posisi;

• berkomitmen untuk mempertemukan kebutuhan dan kepentingan dari seluruh pihak yang terlibat;

• pertukaran informasi dan ide antar negosiator;

• menemukan pilihan-pilihan guna hasil yang saling menguntungkan;

• menggunakan kriteria objektif untuk standar performance negosiasi.

Negosiasi integratif juga memerlukan adanya kejujuran, integritas dan mentalitas yang baik, kedewasaan, serta kemampuan mendengarkan yang baik karena negosiasi integratif membutuhka komunikasi yang baik.

Terdapat beberapa proses yang merupakan gambaran singkat dari proses negosiasi integratif. Yang pertama adalah creating free flow of information. Dalam tahap ini diperlukan adanya pertukaran informasi dari dan mengenai semua pihak yang terlibat negosiasi. Sudah menjadi kewajiban bagi semua pihak untuk mau menukarkan dan membagi informasi dengan pihak lain mengenai segala hal yang berkaitan dengan negosiasi. Yang kedua adalah attempting to understand the other negotiator’s real need and objectives. Diperlukan adanya upaya untuk saling mengerti apa yang menjadi kebutuhan dan tujuan dari semua pihak dalam tahap ini karena semua pihak pasti memiliki kebutuhan dan tujuan yang berbeda. Hal ini akan mempermudah adanya pertukaran informasi dan proses negosiasi. Yang ketiga adalah emphasizing the commonalities between parties and minimizing the difference. Hal ini menunjukkan bahwa negosiasi integratif lebih menitikberatkan pada penyatuan perbedaan menjadi untuk menemukan persamaan yang merupakan kesepakatan dari semua pihak sehingga semua pihak dapat sama-sama meraih kepentingannya.

Dalam negosiasi integratif, setidaknya terdapat empat langkah yang harus dijalankan (Lewicki, 2007). Tiga langkah pertama termasuk langkah untuk menciptakan nilai-nilai negosiasi (creating the value), sedangkan satu langkah yang lain adalah untuk memperjuangkan nilai (claiming value). Langkah pertama adalah identify and define the problem. Ini adalah langkah dari proses negosiasi integratif yang meliputi pembahasan dan pengidentifikasian masalah dari semua pihak yang terlibat. Pembahasan ini bertujuan untuk menyatukan informasi dan permasalahan yang dapat diterima dan menguntungkan semua pihak. Identifikasi masalah ini harus lepas dari semua kepentingan pribadi yang tidak berkaitan dengan masalah yang terjadi agar tercapai solusi yang tepat untuk permasalahan yang ada.

Langkah kedua adalah understand the problem fully-identify interests and needs. Langkah ini mencerminkan kunci utama untuk meraih sukses dalam menjalankan negosiasi yaitu adanya kemampuan setiap pihak untuk saling mengerti dan memuaskan kepentingan satu sama lain. Ada beberapa jenis kepentingan yang sering muncul dalam negosiasi yaitu substantive interest yang berhubungan dengan isu atau permasalahan inti yang dibahas dalam negosiasi, process interest yang menggambarkan kepentingan-kepentingan lain yang muncul dalam memperjuangkan kepentingan utama, relationship interest dimana pihak-pihak yang terlibat memiliki hubungan kepentingan dan berniat untuk tidak merusak kepentingan tersebut, dan interest in principle yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tertentu yang memperhatikan nilai dan norma seperti benar dan salah atau seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan sehingga dijadikan sebagai suatu pedoman.

Langkah ketiga adalah generate alternative solutions. Langkah ini menitikberatkan pada proses pencarian alternatif secara kreatif demi terciptanya varian pilihan-pilihan solusi yang mungkin dicapai untuk menyelesaikan masalah. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk memilih solusi yang tepat dari berbagai kemungkinan solusi yang ada. Beberapa teknik juga dibutuhkan untuk melakukan generalisasi dan menemukan solusi-solusi alternatif sebuah masalah yang diantaranya adalah sebagai berikut :

• menemukan alternatif solusi melalui redefinisi masalah

• memperbesar dan memperkuat sumber daya dan kepentingan agar semua pihak dapat mencapai tujuan (expand the pie¬)

• menemukan lebih dari satu isu dari perbedaan kepentingan yang muncul (logroll)

• menggunakan kompensasi non-spesifik

• melakukan pemotongan biaya negosiasi salah satu pihak untuk dapat menyetujui sebuah solusi

• menemukan alternatif yang tepat yang dapat menjembatani kepentingan kedua belah pihak.

Selain itu ada juga langkah-langkah yang memang seharusnya dilakukan sebagai proses yang given yaitu melakukan brainstorming oleh semua pihak, tidak menghakimi dan lebih memilih untuk mengevaluasi, memisahkan orang-orang dari masalah, menyerah sementara saat brainstorming, bertanya pada piha luar, melakukan brainstorming dengan menggunakan elektronik, dan menyimpulkan apa yang terjadi saat brainstorming.

Langkah yang keempat adalah evaluate and select alternatives. Ini adalah tahapan dimana value yang ingin dicapai harus diperjuangkan. Evaluasi terhadap alternatif yang telah digeneralisasi pada proses-proses sebelumnya perlu dilakukan untuk mencapai implementasi terbaik. Mempersempit cakupan pilihan alternatif dan mengevaluasi berdasarkan kualitas, standar, dan penerimaan adalah contoh langkah yang dapat dilakukan dalam negosiasi ini. Dalam langkah ini, tidak diperkenankan untuk mementingkan alternatif solusi pribadinya. Para negosiator juga diharapkan mampu peka terhadap intangible influence dalam memilih alternatif. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain adalah membuat subgrup untuk mengevaluasi alternatif yang komplek, meluangkan waktu untuk menenangkan diri, mengeksplorasi berbagai cara untuk logroll, menjaga keputusan sementara yang telah ada dengan tetap menyesuaikan dengan kondisi hingga usulan final disepakati, dan meminimalisir formalitas dan menjaga apa yang telah dibicarakan hingga persetujuan tercapai.

Selain ada langkah-langkah yang harus ditempuh, ada pula faktor-faktor yang memfasilitasi kesuksesan negosiasi integratif (Lewicki, 2007). Secara garis besar, kesepakatan dalam negosiasi integratif dapat dicapai jika semua pihak yang terlibat negosiasi mau untuk bekerja sama. Selain itu ada hal-hal spesifik yang juga mempengaruhi kesuksesan pencapaian kesepakatan dalam negosiasi integratif. Kesepakatan akan lebih mudah tercapai jika semua pihak yang terlibat dalam negosiasi memiliki tujuan yang sama. Tujuan tersebut dapat berupa common goal jika semua pihak mendapat bagian dan keuntungan yang sama, shared goal jika pihak-pihak yang terlubat saling bekerja sama dan memiliki tujuan yang berbeda, atau joint goal yaitu bentuk tujuan yang didapat dari individu-individu dengan tujuan pribadi yang berbeda dan disatukan untuk membentuk keputusan kolektif. Setiap pihak yang terlibat juga harus memiliki keyakinan yang sama bahwa apapun masalahnya dapat dicari kesepakatan yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Selain itu setiap pihak juga harus dapat menerima perilaku dan kepentingan dari pihak lain, karena negosiasi ini bukan bertujuan untuk mencari keuntungan bagi pihak tertentu melainkan mencapai tujuan bersama. Kemampuan memotivasi diri agar tetap berkomitmen juga sangat diperlukan. Selain itu perlu adanya rasa saling percaya terhadap pihak lain. Dengan demikian, komunikasi yang jelas dan akurat dapat dicapai sehingga negosiasi dapat berjalan dengan lebih mudah. Satu hal yang perlu diingat, negosiasi integratif berjalan begitu dinamis dengan berbagai teknik yang dapat dilakukan, oleh karena itu semua pihak harus dapat memahami kondisi ini.

Negosiasi integratif adalah negosiasi yang dilakukan untuk mencari sebuah kesepakatan yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, perlu adanya rasa saling mengerti dan memahami apa yang menjadi kepentingan dari semua pihak. Hal itu dapat dibangun dengan menjalankan empat langkah yang telh dijelaskan di atas. Elemen-elemen penting juga harus dilakukan agar negosiasi berjalan lebih mudah. Dengan demikian, kemampuan berkomunikasi yang baiklah yang menjadi unsur penting dalam melangsungkan negosiasi integratif.

Referensi :

Lewicki, Roy J, et al. 2007. (3) Strategy and Tactics of Integrative Negotiation dalam Essentials of Negotiation (4th edition). New York : McGraw-Hill Companies, Inc.



Konsep-Konsep Dasar Negosiasi : Negosiasi Distributif dan Negosiasi Integratif

Negosiasi merupakan salah satu aspek dalam diplomasi yang sering kali dilakukan dalam upaya mencapai kepentingan yang diusung. Negosiasi dilakukan jika ada konflik dari dua pihak atau lebih yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan sebuah solusi namun solusi tersebut belum ditemukan. Jadi negosiasi dilakukan untuk menemukan sebuah kesepakatan yang menjadi solusi atas suatu konflik. Dalam hal bagaimana kesepakatan terbentuk, ada dua jenis negosiasi. Yang pertama adalah Distributive Negotiation yang dideskripsikan sebagai negosiasi antara dua pihak dimana masing-masing pihak memiliki fixed value yang saling dipersaingkan. Setiap pihak akan bersaing untuk mendapatkan keuntungan lebih. Setiap keuntungan bagi satu pihak, merupakan kerugian bagi pihak lain. Jadi, jika kesepakatan tercapai, ada pihak yang diuntungkan dan ada pihak yang dirugikan atau dikorbankan kepentingannya. Istilah zero sum atau win-lose juga dapat digunakan untuk menggambarkan negosiasi jenis ini (Harvard Business Essentials, 2003). Dalam negosiasi jenis ini, reputasi atau relationship dari pihak-pihak yang terlibat negosiasi tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap jalannya negosiasi karena masing-masing pihak akan berusaha untuk mendapatkan value semaksimal mungkin. Contoh dari negosiasi ini adalah ketika Indonesia bersengketa dengan Malaysia soal kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan yang akhirnya diajukan ke Mahkamah Internasional. Malaysia mendapatkan keuntungan karena berhasil mendapatkan Sipadan dan Ligitan dan Indonesia akhirnya harus merugi. Dalam menjalankan distributive negotiation, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat menjalankan negosiasi dengan sukses. Informasi menjadi hal yang sangat penting apalagi informasi mengenai pihak lawan negosiasi. Pembocoran informasi kepada pihak lawan merupakan suatu hal yang harus dihindari karena hal tersebut akan menjadi sangat merugikan. Informasi yang diperoleh digunakan untuk menentukan tawaran pertama yang harus dilakukan secara proporsional.

Negosiasi jenis kedua adalah integrative negotiation. Dalam negosiasi jenis ini, pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama untuk mencapai keuntungan maksimal dengan mengintegrasikan kepentingan mereka (Harvard Business Essentials, 2003). Melalui kolaborasi dan pertukaran informasi, setiap pihak akan berupaya untuk membentuk kesepakatan yang mengakomodasi kepentingan dari semua pihak. Selain memadukan kepentingan, setiap pihak juga akan berusaha memperjuangkan kepentingannya agar tetap merasa diuntungkan tanpa merugikan pihak lain. negosiasi jenis ini dikenal pula sebagai win-win negotiation. Contoh dari negosiasi ini adalah seperti ketika negara-negara pendiri ASEAN sepakat untuk mendirikan ASEAN. Masing-masing negara pasti memiliki kepentingan yang membuat mereka membuat mereka duduk bersama untuk bernegosiasi dan akhirnya membentuk sebuah value baru yang menjadi kesepakatan mereka. Value baru tersebut merupakan sesuatu yang mengakomodasi kepentingan mereka. Dalam menjalankan negosiasi ini, sharing informasi merupakan hal yang perlu dilakukan agar semua pihak saling mengerti apa yang menjadi keinginan dan kepentingan dari masing-masing pihak.

Negosiasi kerap kali berjalan begitu rumit dan kompleks. Ada yang harus melalui banyak fase atau yang dikenal sebagai multiphased negotiation. Dalam multi multiphased negotiation, negosiator dianjurkan untuk membangun kepercayaan di fase-fase awal. Contoh dari negosiasi ini adalah ketika Israel dan Palestina membuka dialog yang dimediasi oleh Amerika Serikat. Selain multiphased negotiation, ada pula multiparties negotiation yang terdiri dari banyak pihak. Jika dalam keadaan seperti ini, negosiator dianjurkan untuk membentuk koalisi untuk meningkatkan bargaining power. Contoh dari negosiasi ini adalah ketika diadakan konferensi yang menghasilkan Protokol Kyoto. Negara-negara berkembang saling berkoalisi agar negara maju dapat membayar sejumlah uang sebagai bentuk manifestasi penerapan carbon trade.

Dalam negosiasi, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dan harus ada. Konsep BATNA (Best Alternative To a Negotiated Agreement) adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam negosiasi. Dengan mengetahui apa yang menjadi BATNA kita dalam sebuah negosiasi, artinya kita mengetahui apa yang akan dilakukan saat menjalankan negosiasi dan mengetahui langkah apa yg akan diambil ketika negosiasi menemui jalan buntu. Secara sederhana, BATNA dapat dimaknai sebagai pilihan atau alternatif terbaik yang ingin dicapai. BATNA adalah acuan yang akan menuntun langkah-langkah yang diambil dalam proses negosiasi. Negosiasi tanpa mengetahui BATNA akan mempersulit kita dalam mengambil langkah. Dengan mengetahui BATNA, kita juga dapat mengetahui konsep-konsep lain yang juga harus ada dan dipersiapkan menjelang negosiasi. Konsep lain itu adalah reservation price dan ZOPA.

Reservation price adalah titik dimana pihak-pihak yang bernegosiasi akan meninggalkan negosiasi karena sudah tidak lagi sesuai dengan BATNAnya. Titik ini menjadi titik toleransi akhir karena alternatif yang terjadi di negosiasi dinilai merugikan dan sama sekali tidak memenuhi kepentingan. Sedangkan ZOPA (Zone Of Possible Agreement) adalah konsep yang menggambarkan range dimana negoasiasi dapat dilakukan. Range ini terbentuk dari batas-batas oleh reservation price dari semua pihak yang terlibat negosiasi. ZOPA membuat pihak-pihak yang berkepentingan masih tetap mau melakukan negosiasi karena alternatif yang muncul masih mencakup apa yang menjadi BATNAnya. Sebenarnya konsep BATNA, reservation price, ZOPA memiliki keterkaitan satu sama lain. Dengan mengetahui BATNA, kita dapat menentukan reservation price bagi kita. Dengan mengetahui BATNA dari pihak lawan, kita juga bisa mengetahui reservation price dari pihak lawan. Dengan begitu ZOPAnya pun dapat diketahui. Dengan mengetahui BATNA baik dari pihak kita maupun dari pihak lawan serta mengetahui ZOPA, akan dapat mempermudah posisi kita dalam negosiasi.

Contoh rangkaian BATNA, Reservation Price, dan ZOPA dapat dicontohkan dalam ilustrasi berikut ini. Dalam sebuah negosiasi mengenai pembagian keuntungan profit dari adanya ekplorasi minyak lepas pantai oleh pihak asing di daerah negara lain. Negara menginginkan sharing profit yang maksimal, inilah yang menjadi BATNAnya. Negara akan memutuskan untuk tidak bernegosiasi jika sharing profit yang muncul ternyata di bawah 20%. Dengan demikian yang menjadi reservation price nya adalah 20%. Di pihak perusahaan asing yang melakukan eksplorasi, membagikan keuntungan seminimal mungkin bagi negara adalah yang menjadi BATNAnya. Perusahaan akan bertahan dalam negosiasi jika rasio pembagian keuntungannya tidak lebih dari 40%. Inilah yang menjadi reservation price dari perusahaan. Dengan demikian ZOPA dalam negosiasi ini adalah 20%-40%. Ini adalah range dimana negosiasi masih dapat dilakukan.

Dalam setiap negosiasi, konsep BATNA menjadi yang paling penting. Dengan mengetahui BATNA, kita dapat mengetahui reservation price kita. Mengetahui BATNA lawan juga merupakan sebuah keuntungan. Jika BATNA lawan lebih kuat, maka yang harus dilakukan adalah melemahkannya, atau memperkuat BATNA kita sendiri. Dengan mengetahui BATNA lawan, maka ZOPA dari negosiasi yang dijalankan dapat ditemukan.



Referensi :

Harvard Business Essetials. 2003. Type of Negotiation and Four Key Concepts.