Senin, 14 Juni 2010

Feminisme : Dekonstruksi Emansipatoris Feminisme, Dunia Di Tangan Wanita

Woman was made from the rib of man.

She was not created from his head to top him, nor from his feet to be stepped upon.

She was made from his side to be close to him, from his beneath his arm to be protected by him, near his heart to be loved by him.

-Anonymous-


Ranah hubungan internasional merupakan kondisi yang begitu kompleks dimana banyak sekali fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai hubungan antar negara. Negara-negara diangap sebagai aktor begitu dominan dan memainkan peran sentral dalam hubungan internasional menurut perspektif realisme. Menurut pandangan realisme, negara akan menjunjung tinggi kepentingannya dan tidak akan segan mempertahankannya dengan cara berkonflik sekalipun. Adanya negara yang secara struktural dominan dalam hubungan internasional ini kemudian membuat peran wanita termarginalkan. Hal ini terjadi karena individu yang memegang kendali di balik negara adalah pada umumnya kaum pria. Hal ini lah yang kemudian membuat feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur sistemik dari sistem dunia pada era kontemporer. Peran dan kesempatan bagi wanita dalam berbagai posisi karir dan jabatan semakin luas oleh karena pertimbangan emansipasi wanita ini.

Perspektif feminisme pada intinya memiliki asumsi dasar yang sama dengan teori-teori alternatif lainnya, yaitu dengan semangat emansipatoris ingin membebaskan wanita dari “belenggu” yang secara sosial maupun struktural wanita dikonstruksikan sebagai subordinasi dari pria. Singkatnya, feminisme ingin mewujudkan sebuah ekualitas antara wanita dan pria (Nisbah. 2003). Asumsi yang general ini kemudian terus berkembang dan terbagi menjadi beberapa diskursus yang didasarkan pada konstruksi pemikiran dari para feminis yang ada. Sosialis-marxis feminisme muncul sebagai salah satu varian dari feminisme. Perspektif ini mengangkat tentang eksploitasi terhadap wanita yang dilakukan oleh pria dan mengusahakan adanya pembebasan wanita dari eksploitasi kaum pria (Ehrenreich, 1976). Hal ini senada dengan feminisme empiris yang juga mengangkat isu mengenai eksploitasi wanita sebagai akibat dari globalisasi ekonomi yang kemudian memunculkan inequality terhadap kaum wanita (True, 2005). Feminisme analitis juga mencoba mendekonstruksi kembali perspektif mengenai feminisme dan maskulinisme yang secara asimetris terkonstruksikan secara sosial (True, 2005). Pengkajian kembali mengenai gender ini juga merupakan bagian dari diskursus feminisme posmodern yang juga hadir untuk mengkritik konstruksi sosial dan struktual mengenai keberadaan wanita yang tersubordinasikan, melalui metode pembacaan teks dan bahasa dengan menggunakan metode genealogi dan dekonstruksi dalam mencari dan membedah konstruksi wanita yang secara sosial termajinalkan (Butler, 1999).

Menduduki posisi atau jabatan penting dalam yang lebih tinggi daripada pria merupakan sesuatu yang tabu dan bahkan haram menurut konstruksi sosial pada umunya. Pandangan sosial mainstream yang membelenggu inilah yang ingin diruntuhkan hegemoninya oleh kaum feminis. Ketika Margareth Tatcher terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris, Gloria Macapagal Arroyo sebagai Presiden Filipina, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia, dan banyak lagi posisi-posisi penting yang dapat dijabat oleh wanita, perspektif dan gerakan feminisme begitu menguat. Inilah yang menjadi tujuan utama feminisme dalam emansipasi atau pembebasan secara politik bagi para wanita, dimana secara politis feminisme memperjuangkan posisi-posisi yang dahulu hanya dapat diduduki oleh pria dan akan sangat tabu jika yang menduduki posisi-posisi tersebut adalah wanita. Meritocracy menjadi spirit dari emansipasi ini, dimana yang memiliki kemampuanlah yang dapat menduduki posisi penting tersebut, tanpa melihat gender. Jika kemampuan berpolitik ternyata juga dimiliki oleh wanita, maka wanita juga berhak menduduki jabatan dan posisi politis dengan tidak lagi terbelenggu oleh wanita. Hal ini dicontohkan dengan berbagai kebijakan untuk menambah kuota bagi politisi wanita di berbagai negara termasuk Indonesia.

Dalam level analisis hubungan internasional, perspektif yang berangkat dari pergerakan sosial untuk membebaskan wanita dari belenggu konstruksi sosial dan struktural ini kemudian mencoba mendobrak dominasi realisme (dan turunannya, neorealisme) yang menjadi paham mainstream dominan dalam ilmu hubungan internasional. Diskursus realisme dalam hubungan internasional menitikberatkan pada peran signifikan dan sentral dari negara karena realisme bertumpu pada sistem westphalian. Dengan demikian, wacana-wacana yang marak muncul selalu berbau perang dan konflik, atau minimal dibumbui dengan “kekerasan”. Hal ini menunjukkan betapa “maskulin”nya wacana-wacana dalam realisme, seakan tidak memberikan celah sedikit bagi “kefeminiman” untuk ikut masuk dalam ranah hubungan internasional. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran feminisme dalam level analisis hubungan internasional. Feminisme menginginkan adanya perubahan dala hubungan internasional dimana aktor negara dengan segala bentuk kompleksitas konfliknya tidak lagi menjadi satu-satunya wacana yang mendominasi hubungan internasional. Feminisme liberal bergerak lebih masif lagi untuk menyuarakan pembebasan dari sistem internasional yang seperti ini. Feminisme menginginkan adanya pengakuan terhadap aktor-aktor lain selain negara yang secara jelas terlibat dalam hubungan internasional sehingga pluralitas dalam hubungan internasional menjadi hal yang diidam-idamkan oleh feminis liberal (Hooks, 1984)

Sejalan dengan keinginannya untuk mendobrak pemikiran bahwa hubungan internasional yang hanya didominasi oleh negara dengan segala kompleksitas permasalahannya yang konfliktual, feminisme memiliki pandangan tersendiri menangai konflik yang bagi mereka tidak sepatutnya diselesaikan dengan cara konflik. Feminisme menginginkan gerakan yang damai dan bersifat kooperatif dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan internasional. Contoh nyata dari upaya feminisme untuk menciptakan perdamaian adalah adanya gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960, gerakan yang concern terhadap peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Disini begitu terlihat peran keibuan dari naluri seorang wanita yang mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional (Ticker, 2002). Dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dimanifestasikan berupa tindakan negosiasi atau diplomasi yang secara epistemologis tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan sebuah perspektif yang mencoba menunjukkan eksistensi dan siginifikansi wanita dengan mendobrak konstruksi sosial dan struktural yang mendiskreditkan wanita dan menunjukkan bahwa wanita, dengan esensi psikologis dan emosi yang dimilikinya, mampu menghadirkan politik yang etis dan bermoral. Namun, yang menjadi titik balik dari feminisme adalah kekhawatiran akan dominasi emosi yang begitu kental dari wanita yang mempengaruhi rasionalitasnya dan kurangnya kapabilitas feminisme dalam mendobrak konstruksi yang telah ada terhadap wanita yang dikarenakan konstruksi tersebut telah terlanjur tertanam dan melekat secara sosial.







Referensi



Nisbah. 2003. Varian-varian Feminisme Sebagai Sebuah Gerakan. Diakses dari http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 pada 14 Juni 2010



Ehrenreich, Barbara. 1976. What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 14 Juni 2010



Butler, Judith. 1999. Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge



Hooks, Bell. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press



True, Jacqui. 2004. Theories of International Realations : Postmodernism. PalgraveMacmillan : New York.



Ticker, Aann. 2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications

Kamis, 10 Juni 2010

”Either you are with us, or you are with the terrorists” (George W. Bush)

Serangan pesawat terbang yang ditujukan ke WTC dan Pentagon pada 11 September membuat Amerika Serikat dan dunia seakan tersentak. Betapa tidak, dua lambang supremasi dan kekuatan Amerika Serikat sebagai negara adidaya dapat diserang dan bahkan WTC dapat diluluh lantahkan. Arah kebijakan seketika juga berubah. Jika sebelumnya, membawa semangat neoliberalisme, Amerika Serikat sangat gencar mempromosikan kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat benar-benar memiliki peran dan pengaruh dalam konstelasi internasional. Namun, sekali lagi, serangan 11 September benar-benar telah merubah segalanya. Serangan 11 September diduga digawangi oleh gerakan teroris yang diketuai oleh Osama Bin Laden. Akibatnya, War on terrorism menjadi bahan promosi yang didasarkan pada kebijakan luar negeri yang dikeluarkan seketika itu juga yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Pieterse, 2004). Bahkan hal tersebut telah menjelma menjadi alat legitimasi dan justifikasi bagi setiap kebijakan Amerika Serikat yang berkaitan dengan perang terhadap terorisme.

Salah satu statement yang begitu mencerminkan kebijakan War On Terrorism adalah doktrin dari Bush, “Kamu bersama kita, atau bersama teroris.” Hal ini begitu menunjukkan komitmen Amerika Serikat untuk memerangi terorisme. Amerika Serikat terkesan akan ikut memerangi setiap negara yang tidak mendukung kebijakan War On Terrorism nya. Namun, kebijakan ini dirasa telah berjalan tidak sesuai tujuan awalnya. Ada indikasi Amerika Serikat memiliki kepentingan lain di balik War On Terrorism. Pendudukan Amerika Serikat terhadap Irak terindikasi dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menguasai minyak. Terlebih lagi, Amerika Serikat seakan telah bertindak terlalu jauh dalam implementasi kebijakannya. Intervensi Amerika Serikat ke Afghanistan sampai sekarang telah menunjukkan indikasi adanya pendudukan, bahkan malah membuat kekacauan lain yang di luar tujuan awal dari kebijakan yang dibuat. Pada intinya, kebijakan War On Terrorism yang berlangsung sekarang mulai menyimpang dari tujuan awal ketika kebijakan itu dibuat dan cenderung disisipi oleh kepentingan-kepentingan lain yang terselubung.





Referensi :



Pieterse, Jan Nederveen. 2004. Neoliberal Empire, dalam Globalization or Empire?. London: Routledge



Rabu, 09 Juni 2010

Posmodernisme : Dekonstruksi Intertekstual Menuju Genealogi, Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Teori-teori mainstream dalam studi hubungan internasional kembali mendapat tantangan yang menggoyahkan kemapanannya. Adalah posmodernisme yang kemudian mencoba untuk menggunakan perspektifnya untuk menganalisa hubungan internasional dari sudut pandang yang khas dan tentu saja berbeda dari teori-teori mainstream. Jika melihat terminologinya, posmodernisme merupakan pemikiran yang hadir dari untuk memberikan sesuatu yang baru bagi moedernisme. Modernisme memiliki pandangan bahwa realitas adalah sebagai satu keutuhan yang ditata berdasarkan prinsip rasionalitas (Sahal dan Nuroni, 1993). Posmodernisme hadir dengan memberikan prefix “pos” atau “post” pada terminologi modernisme yang kemudian memberikan artian yang berbeda. Prefix “pos” memiliki artian yang lebih dari sekedar prefix “neo” dan “anti”. Suatu terminologi jika mendapatkan prefix “neo” maka ia merupakan hasil dari rekonstruksi atau pembaruan-pembaruan tertentu dari terminologi yang diikutinya. Terminologi yang mendapatkan prefix “anti” maka ia merupakan sebuah antitesis atau negasi dari terminologi yang diikutinya. Sedangkan “pos” atau “post” dapat memberikan arti bahwa ia adalah hasil dari dekonstruksi yang secara otomatis membahas sesuatu yang diluar pengetahuan. Dengan demikian, terminologi posmodernisme dapat berarti sebuah kajian yang merupakan hasil dekonstruksi dari apa yang disebut dengan modernisme berdasarkan interkontekstual dan kontekstual yang ada dalam modernisme itu sendiri.

Salah satu sub bahasan yang ada pada posmodernisme adalah genealogi neorealisme. Sebagai sebuah perspektif dalam hubungan internasional, genealogi memiliki arti tersendiri. Jika secara epistemologi genealogi adalah ilmu yang mempelajari tentang asal usul (sejarah) mengenai sesuatu, maka, dengan mengkombinasikan definisi dari Devetak, genealogi dapat berarti asal usul mengenai sesuatu yang dipandang secara kontekstual yang dikarenakan nilai-nilai sejarah memiliki andil dalam mengkonstruksi pemikiran penulis yang kemudian dapat berdampak pada hasil tulisannya (Devetak, 2005). Dalam memahami nilai-nilai konstruktivisme diperlukan adanya pendekatan multiperspektif, karena bagi seorang posmodernis, perspektif adalah sesuatu yang paling esensial dan fundamental (Nietzsche, 1969). Kontribusi dari genealogi yang dibawa oleh posmodernisme bagi hubungan internasional adalah bagaimana genealogi mencoba memberikan benang merah antara klaim terhadap ilmu pengetahuan dengan klaim terhadap power dan otoritas yang menjadi bahasan inti dari neorealisme. Genealogi menjelaskan bahwa neorealisme terbentuk dari realisme yang terekonstruksi kembali dengan mendapat sentuhan dari hal-hal yang bersifat struktural. Sederhananya, neorealisme terbentuk dari perspektif realisme dan strukturalisme dimana keduanya masih memiliki genealogi masing-masing yang berbeda berdasarkan nilai-nilai yang muncul di lingkungan konseptor dari masing-masing perspektif.

Sub bahasan lain dalam posmodernisme adalah intertekstualitas dalam hubungan internasional. Bahasan ini menjadi begitu esensial karena hubungan internasional dapat didekonstruksikan, dipahami, dan dibaca secara ganda (double reading) yang dikarenakan adanya interkontekstualitas dalam hubungan internasional. Pembacaan ganda ini terjadi layaknya pembacaan pada sebuah teks, namun teks dalam terminologi ini memiliki pengertian yang berbeda dari teks yang dipahami sebagai literatur atau entitas yang lainnya. Dalam posmodernisme, teks dipahami sebagai sebuah obyek ontologi yang begitu luas, bahkan saking luasnya, oleh Derrida, hubungan internasional dapat dikategorikan sebagai sebuah “teks” (Derrida, 1988). Textual interplay yang dijelaskan oleh Derrida digunakan untuk menjelaskan hubungan internasional sebagai sebuah objek ontologi yang hanya dapat dijelaskan dengan cara menginterpretasikan hasil interpretasi lebih dari sekedar menginterpretasikan teks secara umum yang sudah ada. Metode ini kemudian bercabang menjadi dua yaitu dekonstruksi dan pembacaan ganda (double reading). Konsepsi Derrida ini kemudian banyak dikenal dan dipakai sebagai rujukan oleh para posmodernis ketika menggunakan metode dekonstruksi.

Sebagai kelanjutan dari dekontruksi, diplomasi kontemporer yang dipahami sekarang adalah serangkaian aktivitas yang terjadi secara prosedural dilakukan oleh sebuah negara dengan negara lain dimana dalam proses diplomasi tersebut terdapat negosiasi, lobbying, dll. Namun, jika diplomasi ini didekonstruksikan maka akan didapatkan genealogi baru dari diplomasi. Derrida, sebagai pembawa metode dekonstruksi, menjelaskan bahwa terdapat oposisi biner dari suatu konsep yang bersifat parasit struktural dari konsep tersebut. Seperti namanya, oposisi biner merupakan lahir dan menjadi oposisi dari konsep yang sama tersebut. Dengan demikian, dekonstruksi terhadap diplomasi yang juga dimungkinkan untuk menghadirkan oposisi biner akan diperkirakan dapat memberikan sebuah genealogi mengenai diplomasi yang berbeda antara diplomasi klasik dan diplomasi kontemporer. Dengan digunakannya metode dekonstruksi maka akan didapatkan hal baru dalam diplomasi.

Posmodernisme juga merupakan sebuah perspektif yang antipositivisme. Titik berat dari antipositivisme adalah segala sesuatu yang anti terhadap kemapanan, terlebih dalam ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial mengkaji tentang fenomena sosial, dimana fenomena sosial adalah sebuah entitas yang tidak bisa diukur secara dan dipetakan secara stuktural. Hal ini dikarenakan fenomena sosial selalu berhubungan dengan intersubyektif manusia. Penelitian-penelitian yang dilakukan yang bersifat prosedural dan ilmiah tidak serta merta dapat menjamin keobjektifan sebuah pengetahuan, karena meskipun penelitian dilakukan dengan metode dan langkah-langkah yang ilmiah, nilai-nilai konstruktivisme akan terus hadir untuk mempengaruhi dan mengkonstruksi pemikiran manusia akan suatu entitas yang menjadi objek pengamatan. Hal ini dikarenakan manusia adalah sebuah entitas subjektif, oleh karena itu tidak pengetahuan yang objektif menurut para antipositivisme (Perry, 1999). Hal ini membuat ontologisme posmodernisme menjadi khas. Ontologisme dalam posmodernisme tidak berujung pada hal-hal yang bersifat define, melainkan pada sejauh mana suatu ruang lingkup atau objek kritik masih memiliki potensi kritik. Dengan demikian, posmodernisme akan terhindarkan dari sebuah finalitas. Jika posmodernisme telah mencapai suatu finalitas, maka ia akan kehilangan makna dari “pos” yang melekat pada terminologi posmodernisme itu sendiri dan kembali pada modernisme.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa posmodernisme hadir di tengah-tengah studi hubungan internasional dengan membawa cara dan metode baru dalam menjelaskan hubungan internasional. Dekonstruksi dan double reading menjadi salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan genealogi yang dapat dicapai melalui dekonstruksi terhadap sbeuah entitas, dimana hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di luar pengetahuan. Posmodernisme juga tidak berujung pada sebuah finalitas pada sebuah entitas dan lebih cenderung untuk bertahan pada sebuah potensi kritik yang akan terus hadir dalam sebuah entitas karena jika posmodernisme berujung pada sebuah finalitas, maka ia akan kehilangan esensi ke’posmodernisme’annya.







Referensi



Davetak, Richard. 2004. Theories of International Realations : Postmodernism. PalgraveMacmillan : New York.

Nietzsche, F. 1969. On the Genealogy of Moral, and Ecce Homo. New York

Derrida, Jacques. 1988. Limited Inc. Evanston.

Perry, Beth. 1999. Summary of Positivist and Anti-positivist. Positions the Social Science PGCE group. University of Leicester.

Sahal, Ahmad dan Heni Nuroni. 1993. Postmodernisme dan Media Barat. Dalam Kompas, 24 Agustus 1993. Diakses dari www.freedom-institute.org pada 8 Juni 2010.



Senin, 07 Juni 2010

“Domestic policy . . . can only defeat us; foreign policy can kill us” -John F. Kennedy-

Dalam sistem politik Amerika Serikat, ada dua keadaan sebagai respon dalam menghadapi keadaan internasional. Pengambilan kebijakan luar negeri pun bisa berbeda dikarenakan kondisi yang berbeda pula, tergantung tingkat urgensi dari masing-masing keadaan. Dalam keadaan krisis, keputusan harus diambil secara cepat dan tepat, dimana pertimbangan dan debat yang berkepanjangan menjadi tidak bijak. Keadaan ini membuat peran presiden menjadi meningkat untuk memberikan pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Presiden dapat menentukan dengan siapa dia akan berkonsultasi, misalnya dengan Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, atau CIA. Presiden juga mungkin hanya akan bergantung pada NSC. Singkatnya, jika memang benar-benar mendesak dan urgent, presiden dapat menentukan dengan siapa saja dia berkonsultasi secara personal.

Dalam keadaan non krisis, stake holder yang terlibat dalam pengambilan kebijakan luar negeri pun dapat menjadi lebih banyak. Para diplomat dan ahli di Departemen Luar Negeri bisa memberikan informasi dan rekomendasi. Anggota kongres di bidang hubungan luar negeri, armed service, intelejen, dan komite yang dapat memberikan pandangan dan sarannya dalam menentukan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kelompok kepentingan pun dapat turut serta ambil bagian dalam menentukan kebijakan luar negeri. Singkatnya, jika tidak berada dalam kondisi krisis, penentuan kebijakan luar negeri dapat dilakukan dan ditentukan oleh lebih banyak pihak. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya kebijakan luar negeri bagi Amerika Serikat, sehingga mereke memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi setiap keadaan yang ada. Hal ini inheren dengan apa yang disampaikan oleh John F. Kennedy, bahwa kebijakan luar negeri bisa saja “membunuh” jika kebijakan yang salah diambil.







Referensi :

Melusky, Joseph. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education

“The United States is unusual among the industrial democracies in the rigidity of the system of ideological control -- indoctrination, we might say -- exercised through the mass media and interest group” -Noam Chomsky-

Sistem politik Amerika Serikat merupakan sebuah sistem yang demokratis. Begitu demokratisnya, kesempatan bagi semua pihak begitu terbuka dalam penentuan kebijakan publik. Setiap stakeholder memiliki perannya masing-masing dalam memberikan warna dan kontribusi dalam demokrasi amerika serikat. Demokrasi Amerika Serikat yang memiliki filosofi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat benar-benar ingin diaplikasikan dengan begitu sempurna sehingga benar-benar memberikan ruang yang sedemikian luas bagi para stakeholder untuk menyampaikan aspirasinya demi tercapainya demokrasi yang murni.

Media menjadi salah satu entitas yang begitu esensial dalam demokrasi Amerika Serikat. Media memiliki peran yang begitu siginifikan dalam menggiring opini publik. Media memiliki pengaruh secara psikologis bagi masyarakat untuk mengkonstruksikan opini publik. Opini yang berkembang di masyarakat bisa dikonstruksikan oleh media yang kemudian bisa digunakan untuk menekan pemerintah dalam pembuatan kebijakan. Namun, tidak hanya media saja yang menjadi significant stakeholder dalam sistem politik Amerika Serikat. Peran dari kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga menjadi penting untuk menekan opini publik yang kemudian dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Kelompok-kelompok kepentingan ini mewakili aspirasi yang dibawa oleh masing-masing anggota yang berada dalam kelompok tersebut hingga terbentuk suatu konsensus dari kelompok tersebut. Dengan demikian, kehadiran media dan kelompok kepentingan membuat sistem politik Amerika Serikat menjadi semakin sempurna.



Referensi :

Hays, R. Allen. Peran Kelompok Kepenting dalam Demokrasi. Office of International Information Programs : US Department of State.

Johnson, W. John. Peran Media Bebas dalam Demokrasi. Office of International Information Programs : US Department of State.



“People who win primaries may become good president, but it ain’t necessarily so” -David Broder-

Dalam mendapatkan presiden yang berhak memimpin Amerika Serikat, ada cara tersendiri yang dapat dikatakan cukup rumit namun unik. Sebelum masuk ke proses pertarungan atau kampanye untuk menjadi presiden, seorang calon kandidat presiden harus melewati berbagai tahap. Tahapan tersebut dalah adanya pemilihan awal yang dihelat di masing-masing negara bagian. Masing-masing negara bagian bahkan dapat memiliki cara yang berbeda-berbeda, seperti halnya kaukus yang ada di Iowa dan primary yang ada di New Hampsire. Namun, pada intinya adalah masing-masing calon kandidat harus mempromosikan dirinya, menghimpun kekuatan dan sukarelawan, dan yang paling utama adalah mengumpulkan dana. Setelah melalui tahap kaukus dan primari, ada satu lagi tahap yang disebut sebagai Super Tuesday, ketika hampir seluruh negara bagian mengadakan pemilihan awal untuk menentukan kandidat yang mana yang akan maju menjadi calon presiden.

David Border mencoba memberikan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa seorang kandidat mampu memenangkan pemilihan awal dalam sebuah primari, maka ia akan dapat menjadi seorang presiden. Jika dilihat dari fungsi primary, maka kemungkinan tersebut bisa saja terjadi karena dalam pemilihan awal, seorang kandidat telah mendapatkan rekognisi dari rakyat di negara bagian tersebut. Namun, hal itu tidak menjamin begitu saja akan terjadi hal seperti itu, karena masih ada Super Tuesday dan konvensi dari masing-masing partai untuk menentukan calon final yang mewakili partai tersebut untuk bertarung dalam perebutan kursi presiden. Hal ini seperti yang terjadi pada Hillary yang dapat memenangkan primary di New Hampshire mengalahkan Obama namun ternyata Obama lah yang maju menjadi calon presiden yang mewakili partai demokrat. Jadi, walaupun seorang kandidat dapat memenangkan sebuah primary, belum tentu dia dapat menjadi calon presiden mewakili partainya dalam perebutan kursi presiden Amerika Serikat.



Referensi :

Melusky, Joseph. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education.



Transformasi Strategi Militer ke Strategi Bisnis

Transformasi strategi militer menuju strategi bisnis mulai menjadi objek kajian studi pada tahun 1980an melalui tokoh sentralnya, Michael Porter. Aliran ini disebut dengan teori positioning, yakni meyakini strategi perusahaan merupakan alat untuk mencapai keunggulan kompetitif (menghasilkan keuntungan di atas rata-rata) dalam persaingan industri yang sangat ketat seperti halnya pertarungan pada ranah militer.

Transformasi yang terjadi dari strategi militer menjadi strategi bisnis tidak serta merta membuat nilai-nilai yang diadopsi dari strategi militer menjadi hilang. Transformasi hanya membuat aspek-aspek yang ada pada strategi militer sebelumnya berubah secara epistemologi. Beberapa aspek yang menjadi indikator dalam transformasi strategi miiliter menjadi strategi bisnis adalah arena tujuan, aktor, arena implementasi dan instrumen, dan pola persaingan.

Perbeedaan mendasar yang merupakan bentuk transformasi dari strategi militer menjadi strategi bisnis adalah terletak pada tujuannya. Definisi Clausewitz mengenai strategi dalam perang adalah “the employment of the battle as the means towards the attainment of the object of the War”. Hal ini menunjukkan bahwa strategi dalam perang digunakan untuk mencapai tujuan perang. Selanjutnya Clausewitz mendefinisikan perang merupakan bentuk kontinuitas dari kebijakan suatu pihak dalam bentuk aktualisasi lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Dengan kata lain, tujuan dari strategi militer yang sering kali diaplikasikan dalam perang digunakan untuk mencapai kemenangan perang, dimana perang memiliki tujuan politik tertentu yang hendak dicapai. Strategi bisnis memiliki tujuan untuk memenangkan bisnis dari persaingan : merebut, mempertahankan, dan memperluas pangsa pasar, serta meningkatkan pertumbuhan.

Dengan berbedanya tujuan, maka secara otomatis aktor yang berperan dibalik perencanaan masing-masing strategi juga berbeda.dalam strategi militer, jendral merupakan seorang yang memiliki legitimasi dalam pengaturan dan pengambilan keputusan dalam strategi. Sedangkan pada stratgi bisnis yang menjadi pengatur dan pengambil keputusan dalam rangka penyusunan strategi adalah para pemilik modal, manajer, atau direktur dalam perusahaan yang secara fungsional terkait dalam tujuan yang ingin dicapai.

Perbedaan tujuan yang ada dan aktor yang berperan juga menyebabkan perbedaan pada arena implementasinya. Arena implementasi strategi militer adalah bagaimana memenangkan pertempuran di medan perang, sedangkan strategi bisnis fokus dalam memenangkan persaingan pada pasar perbedaan arena implementasi ini kemudian membawa pada perbedaan istrumen yang digunakan. Dalam strategi militer, untuk melaksanakan operasi militer umumnya dibentuk bagian atau divisi dengan fungsinya seperti divisi personil, divisi intelijen dan perencanaan operasi, divisi operasi, divisi logistik dan juga adanya pengguanaan berbagai senjata miiter. Namun, dalam organisasi bisnis yang kemudian menerapkan strategi bisnis dikenal adanya departemen, bagian atau divisi SDM, R&D, produksi, keuangan, logistik dan lain-lain.

Pada akhirnya, perubahan pada beberapa aspek di atas juga membawa pada perubahan pola persaingan pada implementasi kedua strategi tersebut. Pola persaingan pada strategi militer lebih cenderung pada penitikberatan hidup dan mati sehingga prudensi menjadi yang utama. Menaklukkan musuh, mempertahankan posisi, memperluas teritori menjadi misi utama dalam sebuah persaingan yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah pertempuran. Kontradiktif dengan strategi militer, strategi bisnis bersifat kompetisi bukan pertarungan yakni mengejar cara bagaimana mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi dan membuat biaya produksi seminimal mungkin. Persaingan dalam bisnis lebih menitikberatkan pada upaya untuk mengalahkan pesaing, mempertahankan dan memperluas pangsa pasar.

Dengan demikian dapat diketahui bagaimana perbedaan yang ada pada strategi militer dan strategi bisnis sehingga hal tersebut dikatakan sebagai perubahan dari strategi militer menjadi strategi bisnis.

Konstruktivisme : Pengetahuan Dan Dunia Yang Terkonstruksikan

Istilah konstruktivisme begitu populer dalam perdebatan di studi hubungan internasional sejak tahun 1990. Bahkan, menurut tiga scholar utama studi HI kontemporer, Robert Keohane, Stephen Krasner dan Peter Katzenstein, konstruktivisme akan menjadi penantang utama aliran Rasionalisme (Realisme dan Liberalisme) dalam great debate HI yang akan datang. Sebelum masuk melanda displin Hubungan Internasional HI, konstruktivisme terlebih dahulu masuk dan mendobrak kemapanan positivisme dalam filsafat ilmu pengetahuan. Saat itu, kata “konstruksi” dipakai untuk menantang jargon “temuan” (invention dan discovery) yang diusung para positivis. Para positivis menganggap bahwa melalui usaha-usaha mereka yang membuahkan teori-teori, mereka dapat menemukan kebenaran. Para positivis menganggap bahwa the truth is out there, sehingga tugas para ilmuwan, menurut mereka, adalah menjangkau kebenaran yang obyektif itu. Saat kebenaran itu terjangkau, saat itulah mereka “menemukan” kebenaran. Kebenaran, menurut positivis, dapat ditemukan.

Teori-teori besar yang pada perjalannnya sering dikritik, disanggah, direvisi, dikritik lagi, dan seterusnya membuat beberapa orang berpikir bahwa seolah-olah kebenaran itu sebuah permainan para ilmuwan, yang saat ini dinyatakan benar, bulan depan dinyatakan salah. Tidak ada kebenaran yang sifatnya tetap dan statis. Namun, layaknya para ilmuwan, mereka yang berpikir tadi masih mendambakan suatu “kebenaran”. Akhirnya mereka mencoba mengkompromikan pemikirannya, dan dihasilkanlah gagasan bahwa kebenaran adalah konstruksi subyektif, dan bukan temuan obyektif. Ilmuwan sebenarnya mengkonstruksi realitas lewat teorinya. Ia memberi makna pada realitas yang ia ketahui. Hanya, ia menahbiskan temuannya sebagai suatu temuan yang obyektif. Dengan kata lain, subyektifitasnya menjadi dasar bagi temuan yang ia sebut-sebut obyektif.

Berangkat dari pemikiran filosofis, kontruktivisme masuk ke dalam ranah studi ilmu hubungan internasional sebagai suatu pendekatan baru dalam melihat fenomena hubungan internasional. Great Debate ketiga dalam HI merupakan saat dimana konstrruktivisme menunjukkan eksistensinya. Saat itu sedang terjadi perdebatan sengit antara pemikiran aliran utama (mainstream) seperti Realisme-Neorealisme, Liberalisme-Neoliberalisme, dan Marxisme-Neomarxisme, melawan pemikiran-pemikiran alternatif seperti Teori Kritis dan Posmodernisme. Saat Robert Cox (1981), seorang teoritisi kritis, menyatakan bahwa teori adalah untuk sesorang dan untuk suatu tujuan dan Richard Ashley (1988) membongkar gagasan kedaulatan (sovereignty), sesungguhnya genderang perang besar di studi HI sedang ditabuh. Kubu mainstream jelas tidak terima karena objektivitas ilmu yang selama ini mereka sembah, kini ditelanjangi oleh Cox. Gagasan kedaulatan yang melandasi praktik kenegaraan, yang notabene menjadi prasyarat utama teori-teori HI mereka, kini dipreteli oleh Ashley.

Robert O. Keohane, seorang Neoliberalis Institusional, membalas dengan caranya sendiri. Ia melabeli pemikir-pemikir seperti Cox dan Ashley sebagai “reflektivis,” yang hanya bisa merefleksikan teori-teori yang sudah ada. Sementara dia dan kolega-koleganya sebagai “rasionalis,” yang teori-teorinya didasari pada pertimbangan rasional dan menjunjung tinggi rasionalitas. Kritikan yanh begitu pedas yang ditujukan kepada Ashley adalah: “sampai pemikir reflektifis tidak mulai memikirkan kontribusinya bagi studi HI (selain ber-refleksi ria), maka mereka akan tetap ada pada pinggiran akademi … merupakan hal yang memalukan tentunya.”(Keohane, 1989). Ketegangan di antara kedua kubu ini semakin kuat sejak kubu reflektivis menarik simpati ilmuwan-ilmuwan muda yang “muak” dengan status quo, dan semuanya menulis buku-buku yang merefleksikan HI dan ke-HI-an. Sementara, kubu rasionalis tetap dengan keacuhannya pada kubu reflektivis.

Mencoba memecahkan kebuntuan akademik dalam HI, beberapa akademisi HI mencoba menawarkan jalan tengah. Adalah Nicholas Onuf dan Alexander Wendt yang mencoba menjebatani jurang pemisah di antara rasionalis dan reflektivis. Bahkan, Onuf sendiri yang pertama kali mengumumkan istilah “konstruktivisme” dalam HI. Kaum konstruktivis berambisi untuk menjadi penyeimbang antara positivisme dan pospositivisme. (Sorensen dan Jackson, 1999). Di satu sisi, konstruktivis sepakat dengan kaum positivis bahwa tori-teori empiris dapat dibangun untuk menjelaskan hubungan internasional. Kaum konstruktivis hanya mencoba menjelaskan dunia (Wendt, 1992). Di sisi lain konstruktivis juga sepakat dengan pospositivis yang menekankan pentingnya pemikira dan pengetahuan bersama dalam menganalisis pemahaman subjektif (Sorensen dan Jackson, 1999)

Dalam hubungan internasional, konstruktivisme mengambil pemikiran rasionalisme untuk digunakan sebagai kritikan. Para pemikir rasionalisme, baik yang klasik (realisme dan liberalisme) maupun yang struktural (neorealisme dan neoliberalisme) sepakat bahwa sistem yang ada dalam sistem internasional adalah anarki. Liberalisme dan Neoliberalisme beranggapan bahwa struktur dunia yang anarki begitu determinatif dalam memaksa negara-negara yang ada di bawah sistem internasional tersebut untuk salingh berkooperasi dan bekerjasama secara rasional. Realisme dan Neorealisme juga memiliki pemahaman senada tentang bagaimana sistem anarki menjadi faktor determinan setioap perilaku negara yang ada dalam sistem internasional, memaksa negara untuk selalu bersikap agresif-represif dan terkadang bersifat preventif-preemtif. Pada intinya, keduanya sepakat bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh negara adalah sebagai sebuah respon dari adanya sistem internasional yang anarki yang menjadi determinan. Pola-pola tersebut berlaku secara berulang bagi masing-masing teori. Inilah yang memunculkan kritik dari konstruktivisme yang kemudian menjadi landasan pemikirannya.

Menanggapi pemikiran rasionalisme (baik realisme dan liberalisme), konstruktivisme beranggapana bahwa sistem anarki (baik kooperatif maupun konfliktual) adalah merupakan hasil konstruksi psikologis dari negara yang mengalaminya. Sistem internasional yang anarki dan segala perilaku negara sebagai akibat dari keanarkian bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesutau yang dikonstruksikan. Dalam hal ini, Alexander Wendt, menjelaskan bahwa “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara” (Wendt, 1992). Perilaku negara baik kooperatif maupun konfliktual dikonstruksikan dengan sendirinya oleh negara, tergantung bagaimana negara tersebut memandang suatu keadaan yang kemudian menjadi determinan bagi negara untuk bersikap. Contoh realitas yang menggambarkan berjalannya teori konstruktivisme digambar oleh Wendt dalam Sorensen dan Jackson (1999), 500 buah senjata nuklir Inggris sedikit mengancam Amerika Serikat jika dibandingkan dengan 5 buah senjata Korea Utara. Hal ini dikarenakan konstruksi Amerika Serikat terhadap Inggris yang dianggap sebagai teman, sedangkan Korea Utara tidak pernah terlibat suatu hubungan dengan Amerika Serikat, bahkan Korea Utara merupakan negara kontra-demokrasi, tidak seperti Amerika Serikat.

Perkembangan teori konstruktivisme sangat terbantu dengan berbagai kritikannya terhadap rasionalisme. Salah satu objek kritikannya adalah kritikan terhadap neoliberal, yang merupakan bagian dari teori rasional. Pada dasarnya, ada tiga asumsi para neoliberalis yang menjadi objek kritik oleh para konstruktivis. Asumsi pertama dari neoliberalis yang mendapat kritikan adalah neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Asumsi yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara tergenerasikan oleh sistem anarki internasional. Sedangan asumsi yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor (Zehfuss, 2002).

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konstruktivisme merupakan salah satu varian dan alternatif baru dalam melihat, menjelaskan, dan memahami hubungan internasional. Kontribusi konstruktivisme tidak hanya terbatas pada ilmu hubungan internasional saja, namun juga meluas pada tataran ilmu filsafat yang mencoba menunjukkan bahwa kebenaran atau realitas adalah sesuatu yang constructed, bukan given. Berbagai teori-teori hubungan internasional yang telah mapan seraya digoyahkan kemapanannya dengan berbagai kritikan dari konstruktivis terhadapnya. Hal ini menjadikan teori konstruktivis begitu distinct diantara teori-teori yang lain dalam hubungan internasional.





Referensi :



Ashley, Richard. 1988. Untying the Sovereign State. Millenium: Journal of International Studies.

Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Studies.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Oxford University Press : New York

Keohane, Robert. 1989. International Institutions: Two Approaches. International Studies Quarterly. Vol. 32. No. 4. (Dec., 1988), hal 392.

Wendt, Alexander. 1992. Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics. International Organization.

Zehfuss, Maja. 2002. Constructivism in International Relations : The Politics of Reality. Cambridge University Press.

Rasionalisme, English School, dan Posisi Perspektifnya

Dalam perkembangan studi hubungan internasional, muncul berbagai perspektif yang mencoba menghadirkan aternatif perspektif yang dapat digunakan untuk memandang fenomena hubungan internasional. Rasionalisme hadir sebagai produk dari English School yang kemudian mencoba untuk memberikan kritikan terhadap dua teori mainstream. Rasionalisme pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan yang mendasari berbagai perspektif teoretis. Rasionalisme muncul dalam bentuk pemikiran realisme ataupun liberalisme, yang merupakan dua perspektif teoretis utama dan saling bertentangan dalam studi hubungan internasional. Jika realisme menggambarkan secara pesimis tentang politik internasional sebagai kompetisi antar negara yang terus-menerus untuk mencapai kekuasaan dan keamanan, maka sebaliknya liberalisme melihat politik internasional secara optimis dengan kemungkinan untuk membangun sebuah tatanan dunia yang didasarkan pada aturan hukum, diplomasi terbuka, dan keamanan kolektif.

Dalam terminologi Martin Wight yang merupakan salah seorang tokoh utamanya, English School merupakan “via media” antara realisme dan liberalisme yang mana perspektif ini berada di tengah-tengah antara kedua perspektif tersebut (Linklater, 2005). Namun, English School bukan sebagai sebuah perspektif teoretis yang berusaha untuk mengkombinasikan realisme dan liberalisme, melainkan English School memiliki nilai-nilai penting dari kedua perspektif teoretis yang berbeda tersebut. Layaknya realisme, English School mengakui eksistensi keadaan anarki dalam hubungan internasional. English School juga percaya setiap negara harus mengupayakan sendiri keamanan dan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, konflik seringkali terjadi di antara negara-negara yang sama-sama mengejar kepentingan mereka. Tetapi, English School tidak mengidentikkan kondisi anarki dengan kondisi perang. Ada tatanan dalam hubungan internasional. Disamping itu, para pendukung English School menekankan perlunya reformasi global sehingga memungkinkan tercapainya keadilan sosial internasional dan perlindungan hak asasi manusia.

Hedley Bull berhasil menggambarkan karakter English School sebagai sebuah perpektif teoretis dengan posisi sebagai via media melalui karyanya dengan judul yang nampak paradoks, The Anarchical Society (1977). Dalam buku tersebut, Hedley Bull berusaha menunjukkan bahwa hubungan internasional tidak semata-mata menggambarkan asumsi-asumsi realis, melainkan juga memiliki aspek-aspek kosmopolitan, yakni pemikiran yang melihat individu sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan daripada bagian dari sebuah komunitas politik tertentu. Dengan memperkenalkan konsepsi masyarakat internasional, English School memberikan pembedaan dirinya dari realisme yang melihat hubungan internasional sebagai perjuangan menggapai kekuasaan (struggle for power) semata-mata dalam kerangka sistem internasional. Konsep masyarakat internasional juga membedakan English School dari liberalisme yang cenderung menganggap tatanan dunia saat ini sebagai langkah awal bagi terbentuknya sebuah komunitas politik universal yang akan menjamin keadilan bagi seluruh umat manusia.

English School menempatkan masyarakat internasional sebagai sebuah kategori yang lebih ideal yang memungkinkan terpenuhinya keadilan bagi setiap individu. Lebih konkritnya, English School begitu menaruh perhatian pada upaya-upaya untuk mengubah sistem internasional ke arah masyarakat internasional yang meliputi bagaimana norma-norma dan institusi-institusi dikembangkan untuk mencegah kecenderungan penggunaan kekuatan yang terpusat. Tatanan (order) dan keadilan (justice) merupakan dua tujuan esensial yang seringkali sulit untuk dikombinasikan dalam upaya transformasi menjadi masyarakat internasional. Konflik antara keinginan untuk mencapai tatanan dan keadilan tetap berlangsung sampai sekarang. Konflik antara keinginan untuk membangun tatanan dan mencapai keadilan juga muncul dalam kaitannya dengan perbedaan gagasan mengenai keadilan. Pada kondisi ini, upaya untuk memaksakan sebuah konsepsi keadilan kepada anggota masyarakat yang lain cenderung memperlemah upaya untuk membangun masyarakat internasional. Oleh karena itu, posisi English School cenderung menolak dua prinsip yang saling bertentangan: universalisme dan relativisme, yang pertama menggambarkan pemikiran mengenai kesatuan nilai, yang kedua menggambarkan partikularisme nilai. English School juga memberikan penekanan pada penghargaan kepada pluralitas tanpa terjebak pada relativitas nilai dan menekankan pentingnya nilai dominan untuk memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda.

Pembahasan mengenai konlik antara tatanan dan keadilan ini merupakan isu yang sangat fundamental bagi para pendukung English School karena transformasi ke arah masyarakat internasional sedang berlangsung yang berkaitan dengan perluasan konsepsi masyarakat internasional ke luar masyarakat Eropa (Bull and Watson, 1984). Walaupun berbagai negara di luar Eropa telah mengadopsi berbagai norma dan institusi tertentu yang dibangun atau berkembang di Eropa, banyak di antara negara-negara tersebut yang menolak norma dan institusi lain yang juga berkembang di Eropa, yang disebutnya sebagai “revolt against the West.“ Bull (dalam Linklater, 2005) mengidentifikasi lima bentuk revolusi terhadap Barat oleh negara-negara di luar Eropa. Pertama, perjuangan untuk memperoleh kesamaan status sebagai negara berdaulat, seperti yang ditujukkan oleh Cina dan Jepang. Kedua, perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan yang berlangsung di banyak daerah-daerah koloni atau jajahan. Perjuangan ini menggambarkan revolusi politik. Ketiga, revolusi rasial untuk menentang perbudakan dan perdagangan budak sebagai bentuk supremasi rasial. Keempat, revolusi ekonomi untuk menentang berbagai bentuk ketidakmerataan serta eksploitasi akibat sistem perdagangan dan keuangan global yang didominasi Barat. Kelima, revolusi kultural, yakni penolakan terhadap bentuk-bentuk imperialisme kultural. Upaya-upaya universalisasi konsepsi hak azasi manusia yang didasarkan pada individualme liberal, misalnya, secara jelas menggambarkan revolusi kultural ini. Revolusi-revolusi terhadap Barat ini pada dasarnya menggambarkan prinsip-prinsip yang sangat berbeda. Sementara revolusi terhadap Barat dalam bentuknya yang pertama sampai keempat menggambarkan keinginan negara-negara bukan Barat untuk menyamai Barat dengan membentuk norma-norma dan institusi-institusi yang berkembang di Barat seperti kedaulatan, kebebasan ataupun kesederajadan, prinsip kelima menggambarkan penolakan terhadap nilai-nilai lain yang juga berkembang di Barat. Karena revolusi-revolusi ini, dalam berbagai bentuknya yang berbeda, terus berlangsung, sulit untuk membayangkan hasil akhir dari perjuangan melawan Barat ini dalam kaitannya dengan berkembangnya sebuah masyarakat internasional yang bersifat global.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa English School yang membawa pemikiran rasionalisme telah memposisikan dirinya dengan memunculkan perbedaan antara perspektifnya (rasionalisme) dengan realisme dan liberalisme dengan menjunjung tinggi masyarakat internasional sebagai sesuatu yang diharapkan dapat terwujud. Namun hal ini menjadikan dirinya seolah-olah tidak bisa menjustifikasi posisinya dalam menganalisa hubungan internasional karena sebenarnya masih banyak lagi hal-hal substansial yang harus dikaji seperti hubungan antara moral dan teori politik yang dihadirkan secara parsial sehingga kurang bisa dijadikan sebagai pendirian yang normatif.





Referensi



Bull, H. 1997. The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. London

Bull, H. and Watson, A. 1984. The Expansion of International Society. Oxford

Linklater, Andrew. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Palgrave Camillan.

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.