Sabtu, 09 Oktober 2010

Diplomasi : Representasi Kepentingan Nasional, Konstruksi dan Refleksi Kebijakan Luar Negeri

Suatu negara yang berdaulat pasti tidak bisa lepas dari dunia internasional yang tidak hanya terdiri dari negara lain, namun juga terdiri dari entitas politik dan ekonomi lain yang juga menjalin hubungan dengan negara. Dalam upaya menjalin hubungan, negara kerap kali menjalani suatu proses yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang tentu saja mencerminkan kepentingan nasional yang diwujudkan dengan kebijakan luar negeri. Proses menghasilkan kesepakatan inilah yang disebut diplomasi. Dalam bukunya, S. L. Roy (1993) menjelaskan bahwa diplomasi berasal dari kata diploun yang artinya “melipat”. Selanjutnya kata ini berkembang dan mencakup pula dokumen-dokumen resmi yang bukan logam, khususnya yang memberikan hak istimewa tertentu atau menyangkut perjanjian dengan suku bangsa asing di luar bangsa Romawi. Karena perjanjian ini semakin menumpuk, arsip kekaisaran menjadi beban dengan dokumen-dokumen kecil yang tak terhitung jumlahnya yang dilipat dan diberikan dalam cara khusus (Roy, 1993). Dari sejarah perjalanan diplomasi yang demikian, mucullah beberapa definisi baru mengenai diplomasi.

Harold Nicolson ( ) mendefinisikan diplomasi sebagai proses dan alat dimana negosiasi dilakukan. Dengan demikian, dapat disederhanakan bahwa diplomasi adalah proses negosiasi yang dilakukan antara perwakilan resmi negara dengan negara lain.

Tujuan dari diplomasi adalah untuk mempengaruhi (Rosecrance, 1973). Diplomasi dapat dinilai berhasil jika salah satu pihak dapat meyakinkan dan mempengaruhi pihak lain. Dengan demikian diplomasi dapat dikategorikan sebagai salah satu cara dalam exercising power. Konsep Power menurut Morgenthau adalah kemampuan aktor A untuk membuat aktor B agar mau mengikuti apa yang menjadi keinginan dari aktor A. Cara untuk membuat mempengaruhi dapat yang antara lain melalui paksaan, hukuman, hadiah, atau bujukan dapat dilakukan oleh seorang diplomat dalam menjalankan diplomasi. Jika dengan hadiah atau bujukan tidak berhasil membuat negara lain mau menuruti apa diinginkan suatu negara, maka, dalam sebuah diplomasi, diplomat dapat memberikan ancaman yang bertujuan untuk membuat pihak yang diancam mau untuk menurutti apa yang menjadi kepentingan yang diperjuangkan oleh diplomat. Namun, dalam sebuah diplomasi, diplomat dibatasi untuk tidak sampai pada pemberian ultimatum keras yang menjurus pada pernyataan perang secara resmi. Melihat kondisi ini, diplomasi dapat juga dimaknai sebagai upaya menuju kesepakatan yang dilakukan oleh perwakilan negara dengan negara lain terkait suatu isu.

Dalam diplomasi internasional, cara-cara persuasif menjadi cara paling utama dalam pencapaian sebuah kesepakatan. Diplomat yang baik adalah mereka yang mampu menyampaikan argumen, pandangan, dan pernyataan dengan mengedepankan keadaan aktual dan faktual dengan cara sepersuasif mungkin. Sebuah diplomasi juga memungkinkan untuk dibumbui dengan ancaman dan hadiah jika memang hal tersebut telah dipertimbangkan oleh diplomat bahwa negaranya dapat benar-benar melakukan apa yang disampaikannya. Jika kesepakatan yang diinginkan gagal terwujud, maka diplomat dapat memberi tahu negaranya bahwa perundingan selanjutnya hanya akan sia-sia saja.

Diplomasi berusaha menciptakan kesesuaian dan mendamaikan perbedaan-perbedaan dengan melakukan negosiasi dan mediasi antar negara dengan baik dan cerdik. Dalam hal ini, diplomasi indonesia menerapkan pola “intermestik“, yaitu diplomasi yang menyuarakan kepentingan nasional ke masyarakat internasional, dan mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dalam negeri ke dunia internasional. Komunikasi dalam negeri bertujuan untuk membentengi kepentingan nasional serta mengambil langkah antisipatif dalam menghadapi arus tuntutan dunia.

Selain bekal kemampuan yang handal dari seorang diplomat dalam bernegosiasi, kesuksesan dalam diplomasi juga ditentukan oleh negara dimana diplomat berasal. Seorang diplomat tentu akan terbatasi oleh kemampuan dan kekuatan negaranya. Seorang diplomat tentu saja tidak akan melakukan atau menjanjikan sesuatu di luar kemampuan negaranya, atau bahkan sesuatu yang tidak menjadi kepentingan negaranya. Oleh karena itu, dalam berdiplomasi, diplomat juga berperan dalam membentuk kebijakan luar negeri negaranya. Menurut Coulombis dan Wolfe, kebijakan luar negeri dijabarkan sebagai suatu sintesis dari kepentingan nasional yang bergantung pada power dan kapabilitas suatu negara. Hal inilah yang membuat kebijakan ini lebih penting daripada kebijakan lain karena kebijakan ini membawa tujuan untuk mencapai kepentingan nasional yang merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu negara.

Kepentingan nasional, seperti yang didefinisikan oleh Morgenthau, adalah suatu abstraksi yang luas. Kepentingan nasional pada dasarnya terdiri dari dua elemen, yang pertama didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri, dan yang kedua mempertimbangkan berbagai kondisi lingkungan strategis disekitarnya (Morgenthau, 1966). Dalam rangka pemenuhan kebutuhan sendiri, dapat di peroleh dengan cara melindungi kelangsungan hidup bangsa dalam mempertahankan kedaulatan integritas wilayah nasional, sistem politik, dan identitas budaya dari ancaman bangsa lain. Adapun pertimbangan adanya berbagai kondisi lingkungan strategis adalah dengan menjalankan kebijakan politik luar negeri melalui upaya diplomasi.

Sebuah diplomasi yang berangkat dari kepentingan nasional yang pada akhirnya membentuk kebijakan luar negeri adalah ketika para petinggi Israel dan Palestina yang mulai melunak dengan membuat kebijakan baru yaitu memutuskan untuk memulai perundingan lagi. Diplomasi juga dapat mencerminkan sebuah kebijakan luar negeri dari suatu negara. Dalam keadaan demikian, diplomat harus mempertahankan sikap yang diambil negaranya dalam setiap upaya diplomasi demi memperjuangkan kepentingan nasionalnya ( ). Contoh dari keadaan ini adalah ketika Iran memutuskan untuk menjadi oposisi Amerika Serikat dalam upaya diplomasinya dengan siapapaun. Iran telah mengambil kebijakan untuk selalu kontra dengan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Sekutunya.

Melihat kenyataan bahwa sebuah kebijakan luar negeri suatu negara dirumuskan dari kepentingan nasionalnya, proses diplomasi yang dilakukan oleh seorang diplomat adalah sebuah proses yang mewakili negara dalam memperjuangkan kepentingan negara, dan mewakili negara dalam membentuk kebijakan luar negeri suatu negara. Diplomasi yang membawa kepentingan nasional suatu negara juga merupakan refleksi dari kebijakan luar negeri suatu negara yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diplomasi yang bertujuan untuk mencari sebuah kesepakatan antara dua atau lebih entitas negara yang mengedepankan cara-cara persuasif adalah salah satau wadah representasi kepentingan nasional yang jika kesepakatan telah terjadi, maka kesepakatan hasil diplomasi tersebut adalah cerminan dari kebijakan luar negeri suatu negara dan diplomasi yang merupakan representasi kepentingan nasional juga merupakan refleksi dari kebijakan luar negeri suatu negara. Antara diplomasi, kebijakan luar negeri, dan kepentingan nasional terdapat keterkaitan yang saling bersinergi dan berkesinambungan satu sama lain.



Referensi :



Morgenthau, Hans J.1966.“Another “Great Debate”: The National Interest of the United States,” in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasques. NewJersey : Prentice Hall.



Columbis, Theodore dan James H. Wolfe. 1999. Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin.



Roy, S. L. 1993. Diplomasi. Jakarta : Rajawali.



Rosecrance, Richard. 1973. International Relations : Peace or War?. McGraw Hill Inc.



Senin, 14 Juni 2010

Feminisme : Dekonstruksi Emansipatoris Feminisme, Dunia Di Tangan Wanita

Woman was made from the rib of man.

She was not created from his head to top him, nor from his feet to be stepped upon.

She was made from his side to be close to him, from his beneath his arm to be protected by him, near his heart to be loved by him.

-Anonymous-


Ranah hubungan internasional merupakan kondisi yang begitu kompleks dimana banyak sekali fenomena-fenomena yang dapat dikategorikan sebagai hubungan antar negara. Negara-negara diangap sebagai aktor begitu dominan dan memainkan peran sentral dalam hubungan internasional menurut perspektif realisme. Menurut pandangan realisme, negara akan menjunjung tinggi kepentingannya dan tidak akan segan mempertahankannya dengan cara berkonflik sekalipun. Adanya negara yang secara struktural dominan dalam hubungan internasional ini kemudian membuat peran wanita termarginalkan. Hal ini terjadi karena individu yang memegang kendali di balik negara adalah pada umumnya kaum pria. Hal ini lah yang kemudian membuat feminisme berkembang menjadi suatu paham dan bahkan gerakan yang secara perlahan mengubah struktur sistemik dari sistem dunia pada era kontemporer. Peran dan kesempatan bagi wanita dalam berbagai posisi karir dan jabatan semakin luas oleh karena pertimbangan emansipasi wanita ini.

Perspektif feminisme pada intinya memiliki asumsi dasar yang sama dengan teori-teori alternatif lainnya, yaitu dengan semangat emansipatoris ingin membebaskan wanita dari “belenggu” yang secara sosial maupun struktural wanita dikonstruksikan sebagai subordinasi dari pria. Singkatnya, feminisme ingin mewujudkan sebuah ekualitas antara wanita dan pria (Nisbah. 2003). Asumsi yang general ini kemudian terus berkembang dan terbagi menjadi beberapa diskursus yang didasarkan pada konstruksi pemikiran dari para feminis yang ada. Sosialis-marxis feminisme muncul sebagai salah satu varian dari feminisme. Perspektif ini mengangkat tentang eksploitasi terhadap wanita yang dilakukan oleh pria dan mengusahakan adanya pembebasan wanita dari eksploitasi kaum pria (Ehrenreich, 1976). Hal ini senada dengan feminisme empiris yang juga mengangkat isu mengenai eksploitasi wanita sebagai akibat dari globalisasi ekonomi yang kemudian memunculkan inequality terhadap kaum wanita (True, 2005). Feminisme analitis juga mencoba mendekonstruksi kembali perspektif mengenai feminisme dan maskulinisme yang secara asimetris terkonstruksikan secara sosial (True, 2005). Pengkajian kembali mengenai gender ini juga merupakan bagian dari diskursus feminisme posmodern yang juga hadir untuk mengkritik konstruksi sosial dan struktual mengenai keberadaan wanita yang tersubordinasikan, melalui metode pembacaan teks dan bahasa dengan menggunakan metode genealogi dan dekonstruksi dalam mencari dan membedah konstruksi wanita yang secara sosial termajinalkan (Butler, 1999).

Menduduki posisi atau jabatan penting dalam yang lebih tinggi daripada pria merupakan sesuatu yang tabu dan bahkan haram menurut konstruksi sosial pada umunya. Pandangan sosial mainstream yang membelenggu inilah yang ingin diruntuhkan hegemoninya oleh kaum feminis. Ketika Margareth Tatcher terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris, Gloria Macapagal Arroyo sebagai Presiden Filipina, Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia, dan banyak lagi posisi-posisi penting yang dapat dijabat oleh wanita, perspektif dan gerakan feminisme begitu menguat. Inilah yang menjadi tujuan utama feminisme dalam emansipasi atau pembebasan secara politik bagi para wanita, dimana secara politis feminisme memperjuangkan posisi-posisi yang dahulu hanya dapat diduduki oleh pria dan akan sangat tabu jika yang menduduki posisi-posisi tersebut adalah wanita. Meritocracy menjadi spirit dari emansipasi ini, dimana yang memiliki kemampuanlah yang dapat menduduki posisi penting tersebut, tanpa melihat gender. Jika kemampuan berpolitik ternyata juga dimiliki oleh wanita, maka wanita juga berhak menduduki jabatan dan posisi politis dengan tidak lagi terbelenggu oleh wanita. Hal ini dicontohkan dengan berbagai kebijakan untuk menambah kuota bagi politisi wanita di berbagai negara termasuk Indonesia.

Dalam level analisis hubungan internasional, perspektif yang berangkat dari pergerakan sosial untuk membebaskan wanita dari belenggu konstruksi sosial dan struktural ini kemudian mencoba mendobrak dominasi realisme (dan turunannya, neorealisme) yang menjadi paham mainstream dominan dalam ilmu hubungan internasional. Diskursus realisme dalam hubungan internasional menitikberatkan pada peran signifikan dan sentral dari negara karena realisme bertumpu pada sistem westphalian. Dengan demikian, wacana-wacana yang marak muncul selalu berbau perang dan konflik, atau minimal dibumbui dengan “kekerasan”. Hal ini menunjukkan betapa “maskulin”nya wacana-wacana dalam realisme, seakan tidak memberikan celah sedikit bagi “kefeminiman” untuk ikut masuk dalam ranah hubungan internasional. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran feminisme dalam level analisis hubungan internasional. Feminisme menginginkan adanya perubahan dala hubungan internasional dimana aktor negara dengan segala bentuk kompleksitas konfliknya tidak lagi menjadi satu-satunya wacana yang mendominasi hubungan internasional. Feminisme liberal bergerak lebih masif lagi untuk menyuarakan pembebasan dari sistem internasional yang seperti ini. Feminisme menginginkan adanya pengakuan terhadap aktor-aktor lain selain negara yang secara jelas terlibat dalam hubungan internasional sehingga pluralitas dalam hubungan internasional menjadi hal yang diidam-idamkan oleh feminis liberal (Hooks, 1984)

Sejalan dengan keinginannya untuk mendobrak pemikiran bahwa hubungan internasional yang hanya didominasi oleh negara dengan segala kompleksitas permasalahannya yang konfliktual, feminisme memiliki pandangan tersendiri menangai konflik yang bagi mereka tidak sepatutnya diselesaikan dengan cara konflik. Feminisme menginginkan gerakan yang damai dan bersifat kooperatif dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan internasional. Contoh nyata dari upaya feminisme untuk menciptakan perdamaian adalah adanya gerakan wanita Amerika yang bernama Women’s Strike for Peace di awal 1960, gerakan yang concern terhadap peperangan ideologi AS berbenturan dengan ideologi komunisme Uni Soviet. Disini begitu terlihat peran keibuan dari naluri seorang wanita yang mampu memperkuat politik pembendungan senjata nuklir, yang seharusnya menuju stabilitas kooperatif dan integrasi sistem internasional (Ticker, 2002). Dalam bentuk kooperasi, kontribusi feminisme dimanifestasikan berupa tindakan negosiasi atau diplomasi yang secara epistemologis tindakan tersebut merupakan sikap utama kaum feminis dalam mendukung pandangan liberalisme yang berkaitan dengan kebebasan dan keadilan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa feminisme merupakan sebuah perspektif yang mencoba menunjukkan eksistensi dan siginifikansi wanita dengan mendobrak konstruksi sosial dan struktural yang mendiskreditkan wanita dan menunjukkan bahwa wanita, dengan esensi psikologis dan emosi yang dimilikinya, mampu menghadirkan politik yang etis dan bermoral. Namun, yang menjadi titik balik dari feminisme adalah kekhawatiran akan dominasi emosi yang begitu kental dari wanita yang mempengaruhi rasionalitasnya dan kurangnya kapabilitas feminisme dalam mendobrak konstruksi yang telah ada terhadap wanita yang dikarenakan konstruksi tersebut telah terlanjur tertanam dan melekat secara sosial.







Referensi



Nisbah. 2003. Varian-varian Feminisme Sebagai Sebuah Gerakan. Diakses dari http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=26437 pada 14 Juni 2010



Ehrenreich, Barbara. 1976. What is Socialist Feminism. WIN Magazine http://dx.doi.org/10.1080/09699089800200034 diakses pada 14 Juni 2010



Butler, Judith. 1999. Gender trouble: feminism and the subversion of identity. New York: Routledge



Hooks, Bell. 1984. Feminist Theory: From Margin to Center Cambridge, MA: South End Press



True, Jacqui. 2004. Theories of International Realations : Postmodernism. PalgraveMacmillan : New York.



Ticker, Aann. 2002. Feminist Perspective on International Relations. London : SAGE Publications

Kamis, 10 Juni 2010

”Either you are with us, or you are with the terrorists” (George W. Bush)

Serangan pesawat terbang yang ditujukan ke WTC dan Pentagon pada 11 September membuat Amerika Serikat dan dunia seakan tersentak. Betapa tidak, dua lambang supremasi dan kekuatan Amerika Serikat sebagai negara adidaya dapat diserang dan bahkan WTC dapat diluluh lantahkan. Arah kebijakan seketika juga berubah. Jika sebelumnya, membawa semangat neoliberalisme, Amerika Serikat sangat gencar mempromosikan kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat benar-benar memiliki peran dan pengaruh dalam konstelasi internasional. Namun, sekali lagi, serangan 11 September benar-benar telah merubah segalanya. Serangan 11 September diduga digawangi oleh gerakan teroris yang diketuai oleh Osama Bin Laden. Akibatnya, War on terrorism menjadi bahan promosi yang didasarkan pada kebijakan luar negeri yang dikeluarkan seketika itu juga yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Pieterse, 2004). Bahkan hal tersebut telah menjelma menjadi alat legitimasi dan justifikasi bagi setiap kebijakan Amerika Serikat yang berkaitan dengan perang terhadap terorisme.

Salah satu statement yang begitu mencerminkan kebijakan War On Terrorism adalah doktrin dari Bush, “Kamu bersama kita, atau bersama teroris.” Hal ini begitu menunjukkan komitmen Amerika Serikat untuk memerangi terorisme. Amerika Serikat terkesan akan ikut memerangi setiap negara yang tidak mendukung kebijakan War On Terrorism nya. Namun, kebijakan ini dirasa telah berjalan tidak sesuai tujuan awalnya. Ada indikasi Amerika Serikat memiliki kepentingan lain di balik War On Terrorism. Pendudukan Amerika Serikat terhadap Irak terindikasi dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menguasai minyak. Terlebih lagi, Amerika Serikat seakan telah bertindak terlalu jauh dalam implementasi kebijakannya. Intervensi Amerika Serikat ke Afghanistan sampai sekarang telah menunjukkan indikasi adanya pendudukan, bahkan malah membuat kekacauan lain yang di luar tujuan awal dari kebijakan yang dibuat. Pada intinya, kebijakan War On Terrorism yang berlangsung sekarang mulai menyimpang dari tujuan awal ketika kebijakan itu dibuat dan cenderung disisipi oleh kepentingan-kepentingan lain yang terselubung.





Referensi :



Pieterse, Jan Nederveen. 2004. Neoliberal Empire, dalam Globalization or Empire?. London: Routledge



Rabu, 09 Juni 2010

Posmodernisme : Dekonstruksi Intertekstual Menuju Genealogi, Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Teori-teori mainstream dalam studi hubungan internasional kembali mendapat tantangan yang menggoyahkan kemapanannya. Adalah posmodernisme yang kemudian mencoba untuk menggunakan perspektifnya untuk menganalisa hubungan internasional dari sudut pandang yang khas dan tentu saja berbeda dari teori-teori mainstream. Jika melihat terminologinya, posmodernisme merupakan pemikiran yang hadir dari untuk memberikan sesuatu yang baru bagi moedernisme. Modernisme memiliki pandangan bahwa realitas adalah sebagai satu keutuhan yang ditata berdasarkan prinsip rasionalitas (Sahal dan Nuroni, 1993). Posmodernisme hadir dengan memberikan prefix “pos” atau “post” pada terminologi modernisme yang kemudian memberikan artian yang berbeda. Prefix “pos” memiliki artian yang lebih dari sekedar prefix “neo” dan “anti”. Suatu terminologi jika mendapatkan prefix “neo” maka ia merupakan hasil dari rekonstruksi atau pembaruan-pembaruan tertentu dari terminologi yang diikutinya. Terminologi yang mendapatkan prefix “anti” maka ia merupakan sebuah antitesis atau negasi dari terminologi yang diikutinya. Sedangkan “pos” atau “post” dapat memberikan arti bahwa ia adalah hasil dari dekonstruksi yang secara otomatis membahas sesuatu yang diluar pengetahuan. Dengan demikian, terminologi posmodernisme dapat berarti sebuah kajian yang merupakan hasil dekonstruksi dari apa yang disebut dengan modernisme berdasarkan interkontekstual dan kontekstual yang ada dalam modernisme itu sendiri.

Salah satu sub bahasan yang ada pada posmodernisme adalah genealogi neorealisme. Sebagai sebuah perspektif dalam hubungan internasional, genealogi memiliki arti tersendiri. Jika secara epistemologi genealogi adalah ilmu yang mempelajari tentang asal usul (sejarah) mengenai sesuatu, maka, dengan mengkombinasikan definisi dari Devetak, genealogi dapat berarti asal usul mengenai sesuatu yang dipandang secara kontekstual yang dikarenakan nilai-nilai sejarah memiliki andil dalam mengkonstruksi pemikiran penulis yang kemudian dapat berdampak pada hasil tulisannya (Devetak, 2005). Dalam memahami nilai-nilai konstruktivisme diperlukan adanya pendekatan multiperspektif, karena bagi seorang posmodernis, perspektif adalah sesuatu yang paling esensial dan fundamental (Nietzsche, 1969). Kontribusi dari genealogi yang dibawa oleh posmodernisme bagi hubungan internasional adalah bagaimana genealogi mencoba memberikan benang merah antara klaim terhadap ilmu pengetahuan dengan klaim terhadap power dan otoritas yang menjadi bahasan inti dari neorealisme. Genealogi menjelaskan bahwa neorealisme terbentuk dari realisme yang terekonstruksi kembali dengan mendapat sentuhan dari hal-hal yang bersifat struktural. Sederhananya, neorealisme terbentuk dari perspektif realisme dan strukturalisme dimana keduanya masih memiliki genealogi masing-masing yang berbeda berdasarkan nilai-nilai yang muncul di lingkungan konseptor dari masing-masing perspektif.

Sub bahasan lain dalam posmodernisme adalah intertekstualitas dalam hubungan internasional. Bahasan ini menjadi begitu esensial karena hubungan internasional dapat didekonstruksikan, dipahami, dan dibaca secara ganda (double reading) yang dikarenakan adanya interkontekstualitas dalam hubungan internasional. Pembacaan ganda ini terjadi layaknya pembacaan pada sebuah teks, namun teks dalam terminologi ini memiliki pengertian yang berbeda dari teks yang dipahami sebagai literatur atau entitas yang lainnya. Dalam posmodernisme, teks dipahami sebagai sebuah obyek ontologi yang begitu luas, bahkan saking luasnya, oleh Derrida, hubungan internasional dapat dikategorikan sebagai sebuah “teks” (Derrida, 1988). Textual interplay yang dijelaskan oleh Derrida digunakan untuk menjelaskan hubungan internasional sebagai sebuah objek ontologi yang hanya dapat dijelaskan dengan cara menginterpretasikan hasil interpretasi lebih dari sekedar menginterpretasikan teks secara umum yang sudah ada. Metode ini kemudian bercabang menjadi dua yaitu dekonstruksi dan pembacaan ganda (double reading). Konsepsi Derrida ini kemudian banyak dikenal dan dipakai sebagai rujukan oleh para posmodernis ketika menggunakan metode dekonstruksi.

Sebagai kelanjutan dari dekontruksi, diplomasi kontemporer yang dipahami sekarang adalah serangkaian aktivitas yang terjadi secara prosedural dilakukan oleh sebuah negara dengan negara lain dimana dalam proses diplomasi tersebut terdapat negosiasi, lobbying, dll. Namun, jika diplomasi ini didekonstruksikan maka akan didapatkan genealogi baru dari diplomasi. Derrida, sebagai pembawa metode dekonstruksi, menjelaskan bahwa terdapat oposisi biner dari suatu konsep yang bersifat parasit struktural dari konsep tersebut. Seperti namanya, oposisi biner merupakan lahir dan menjadi oposisi dari konsep yang sama tersebut. Dengan demikian, dekonstruksi terhadap diplomasi yang juga dimungkinkan untuk menghadirkan oposisi biner akan diperkirakan dapat memberikan sebuah genealogi mengenai diplomasi yang berbeda antara diplomasi klasik dan diplomasi kontemporer. Dengan digunakannya metode dekonstruksi maka akan didapatkan hal baru dalam diplomasi.

Posmodernisme juga merupakan sebuah perspektif yang antipositivisme. Titik berat dari antipositivisme adalah segala sesuatu yang anti terhadap kemapanan, terlebih dalam ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial mengkaji tentang fenomena sosial, dimana fenomena sosial adalah sebuah entitas yang tidak bisa diukur secara dan dipetakan secara stuktural. Hal ini dikarenakan fenomena sosial selalu berhubungan dengan intersubyektif manusia. Penelitian-penelitian yang dilakukan yang bersifat prosedural dan ilmiah tidak serta merta dapat menjamin keobjektifan sebuah pengetahuan, karena meskipun penelitian dilakukan dengan metode dan langkah-langkah yang ilmiah, nilai-nilai konstruktivisme akan terus hadir untuk mempengaruhi dan mengkonstruksi pemikiran manusia akan suatu entitas yang menjadi objek pengamatan. Hal ini dikarenakan manusia adalah sebuah entitas subjektif, oleh karena itu tidak pengetahuan yang objektif menurut para antipositivisme (Perry, 1999). Hal ini membuat ontologisme posmodernisme menjadi khas. Ontologisme dalam posmodernisme tidak berujung pada hal-hal yang bersifat define, melainkan pada sejauh mana suatu ruang lingkup atau objek kritik masih memiliki potensi kritik. Dengan demikian, posmodernisme akan terhindarkan dari sebuah finalitas. Jika posmodernisme telah mencapai suatu finalitas, maka ia akan kehilangan makna dari “pos” yang melekat pada terminologi posmodernisme itu sendiri dan kembali pada modernisme.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa posmodernisme hadir di tengah-tengah studi hubungan internasional dengan membawa cara dan metode baru dalam menjelaskan hubungan internasional. Dekonstruksi dan double reading menjadi salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan genealogi yang dapat dicapai melalui dekonstruksi terhadap sbeuah entitas, dimana hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di luar pengetahuan. Posmodernisme juga tidak berujung pada sebuah finalitas pada sebuah entitas dan lebih cenderung untuk bertahan pada sebuah potensi kritik yang akan terus hadir dalam sebuah entitas karena jika posmodernisme berujung pada sebuah finalitas, maka ia akan kehilangan esensi ke’posmodernisme’annya.







Referensi



Davetak, Richard. 2004. Theories of International Realations : Postmodernism. PalgraveMacmillan : New York.

Nietzsche, F. 1969. On the Genealogy of Moral, and Ecce Homo. New York

Derrida, Jacques. 1988. Limited Inc. Evanston.

Perry, Beth. 1999. Summary of Positivist and Anti-positivist. Positions the Social Science PGCE group. University of Leicester.

Sahal, Ahmad dan Heni Nuroni. 1993. Postmodernisme dan Media Barat. Dalam Kompas, 24 Agustus 1993. Diakses dari www.freedom-institute.org pada 8 Juni 2010.



Senin, 07 Juni 2010

“Domestic policy . . . can only defeat us; foreign policy can kill us” -John F. Kennedy-

Dalam sistem politik Amerika Serikat, ada dua keadaan sebagai respon dalam menghadapi keadaan internasional. Pengambilan kebijakan luar negeri pun bisa berbeda dikarenakan kondisi yang berbeda pula, tergantung tingkat urgensi dari masing-masing keadaan. Dalam keadaan krisis, keputusan harus diambil secara cepat dan tepat, dimana pertimbangan dan debat yang berkepanjangan menjadi tidak bijak. Keadaan ini membuat peran presiden menjadi meningkat untuk memberikan pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Presiden dapat menentukan dengan siapa dia akan berkonsultasi, misalnya dengan Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, atau CIA. Presiden juga mungkin hanya akan bergantung pada NSC. Singkatnya, jika memang benar-benar mendesak dan urgent, presiden dapat menentukan dengan siapa saja dia berkonsultasi secara personal.

Dalam keadaan non krisis, stake holder yang terlibat dalam pengambilan kebijakan luar negeri pun dapat menjadi lebih banyak. Para diplomat dan ahli di Departemen Luar Negeri bisa memberikan informasi dan rekomendasi. Anggota kongres di bidang hubungan luar negeri, armed service, intelejen, dan komite yang dapat memberikan pandangan dan sarannya dalam menentukan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kelompok kepentingan pun dapat turut serta ambil bagian dalam menentukan kebijakan luar negeri. Singkatnya, jika tidak berada dalam kondisi krisis, penentuan kebijakan luar negeri dapat dilakukan dan ditentukan oleh lebih banyak pihak. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya kebijakan luar negeri bagi Amerika Serikat, sehingga mereke memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi setiap keadaan yang ada. Hal ini inheren dengan apa yang disampaikan oleh John F. Kennedy, bahwa kebijakan luar negeri bisa saja “membunuh” jika kebijakan yang salah diambil.







Referensi :

Melusky, Joseph. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education

“The United States is unusual among the industrial democracies in the rigidity of the system of ideological control -- indoctrination, we might say -- exercised through the mass media and interest group” -Noam Chomsky-

Sistem politik Amerika Serikat merupakan sebuah sistem yang demokratis. Begitu demokratisnya, kesempatan bagi semua pihak begitu terbuka dalam penentuan kebijakan publik. Setiap stakeholder memiliki perannya masing-masing dalam memberikan warna dan kontribusi dalam demokrasi amerika serikat. Demokrasi Amerika Serikat yang memiliki filosofi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat benar-benar ingin diaplikasikan dengan begitu sempurna sehingga benar-benar memberikan ruang yang sedemikian luas bagi para stakeholder untuk menyampaikan aspirasinya demi tercapainya demokrasi yang murni.

Media menjadi salah satu entitas yang begitu esensial dalam demokrasi Amerika Serikat. Media memiliki peran yang begitu siginifikan dalam menggiring opini publik. Media memiliki pengaruh secara psikologis bagi masyarakat untuk mengkonstruksikan opini publik. Opini yang berkembang di masyarakat bisa dikonstruksikan oleh media yang kemudian bisa digunakan untuk menekan pemerintah dalam pembuatan kebijakan. Namun, tidak hanya media saja yang menjadi significant stakeholder dalam sistem politik Amerika Serikat. Peran dari kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan juga menjadi penting untuk menekan opini publik yang kemudian dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Kelompok-kelompok kepentingan ini mewakili aspirasi yang dibawa oleh masing-masing anggota yang berada dalam kelompok tersebut hingga terbentuk suatu konsensus dari kelompok tersebut. Dengan demikian, kehadiran media dan kelompok kepentingan membuat sistem politik Amerika Serikat menjadi semakin sempurna.



Referensi :

Hays, R. Allen. Peran Kelompok Kepenting dalam Demokrasi. Office of International Information Programs : US Department of State.

Johnson, W. John. Peran Media Bebas dalam Demokrasi. Office of International Information Programs : US Department of State.



“People who win primaries may become good president, but it ain’t necessarily so” -David Broder-

Dalam mendapatkan presiden yang berhak memimpin Amerika Serikat, ada cara tersendiri yang dapat dikatakan cukup rumit namun unik. Sebelum masuk ke proses pertarungan atau kampanye untuk menjadi presiden, seorang calon kandidat presiden harus melewati berbagai tahap. Tahapan tersebut dalah adanya pemilihan awal yang dihelat di masing-masing negara bagian. Masing-masing negara bagian bahkan dapat memiliki cara yang berbeda-berbeda, seperti halnya kaukus yang ada di Iowa dan primary yang ada di New Hampsire. Namun, pada intinya adalah masing-masing calon kandidat harus mempromosikan dirinya, menghimpun kekuatan dan sukarelawan, dan yang paling utama adalah mengumpulkan dana. Setelah melalui tahap kaukus dan primari, ada satu lagi tahap yang disebut sebagai Super Tuesday, ketika hampir seluruh negara bagian mengadakan pemilihan awal untuk menentukan kandidat yang mana yang akan maju menjadi calon presiden.

David Border mencoba memberikan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa seorang kandidat mampu memenangkan pemilihan awal dalam sebuah primari, maka ia akan dapat menjadi seorang presiden. Jika dilihat dari fungsi primary, maka kemungkinan tersebut bisa saja terjadi karena dalam pemilihan awal, seorang kandidat telah mendapatkan rekognisi dari rakyat di negara bagian tersebut. Namun, hal itu tidak menjamin begitu saja akan terjadi hal seperti itu, karena masih ada Super Tuesday dan konvensi dari masing-masing partai untuk menentukan calon final yang mewakili partai tersebut untuk bertarung dalam perebutan kursi presiden. Hal ini seperti yang terjadi pada Hillary yang dapat memenangkan primary di New Hampshire mengalahkan Obama namun ternyata Obama lah yang maju menjadi calon presiden yang mewakili partai demokrat. Jadi, walaupun seorang kandidat dapat memenangkan sebuah primary, belum tentu dia dapat menjadi calon presiden mewakili partainya dalam perebutan kursi presiden Amerika Serikat.



Referensi :

Melusky, Joseph. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education.



Transformasi Strategi Militer ke Strategi Bisnis

Transformasi strategi militer menuju strategi bisnis mulai menjadi objek kajian studi pada tahun 1980an melalui tokoh sentralnya, Michael Porter. Aliran ini disebut dengan teori positioning, yakni meyakini strategi perusahaan merupakan alat untuk mencapai keunggulan kompetitif (menghasilkan keuntungan di atas rata-rata) dalam persaingan industri yang sangat ketat seperti halnya pertarungan pada ranah militer.

Transformasi yang terjadi dari strategi militer menjadi strategi bisnis tidak serta merta membuat nilai-nilai yang diadopsi dari strategi militer menjadi hilang. Transformasi hanya membuat aspek-aspek yang ada pada strategi militer sebelumnya berubah secara epistemologi. Beberapa aspek yang menjadi indikator dalam transformasi strategi miiliter menjadi strategi bisnis adalah arena tujuan, aktor, arena implementasi dan instrumen, dan pola persaingan.

Perbeedaan mendasar yang merupakan bentuk transformasi dari strategi militer menjadi strategi bisnis adalah terletak pada tujuannya. Definisi Clausewitz mengenai strategi dalam perang adalah “the employment of the battle as the means towards the attainment of the object of the War”. Hal ini menunjukkan bahwa strategi dalam perang digunakan untuk mencapai tujuan perang. Selanjutnya Clausewitz mendefinisikan perang merupakan bentuk kontinuitas dari kebijakan suatu pihak dalam bentuk aktualisasi lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Dengan kata lain, tujuan dari strategi militer yang sering kali diaplikasikan dalam perang digunakan untuk mencapai kemenangan perang, dimana perang memiliki tujuan politik tertentu yang hendak dicapai. Strategi bisnis memiliki tujuan untuk memenangkan bisnis dari persaingan : merebut, mempertahankan, dan memperluas pangsa pasar, serta meningkatkan pertumbuhan.

Dengan berbedanya tujuan, maka secara otomatis aktor yang berperan dibalik perencanaan masing-masing strategi juga berbeda.dalam strategi militer, jendral merupakan seorang yang memiliki legitimasi dalam pengaturan dan pengambilan keputusan dalam strategi. Sedangkan pada stratgi bisnis yang menjadi pengatur dan pengambil keputusan dalam rangka penyusunan strategi adalah para pemilik modal, manajer, atau direktur dalam perusahaan yang secara fungsional terkait dalam tujuan yang ingin dicapai.

Perbedaan tujuan yang ada dan aktor yang berperan juga menyebabkan perbedaan pada arena implementasinya. Arena implementasi strategi militer adalah bagaimana memenangkan pertempuran di medan perang, sedangkan strategi bisnis fokus dalam memenangkan persaingan pada pasar perbedaan arena implementasi ini kemudian membawa pada perbedaan istrumen yang digunakan. Dalam strategi militer, untuk melaksanakan operasi militer umumnya dibentuk bagian atau divisi dengan fungsinya seperti divisi personil, divisi intelijen dan perencanaan operasi, divisi operasi, divisi logistik dan juga adanya pengguanaan berbagai senjata miiter. Namun, dalam organisasi bisnis yang kemudian menerapkan strategi bisnis dikenal adanya departemen, bagian atau divisi SDM, R&D, produksi, keuangan, logistik dan lain-lain.

Pada akhirnya, perubahan pada beberapa aspek di atas juga membawa pada perubahan pola persaingan pada implementasi kedua strategi tersebut. Pola persaingan pada strategi militer lebih cenderung pada penitikberatan hidup dan mati sehingga prudensi menjadi yang utama. Menaklukkan musuh, mempertahankan posisi, memperluas teritori menjadi misi utama dalam sebuah persaingan yang kemudian dimanifestasikan dalam sebuah pertempuran. Kontradiktif dengan strategi militer, strategi bisnis bersifat kompetisi bukan pertarungan yakni mengejar cara bagaimana mendapatkan tingkat efisiensi yang tinggi dan membuat biaya produksi seminimal mungkin. Persaingan dalam bisnis lebih menitikberatkan pada upaya untuk mengalahkan pesaing, mempertahankan dan memperluas pangsa pasar.

Dengan demikian dapat diketahui bagaimana perbedaan yang ada pada strategi militer dan strategi bisnis sehingga hal tersebut dikatakan sebagai perubahan dari strategi militer menjadi strategi bisnis.

Konstruktivisme : Pengetahuan Dan Dunia Yang Terkonstruksikan

Istilah konstruktivisme begitu populer dalam perdebatan di studi hubungan internasional sejak tahun 1990. Bahkan, menurut tiga scholar utama studi HI kontemporer, Robert Keohane, Stephen Krasner dan Peter Katzenstein, konstruktivisme akan menjadi penantang utama aliran Rasionalisme (Realisme dan Liberalisme) dalam great debate HI yang akan datang. Sebelum masuk melanda displin Hubungan Internasional HI, konstruktivisme terlebih dahulu masuk dan mendobrak kemapanan positivisme dalam filsafat ilmu pengetahuan. Saat itu, kata “konstruksi” dipakai untuk menantang jargon “temuan” (invention dan discovery) yang diusung para positivis. Para positivis menganggap bahwa melalui usaha-usaha mereka yang membuahkan teori-teori, mereka dapat menemukan kebenaran. Para positivis menganggap bahwa the truth is out there, sehingga tugas para ilmuwan, menurut mereka, adalah menjangkau kebenaran yang obyektif itu. Saat kebenaran itu terjangkau, saat itulah mereka “menemukan” kebenaran. Kebenaran, menurut positivis, dapat ditemukan.

Teori-teori besar yang pada perjalannnya sering dikritik, disanggah, direvisi, dikritik lagi, dan seterusnya membuat beberapa orang berpikir bahwa seolah-olah kebenaran itu sebuah permainan para ilmuwan, yang saat ini dinyatakan benar, bulan depan dinyatakan salah. Tidak ada kebenaran yang sifatnya tetap dan statis. Namun, layaknya para ilmuwan, mereka yang berpikir tadi masih mendambakan suatu “kebenaran”. Akhirnya mereka mencoba mengkompromikan pemikirannya, dan dihasilkanlah gagasan bahwa kebenaran adalah konstruksi subyektif, dan bukan temuan obyektif. Ilmuwan sebenarnya mengkonstruksi realitas lewat teorinya. Ia memberi makna pada realitas yang ia ketahui. Hanya, ia menahbiskan temuannya sebagai suatu temuan yang obyektif. Dengan kata lain, subyektifitasnya menjadi dasar bagi temuan yang ia sebut-sebut obyektif.

Berangkat dari pemikiran filosofis, kontruktivisme masuk ke dalam ranah studi ilmu hubungan internasional sebagai suatu pendekatan baru dalam melihat fenomena hubungan internasional. Great Debate ketiga dalam HI merupakan saat dimana konstrruktivisme menunjukkan eksistensinya. Saat itu sedang terjadi perdebatan sengit antara pemikiran aliran utama (mainstream) seperti Realisme-Neorealisme, Liberalisme-Neoliberalisme, dan Marxisme-Neomarxisme, melawan pemikiran-pemikiran alternatif seperti Teori Kritis dan Posmodernisme. Saat Robert Cox (1981), seorang teoritisi kritis, menyatakan bahwa teori adalah untuk sesorang dan untuk suatu tujuan dan Richard Ashley (1988) membongkar gagasan kedaulatan (sovereignty), sesungguhnya genderang perang besar di studi HI sedang ditabuh. Kubu mainstream jelas tidak terima karena objektivitas ilmu yang selama ini mereka sembah, kini ditelanjangi oleh Cox. Gagasan kedaulatan yang melandasi praktik kenegaraan, yang notabene menjadi prasyarat utama teori-teori HI mereka, kini dipreteli oleh Ashley.

Robert O. Keohane, seorang Neoliberalis Institusional, membalas dengan caranya sendiri. Ia melabeli pemikir-pemikir seperti Cox dan Ashley sebagai “reflektivis,” yang hanya bisa merefleksikan teori-teori yang sudah ada. Sementara dia dan kolega-koleganya sebagai “rasionalis,” yang teori-teorinya didasari pada pertimbangan rasional dan menjunjung tinggi rasionalitas. Kritikan yanh begitu pedas yang ditujukan kepada Ashley adalah: “sampai pemikir reflektifis tidak mulai memikirkan kontribusinya bagi studi HI (selain ber-refleksi ria), maka mereka akan tetap ada pada pinggiran akademi … merupakan hal yang memalukan tentunya.”(Keohane, 1989). Ketegangan di antara kedua kubu ini semakin kuat sejak kubu reflektivis menarik simpati ilmuwan-ilmuwan muda yang “muak” dengan status quo, dan semuanya menulis buku-buku yang merefleksikan HI dan ke-HI-an. Sementara, kubu rasionalis tetap dengan keacuhannya pada kubu reflektivis.

Mencoba memecahkan kebuntuan akademik dalam HI, beberapa akademisi HI mencoba menawarkan jalan tengah. Adalah Nicholas Onuf dan Alexander Wendt yang mencoba menjebatani jurang pemisah di antara rasionalis dan reflektivis. Bahkan, Onuf sendiri yang pertama kali mengumumkan istilah “konstruktivisme” dalam HI. Kaum konstruktivis berambisi untuk menjadi penyeimbang antara positivisme dan pospositivisme. (Sorensen dan Jackson, 1999). Di satu sisi, konstruktivis sepakat dengan kaum positivis bahwa tori-teori empiris dapat dibangun untuk menjelaskan hubungan internasional. Kaum konstruktivis hanya mencoba menjelaskan dunia (Wendt, 1992). Di sisi lain konstruktivis juga sepakat dengan pospositivis yang menekankan pentingnya pemikira dan pengetahuan bersama dalam menganalisis pemahaman subjektif (Sorensen dan Jackson, 1999)

Dalam hubungan internasional, konstruktivisme mengambil pemikiran rasionalisme untuk digunakan sebagai kritikan. Para pemikir rasionalisme, baik yang klasik (realisme dan liberalisme) maupun yang struktural (neorealisme dan neoliberalisme) sepakat bahwa sistem yang ada dalam sistem internasional adalah anarki. Liberalisme dan Neoliberalisme beranggapan bahwa struktur dunia yang anarki begitu determinatif dalam memaksa negara-negara yang ada di bawah sistem internasional tersebut untuk salingh berkooperasi dan bekerjasama secara rasional. Realisme dan Neorealisme juga memiliki pemahaman senada tentang bagaimana sistem anarki menjadi faktor determinan setioap perilaku negara yang ada dalam sistem internasional, memaksa negara untuk selalu bersikap agresif-represif dan terkadang bersifat preventif-preemtif. Pada intinya, keduanya sepakat bahwa perilaku yang ditunjukkan oleh negara adalah sebagai sebuah respon dari adanya sistem internasional yang anarki yang menjadi determinan. Pola-pola tersebut berlaku secara berulang bagi masing-masing teori. Inilah yang memunculkan kritik dari konstruktivisme yang kemudian menjadi landasan pemikirannya.

Menanggapi pemikiran rasionalisme (baik realisme dan liberalisme), konstruktivisme beranggapana bahwa sistem anarki (baik kooperatif maupun konfliktual) adalah merupakan hasil konstruksi psikologis dari negara yang mengalaminya. Sistem internasional yang anarki dan segala perilaku negara sebagai akibat dari keanarkian bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesutau yang dikonstruksikan. Dalam hal ini, Alexander Wendt, menjelaskan bahwa “anarki adalah sesuatu yang dibuat oleh negara” (Wendt, 1992). Perilaku negara baik kooperatif maupun konfliktual dikonstruksikan dengan sendirinya oleh negara, tergantung bagaimana negara tersebut memandang suatu keadaan yang kemudian menjadi determinan bagi negara untuk bersikap. Contoh realitas yang menggambarkan berjalannya teori konstruktivisme digambar oleh Wendt dalam Sorensen dan Jackson (1999), 500 buah senjata nuklir Inggris sedikit mengancam Amerika Serikat jika dibandingkan dengan 5 buah senjata Korea Utara. Hal ini dikarenakan konstruksi Amerika Serikat terhadap Inggris yang dianggap sebagai teman, sedangkan Korea Utara tidak pernah terlibat suatu hubungan dengan Amerika Serikat, bahkan Korea Utara merupakan negara kontra-demokrasi, tidak seperti Amerika Serikat.

Perkembangan teori konstruktivisme sangat terbantu dengan berbagai kritikannya terhadap rasionalisme. Salah satu objek kritikannya adalah kritikan terhadap neoliberal, yang merupakan bagian dari teori rasional. Pada dasarnya, ada tiga asumsi para neoliberalis yang menjadi objek kritik oleh para konstruktivis. Asumsi pertama dari neoliberalis yang mendapat kritikan adalah neoliberalisme menerima bahwa identitas dan kepentingan adalah sesuatu yang given, karena neoliberalis hanya mengakui perubahan didalam perilaku negara dan bukan perubahan didalam negara itu sendiri. Asumsi yang kedua adalah bahwa neoliberalisme menerima bahwa kepentingan dan identitas suatu negara tergenerasikan oleh sistem anarki internasional. Sedangan asumsi yang ketiga adalah bahwa neoliberalisme membatasi pengertian secara teoritis dari perubahan dalam agen dan struktur, sebab neoliberalisme hanya mengkaji perubahan dalam perilaku, tetapi tidak dalam identitas dan kepentingan aktor (Zehfuss, 2002).

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa konstruktivisme merupakan salah satu varian dan alternatif baru dalam melihat, menjelaskan, dan memahami hubungan internasional. Kontribusi konstruktivisme tidak hanya terbatas pada ilmu hubungan internasional saja, namun juga meluas pada tataran ilmu filsafat yang mencoba menunjukkan bahwa kebenaran atau realitas adalah sesuatu yang constructed, bukan given. Berbagai teori-teori hubungan internasional yang telah mapan seraya digoyahkan kemapanannya dengan berbagai kritikan dari konstruktivis terhadapnya. Hal ini menjadikan teori konstruktivis begitu distinct diantara teori-teori yang lain dalam hubungan internasional.





Referensi :



Ashley, Richard. 1988. Untying the Sovereign State. Millenium: Journal of International Studies.

Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Studies.

Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Oxford University Press : New York

Keohane, Robert. 1989. International Institutions: Two Approaches. International Studies Quarterly. Vol. 32. No. 4. (Dec., 1988), hal 392.

Wendt, Alexander. 1992. Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics. International Organization.

Zehfuss, Maja. 2002. Constructivism in International Relations : The Politics of Reality. Cambridge University Press.

Rasionalisme, English School, dan Posisi Perspektifnya

Dalam perkembangan studi hubungan internasional, muncul berbagai perspektif yang mencoba menghadirkan aternatif perspektif yang dapat digunakan untuk memandang fenomena hubungan internasional. Rasionalisme hadir sebagai produk dari English School yang kemudian mencoba untuk memberikan kritikan terhadap dua teori mainstream. Rasionalisme pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan yang mendasari berbagai perspektif teoretis. Rasionalisme muncul dalam bentuk pemikiran realisme ataupun liberalisme, yang merupakan dua perspektif teoretis utama dan saling bertentangan dalam studi hubungan internasional. Jika realisme menggambarkan secara pesimis tentang politik internasional sebagai kompetisi antar negara yang terus-menerus untuk mencapai kekuasaan dan keamanan, maka sebaliknya liberalisme melihat politik internasional secara optimis dengan kemungkinan untuk membangun sebuah tatanan dunia yang didasarkan pada aturan hukum, diplomasi terbuka, dan keamanan kolektif.

Dalam terminologi Martin Wight yang merupakan salah seorang tokoh utamanya, English School merupakan “via media” antara realisme dan liberalisme yang mana perspektif ini berada di tengah-tengah antara kedua perspektif tersebut (Linklater, 2005). Namun, English School bukan sebagai sebuah perspektif teoretis yang berusaha untuk mengkombinasikan realisme dan liberalisme, melainkan English School memiliki nilai-nilai penting dari kedua perspektif teoretis yang berbeda tersebut. Layaknya realisme, English School mengakui eksistensi keadaan anarki dalam hubungan internasional. English School juga percaya setiap negara harus mengupayakan sendiri keamanan dan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, konflik seringkali terjadi di antara negara-negara yang sama-sama mengejar kepentingan mereka. Tetapi, English School tidak mengidentikkan kondisi anarki dengan kondisi perang. Ada tatanan dalam hubungan internasional. Disamping itu, para pendukung English School menekankan perlunya reformasi global sehingga memungkinkan tercapainya keadilan sosial internasional dan perlindungan hak asasi manusia.

Hedley Bull berhasil menggambarkan karakter English School sebagai sebuah perpektif teoretis dengan posisi sebagai via media melalui karyanya dengan judul yang nampak paradoks, The Anarchical Society (1977). Dalam buku tersebut, Hedley Bull berusaha menunjukkan bahwa hubungan internasional tidak semata-mata menggambarkan asumsi-asumsi realis, melainkan juga memiliki aspek-aspek kosmopolitan, yakni pemikiran yang melihat individu sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan daripada bagian dari sebuah komunitas politik tertentu. Dengan memperkenalkan konsepsi masyarakat internasional, English School memberikan pembedaan dirinya dari realisme yang melihat hubungan internasional sebagai perjuangan menggapai kekuasaan (struggle for power) semata-mata dalam kerangka sistem internasional. Konsep masyarakat internasional juga membedakan English School dari liberalisme yang cenderung menganggap tatanan dunia saat ini sebagai langkah awal bagi terbentuknya sebuah komunitas politik universal yang akan menjamin keadilan bagi seluruh umat manusia.

English School menempatkan masyarakat internasional sebagai sebuah kategori yang lebih ideal yang memungkinkan terpenuhinya keadilan bagi setiap individu. Lebih konkritnya, English School begitu menaruh perhatian pada upaya-upaya untuk mengubah sistem internasional ke arah masyarakat internasional yang meliputi bagaimana norma-norma dan institusi-institusi dikembangkan untuk mencegah kecenderungan penggunaan kekuatan yang terpusat. Tatanan (order) dan keadilan (justice) merupakan dua tujuan esensial yang seringkali sulit untuk dikombinasikan dalam upaya transformasi menjadi masyarakat internasional. Konflik antara keinginan untuk mencapai tatanan dan keadilan tetap berlangsung sampai sekarang. Konflik antara keinginan untuk membangun tatanan dan mencapai keadilan juga muncul dalam kaitannya dengan perbedaan gagasan mengenai keadilan. Pada kondisi ini, upaya untuk memaksakan sebuah konsepsi keadilan kepada anggota masyarakat yang lain cenderung memperlemah upaya untuk membangun masyarakat internasional. Oleh karena itu, posisi English School cenderung menolak dua prinsip yang saling bertentangan: universalisme dan relativisme, yang pertama menggambarkan pemikiran mengenai kesatuan nilai, yang kedua menggambarkan partikularisme nilai. English School juga memberikan penekanan pada penghargaan kepada pluralitas tanpa terjebak pada relativitas nilai dan menekankan pentingnya nilai dominan untuk memahami dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berbeda.

Pembahasan mengenai konlik antara tatanan dan keadilan ini merupakan isu yang sangat fundamental bagi para pendukung English School karena transformasi ke arah masyarakat internasional sedang berlangsung yang berkaitan dengan perluasan konsepsi masyarakat internasional ke luar masyarakat Eropa (Bull and Watson, 1984). Walaupun berbagai negara di luar Eropa telah mengadopsi berbagai norma dan institusi tertentu yang dibangun atau berkembang di Eropa, banyak di antara negara-negara tersebut yang menolak norma dan institusi lain yang juga berkembang di Eropa, yang disebutnya sebagai “revolt against the West.“ Bull (dalam Linklater, 2005) mengidentifikasi lima bentuk revolusi terhadap Barat oleh negara-negara di luar Eropa. Pertama, perjuangan untuk memperoleh kesamaan status sebagai negara berdaulat, seperti yang ditujukkan oleh Cina dan Jepang. Kedua, perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan yang berlangsung di banyak daerah-daerah koloni atau jajahan. Perjuangan ini menggambarkan revolusi politik. Ketiga, revolusi rasial untuk menentang perbudakan dan perdagangan budak sebagai bentuk supremasi rasial. Keempat, revolusi ekonomi untuk menentang berbagai bentuk ketidakmerataan serta eksploitasi akibat sistem perdagangan dan keuangan global yang didominasi Barat. Kelima, revolusi kultural, yakni penolakan terhadap bentuk-bentuk imperialisme kultural. Upaya-upaya universalisasi konsepsi hak azasi manusia yang didasarkan pada individualme liberal, misalnya, secara jelas menggambarkan revolusi kultural ini. Revolusi-revolusi terhadap Barat ini pada dasarnya menggambarkan prinsip-prinsip yang sangat berbeda. Sementara revolusi terhadap Barat dalam bentuknya yang pertama sampai keempat menggambarkan keinginan negara-negara bukan Barat untuk menyamai Barat dengan membentuk norma-norma dan institusi-institusi yang berkembang di Barat seperti kedaulatan, kebebasan ataupun kesederajadan, prinsip kelima menggambarkan penolakan terhadap nilai-nilai lain yang juga berkembang di Barat. Karena revolusi-revolusi ini, dalam berbagai bentuknya yang berbeda, terus berlangsung, sulit untuk membayangkan hasil akhir dari perjuangan melawan Barat ini dalam kaitannya dengan berkembangnya sebuah masyarakat internasional yang bersifat global.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa English School yang membawa pemikiran rasionalisme telah memposisikan dirinya dengan memunculkan perbedaan antara perspektifnya (rasionalisme) dengan realisme dan liberalisme dengan menjunjung tinggi masyarakat internasional sebagai sesuatu yang diharapkan dapat terwujud. Namun hal ini menjadikan dirinya seolah-olah tidak bisa menjustifikasi posisinya dalam menganalisa hubungan internasional karena sebenarnya masih banyak lagi hal-hal substansial yang harus dikaji seperti hubungan antara moral dan teori politik yang dihadirkan secara parsial sehingga kurang bisa dijadikan sebagai pendirian yang normatif.





Referensi



Bull, H. 1997. The Anarchical Society : A Study of Order in World Politics. London

Bull, H. and Watson, A. 1984. The Expansion of International Society. Oxford

Linklater, Andrew. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Palgrave Camillan.

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Minggu, 23 Mei 2010

Postmodern Strategy

Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 memberikan warna baru dalam dunia militer khususnya peperangan pasca berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang ini, yang pada implementasinya di lapangan, tidak lagi bergantung pada pasukan dan persenjataan, namun lebih mencoba mendayagunakan teknologi dan kendali jarak jauh serta pencitraan besar-besaran oleh media sehingga dapat berdampak secara psikologis. Hal ini tentu saja kontras dengan perang pada era klasik modern dimana lebih mendayagunakan pasukan, kekuatan militer, dan persenjataan yang kian rumit dan canggih secara aktual di medan pertempuran. Keadaan ini secara perlahan menunjukkan adanya perubahan strategi perang dari masa modern menjadi strategi perang pada era posmodern. Perang teluk menjadi tepat untuk dijadikan salah satu contoh dari perang posmodern karena di dalamnya terdapat berbagai perbedaan dengan perang-perang sebelumnya pada era modern. Sebelum masuk pada bahasan perbedaan antara antara strategi perang modern dan strategi perang posmodern, maka akan dibahas tentang latar belakang dan kondisi masing-masing perang pada masing-masing era.

Pada era modern, dimana oleh Clausewitz, perang dimaknai sebagai kontinuitas dari politik dalam bentuk lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Perang juga dimaknai sebagai pendayagunaan segala kemampuan dan sumber daya untuk mencapai sebuah tujuan politik (Clausewitz, 1780-1831). Dengan demikian, latar belakang dari perang modern tidak lain adalah kepentingan politik yang kemudian dilanjutkan dengan pendayagunaan militer untuk mempermudah pencapaian tujuannya. Perkembangan persenjataan canggih seperti rudal balistik hingga nuklir juga menjadi salah satu sumber kekuatan dan pertimbangan dalam penyusunan strategi pada perang modern. Sederhananya, strategi perang yang berkembang pada era modern ini tidak lain adalah sebagai sebuah alat atau bentuk lain sebagai kelanjutan dari politik untuk mencapai tujuan secara militer. Dengan demikian, strategi menjadi jembatan antara politik dan militer karena strategi mampu mendekatkan politik dan militer kepada tujuan akhir.

Namun, perang seperti ini berubah seiring runtuhnya Uni Soviet sebagai pesaing utama Amerika Serikat. Sumber kekuatan dalam perang modern berupa pasukan dan kekuatan militer agaknya mulai tereduksi dengan hadirnya teknologi informasi yang berkembang begitu pesat. Penemuan GPS dan teknologi lainnya membuat perang bisa dilakukan dengan kontrol jarak jauh sehingga peperangan akan lebih berifat virtual, tidak lagi aktual (Sesandi, 2009). Jarak dan waktu bukan menjadi masalah ketika teknologi dan informasi hadir di tengah-tengah peperangan yang pada akhirnya digunakan sebagai salah satu faktor dalam perang. Dengan tidak adanya perang secara langsung ini memberikan keuntungan yaitu dapat mengurangi biaya untuk melakukan peperangan dan juga dapat meminimalisir jatuh dan meluasnya korban jiwa. Penggunaan robot dan teknologi canggih lainnya sebagai pengganti manusia dalam perang merupakan contoh yang sangat nyata.

Peran media juga menjadi begitu sentral ketika media telah berkembang secara signifikan dan pada akhirnya digunakan sebagai alat untuk menyebarkan propaganda dan teror yang nantinya media sangat berperan dalam mengkonstruksi efek psikologis bagi lawan yang diserang. Selain berusaha mematahkan lawan, sebenarnya tujuan awal dari perang ini adalah dengan memainkan persepsi lawan untuk bergabung dengan kita karena mengajak seseorang untuk bergabung adalah lebih mudah dan murah daripada membunuhnya. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa senjata dalam perang postmodern adalah estimasi, persepsi, definisi karena itu media merupakan senjata yang penting dalam perang postmodern (Maria, 2009).

Dengan demikian, adanya perbedaan keadaan dari era modern dan era posmodern ini lah yang memicu adanya strategi posmodern sebagai jawaban atas dunia yang telah berubah.

Critical Theory : Kritisasi Terhadap Teori Tradisional

Seiring dengan perkembangannya, ilmu hubungan internasional dibangun atas teori-teori yang terus bermunculan sebagai hasil dari perdebatan yang terus berlangsung. Masing-masing teori dibangun dengan asumsi dasar yang berbeda-beda sehingga mereka memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi distinct dengan teori yang lain. Dalam perjalanannya, dua teori besar telah dan terus berkembang sampai sekarang, realisme dan liberalisme beserta turunannya : neorealisme dan neoliberalisme. Dua teori dan turunannya ini begitu mendominasi para penstudi hubungan internasional. Namun, teori-teori ini tidak begitu saja berdiri tegak dengan segala kemapanannya. Ada sebuah teori yang kemudian mencoba untuk mengkritisi dua teori yang telah mapan ini, mencoba melihat dan menggali sisi lain dari hal-hal yang tidak terjangkau oleh dua teori pendahulunya. Para pemikir teori ini menamakan teori yang dianutnya sebagai teori kritis. Jackson dan Sorensen (1999) mengkategorikan teori kritis dalam kategori teori-teori pospositivis dalam hubungan internasional.

Teori kritis ini dibangun dari studi sosial yang berusaha membedakan pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Horkheimer menjelaskan bahwa pengetahuan tradisional memiliki beberapa karakteristik yaitu adanya pemisahan antara obyek dan subyek sehingga teori yang didapat bisa tepat, ada dunia eksternal di luar studi, dan bersifat bebas nilai. Hal ini berebda dengan karakteristik pengetahuan kritis yaitu, menolak sistem analisis bebas nilai, mengijinkan adanya uji tujuan dan fungsi dari teori tertentu, menempatkan orientasi dari konteks sosial dalam situasi yang ditentukan, serta menjunjung aspek emansipasi dari pada berpijak pada konsolidasi atau legitimasi (Devetak, 2005). Pada tahun 1937, teori kritis semakin populer dengan hadirnya “Frankfurt School of Thought” yang terdiri dari beberapa teoritisi kritis, antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Teoritisi HI kritis yang paling populer adalah Robert Cox dan Andrew Linklater. Mereka dengan tegas menolak tiga postulat dasar positivisme, yaitu : realitas eksternal obyektif, perbedaan subyek/obyek, dan ilmu sosial bebas nilai (Jackson dan Sorensen, 1999).

Salah satu bagian dari teori kritis adalah marxisme dan neomarxisme. Pada dasarnya pemikiran marxisme dan neomarxisme tidak memiliki banyak perbedaan siginifikan. Pendekatan yang digunakan neomarxisme sebagai turunan dari marxisme ini hanya berbeda dalam hal aktor dan struktur. Asumsi dasar neomarxisme pada dasarnya adalah sama dengan asumsi dasar dari marxisme itu sendiri. Bila dikaitkan dengan perkembangan neomarxisme, teori kritis berorientasi pada perubahan progresif dan keinginan idealisme dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Teori kritis HI mencari pengetahuan untuk tujuan politis, yaitu untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang ”menekan” dan dikendalikan oleh kelas hegemon seperti Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global kelas negara kaya di belahan Utara dunia atas kelas negara miskin yang mayoritas berada di Selatan dunia. Oleh karena itu, tak jarang bila teori kritis sering dikaitkan dengan teori Ekonomi Politik Internasional (Jackson dan Sorensen, 1999).

Perwujudan dari teori kritis ini ada yang berupa pemikiran neomarxisme yang kemudian hadir untuk memberikan ktirik terhadap dua teori lain yang telah mapan, neorealisme dan neoliberalisme. Ada dua teori yang digunakan dalam mengkritik neorealisme yaitu yang pertama adalah idealisme-liberalisme yang dibawa oleh Robert O. Keohane dan Teori Kritis-Marxisme yang dibawa oleh Robert Cox (Fienberg, 1995). Namun, Robert Cox dalam kritiknya terhadap neorealisme, memberikan suatu kritikan yang dibangun dengan metodologi kritis yang kemudian menjadi kritikan yang lebih memiliki ciri khas sendiri daripada sekedar kritik yang diajukan oleh orang neoliberal. Dalam konstruksi pemikiran Cox, ia sangat meyaini bahwa tidak pernah ada suatu teori pun yang mampu mencapai suatu konsep yang dinamakan sebagai kebenaran sejati, dimana neorealis dan juga neoliberalis (kaum tradisionalis pada umumnya) justru setuju bahwa kebenaran sejati telah berhasil mereka capai dalam setiap asumsi-asumsi yang mereka miliki. Inilah yang menjadi poin paling esensial yang disampaikan oleh Robert Cox dalam mengkritik neorealisme, ketika Cox menanyakan tentang outright objectivity yang diajukan oleh neorealisme. Dengan perspektif marxismenya, Cox menyatakan bahwa konsep kebenaran sejati hanya akan dapat dicapai jika seseorang mengetahui apa yang diperbuatnya dan memahami apa yang diperbuatnya, dan menerima bias atas apa yang sedang diperbuatnya (Cox, 1981). Di sisi lain, Robert Cox juga menolak konsep moralitas yang juga dibawa oleh neorealis. Moralitas menurut asumsi Cox, akan menyebabkan adanya suatu pemikiran tentang adanya suatu kebenaran. Seperti yang telah diuraikan diatas, Cox mengklaim bahwa dirinya telah mencapai apa yang ia sebut sebagai kebenaran dengan menerima bias pernyataanya sendiri dan menyatakan pernyataanya itu. Menurut standarisasi yang dibuatnya sendiri, menurut Cox, dirinya telah mencapai apa yang disebut sebagai kebenaran dan mengklaim bahwa apa yang dikatakanya adalah sesuatu yang benar.

Sebagai sebuah teori yang dibangun dengan pemikiran yang kritis, teori kritis mampu menajadi pemikiran alternatif yang berupaya memberikan sentuhan dan warna baru ada teori-teori tradisional yang telah mapan dalam hubungan internasional, realisme dan liberalisme. Secara metodologis, teori kritis tidak berfokus pada bagaimana mempeajari fenomena hubungan internasional, namun lebih untuk memahami fenomena tersebut dengan lebih mendekatkan pada fenomena-fenomena kompleks yang cenderung tidak bisa dijelaskan oleh teori-teori pendahulunya. Teori kritis juga berusaha menyadarkan kepada para semua penstudi sosial khususnya hubungan internasional bahwa sesuatu yang bersifat sosial tidak memiliki konsep kebenaran mutlak. Nilai-nilai universalitas yang diusung oleh teori pendahulunya mencoba dipatahan dengan menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan sosial bersifat parsial dan tidak akan pernah lepas dari pemikiran yang bersifat ideologis dari para pemikirnya sehingga menyebabkan hal tersebut tidak bebas nilai.

Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis tidak selamanya menguntungkan. Teori kritis cenderung dibangun tanpa adanya tahapan analisis yang jelas karena hanya berangkat dari teori yang telah ada ada kemudian dikritik. Teori kritik juga tidak menyajikan sebuah solusi aka sesuatu yang telah dikritiknya. Akibatnya, teori kritis tidak mampu mengambil sikap dalam menentukan relativitas dan netralisasi aksi politis. Penentangan bebas nilai memang diagungkan oleh teori kritis, namun yang menjadi kendala ialah bagaimana keputusan mereka dalam mensubstansikannya dengan kajian riset dan keilmuan? Jika teori-teori yang ada dalam hubungan internasional merupakan teori yang tidak bebas nilai, maka sebenarnya hubungan internasional bahkan ilmu politik itu sendiri tidak pernah ada sebagai suatu ilmu pengetahuan dan tidak lebih dari sekedar hasil pemikiran politis biasa.





Referensi :



Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Relations Studies.

Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Plagave Camillan.

Fienberg, Howard. 1995. Keohane’s Realisme and Its Critics. http://www.hfienberg.com/irtheory/neorealism.html diakses pada 19 Mei 2009

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Kritis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Selasa, 18 Mei 2010

Neoliberal Empire : Dominasi Baru Dalam Globalisasi Pasca Tragedi 11 September

Globalisasi yang akhir-akhir ini kerap kali digembor-gemborkan keberadaannya telah berkembang begitu pesat. Implikasi dari proses globalisasi yang terjadi sekarang tidak hanya meliputi bertambah pesatnya kemajuan dalam hal teknologi dan perdagangan saja, melainkan telah merambah pada perubahan tatanan dunia. Spirit neoliberalisme begitu kental terasa dalam proses globalisasi. Adanya spirit globalisasi yang begitu kental menyebabkan globalisasi lebih mengarah kepada isu-isu ekonomi seperti perdagangan bebas dan kerjasama baik bilateral maupun regional. Sejak perang dingin berakhir hingga tahun 2002, peran WTO begitu penting dalam menjalankan perekonomian dunia dalam semangat neoliberalisme sebagai manifestasi globalisasi. Promosi mengenai perdagangan bebas yang digaungkan Amerika Serikat begitu gencar dilakukan untuk memperlancar neoliberalisasi. Politik luar negeri Amerika Serikat bahkan diarahkan kepada isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan finansial dan pasar. Pada masa ini, perkembangan globalisasi kemudian disebut sebagai neoliberal globalization. Namun, hal tersebut mulai berubah semenjak adanya serangan 11 September ke WTC yang pada saat itu merupakan simbol kekuatan ekonomi Amerika Serikat. Serangan 11 September serta merta membuat Amerika Serikat marah dan mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk terorisme. Amerika Serikat menuduh Al-Qaeda sebagai pelakunya dan semenjak saat itu Amerika Serikat menyatakan perang kepada terorisme.

War on Terrorism yang kerap dikumandangkan Amerika Serikat sering kali dijadikan alat legitimasi dan justifikasi dalam setiap tindakannya. Yang paling hangat dalam ingatan adalah ketika Amerika Serikat melancarkan invasi ke Irak dan Afghanistan dengan dalih memerangi terorisme. Tindakan Amerika Serikat yang seakan terlalu paranoid ini justru kemudian lebih menjurus pada pendudukan. Era ini selanjutnya disebut sebagai neoliberal empire, babak baru dari globalisasi. Disebut sebagai neoliberal empire karena merupakan osmosis dari neoliberalism dan empire. Neoliberalism selalu berkaitan dengan bisnis, keuangan, dan mekanisme pasar, sedangkan inti dari empire adalah keamanan nasional dan industri militer yang kompleks (Pieterse, 2004). Keduanya melebur menjadi satu dan tersaji dalam globalisasi kontemporer. Terdapat perubahan pola-pola yang mendominasi proses globalisasi antara neoliberal globalization dan neoliberal empire. Perubahan tersebut dapat diamati dari perilaku Amerika Serikat yang selama ini menjadi pelaku utama globalisasi atau yang kemudian dikenal sebagai Amerikanisasi. Perubahan tersebut meliputi pemerintah, privatisasi, pola perdagangan, dan hal-hal yang kerap dikumandangkan dan dipromosikan olehnya.

Pola perubahan pertama dapat diamati dari pemerintahan Amerika Serikat. Secara filosofis, pemerintahan neoliberalisme tidak begitu membutuhkan pemerintahan yang besar dan kompleks. Namun, serangan 11 September telah menunjukkan bahwa Amerika Serikat ternyata masih memiliki pemerintahan dan sistem pertahanan yang lemah. Oleh karena itu Amerika Serikat kemudian memperkuat sistem pemerintahan dan pertahanannya. Departemen Keamanan Dalam Negeri menjadi salah satu contoh dari perbaikan sistem pemerintahan dan pertahanan pasca tragedi 11 September. Ekspansi dalam bidang militer dan intelejen, sistem keamanan, dan propaganda kebijakan juga menjadi contoh lain bahwa perubahan memang benar-benar terjadi (Pieterse, 2004).

Pola perubahan kedua adalah adanya privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Privatisasi merupakan manifestasi dari neoliberal globalization yang ditujukan pada bidang ekonomi dan bisnis. Privatisasi dan komersialisasi bahkan semakin merambah dalam bidang politik. Money politic kerap kali terjadi menghilangkan akuntabilitas dari bisnis tersebut, dimana akuntabilitas merupakan ciri alami dari sebuah bisnis yang diprivatisasi. Banyak kebijakan yang kerap kali dianggap tidak begitu tepat namun dapat lolos dari birokrasi dan pada akhirnya dapat teratifikasi sebagai kebijakan. Pada era neoliberal empire, privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah semakin merambah ke bidang pertahanan dan militer. Serangan 11 September menjadi pemicu dan pelecut Amerika Serikat untuk lebih meningkatkan sistem keamanan dan keamanannya dengan cara menggandeng perusahaan swasta untuk menopang industri militer negara tersebut. Hal ini dilakuakan untuk mendukung kebijakan war on terrorism yang digaungkan oleh Amerika Serikat. Privatisasi militer yang kemudian sebagian dipegang oleh swasta termanifestasi oleh adanya pelayanan pelatihan tentara luar negeri hingga jaminan keamanan Presiden Karzai di Afghanistan. Semua hal tersebut dilakukan oleh kontraktor swasta seperti DynCorp dan MPRI (Pieterse, 2004). Tidak hanya berhenti di sini, pemerintah juga menggandeng swasta dalam upaya restrukturisasi Irak yang juga dilakukan tanpa adanya akuntabilitas publik yang jelas.

Pola perubahan ketiga adalah dalam bidang perdagangan. Perdagangan bebas telah menjadi agenda utama dalam globalisasi. WTO menjadi institusi internasional yang menjalankan peran dominan dalam setiap perdagangan internasional. Amerika Serikat sebagai negara dengan industri maju merupakan salah satu pelaku perdagangan bebas internasional. Namun ketika pemerintahan Amerika Serikat berkeyakinan bahwa perdagangan lebih dari sekedar efisiensi ekonomi, namun lebih kepada peran Amerika dalam tatanan internasional. Dengan demikian, Amerika Serikat hanya akan menjalankan perdagangan bebas jika hal tersebut tidak mengganggu kepentingannya (Pieterse, 2004). Hal ini kemudian menimbulkan benturan dengan WTO sebagai pemegang peran dalam perdagangan internasional. Amerika Serikat kini lebih cenderung melakukan kerjasama menyangkut perdagangan bebas secara bilateral maupun regional. Dengan demikian Amerika Serikat lebih bisa memaksimalkan perannya untuk mencapai kepentingan nasionalnya dalam perdagangan internasional.

Pola perubahan keempat adalah adalah promosi yang digencarkan oleh Amerika Serikat. Membawa semangat neoliberalisme, Amerika Serikat sangat gencar mempromosikan kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat benar-benar memiliki peran dan pengaruh dalam konstelasi internasional. Namun, sekali lagi, serangan 11 September benar-benar telah merubah segalanya. Amerika Serikat yang sebelumnya sangat gencar dalam mempromosikan kerjasama seketika merubah arah promosinya. War on terrorism menjadi bahan promosi yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Pieterse, 2004). Bahkan hal tersebut telah menjelma menjadi alat legitimasi dan justifikasi bagi setiap kebijakan Amerika Serikat yang berkaitan dengan perang terhadap terorisme. Invasi terhadap Irak dan Afghanistan yang disebut-sebut untuk memerangi terorisme sepertinya telah berubah orientasi menjadi pendudukan dan pengeksploitasian kedua negara tersebut mengingat kedua negara itu memiliki cadangan minyak yang besar. Namun, Amerika Serika tetap menggunakan dalih war on terrorism sebagai dalih dari tindakannya padahal tindakanya telah menjurus pada imperialisme.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa telah terjadi pembelokan dari neoliberal globalization menjadi neoliberal empire. Invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan dengan mengatasnamakan war on terrorism telah menyimpang dari tujuan awalnya. Pendudukan lahir sebagai sesuatu yang berbeda dari era globalisasi yang dibawa oleh Amerika Serikat sebelumnya. Inilah mengapa periode ini kemudian disebut sebagai neoliberal empire, dimana nilai-nilai neoliberal masih ada namun teraplikasikan dalam bentuk yang berbeda dimana perubahan tersebut dikarenakan serangan 11 September yang begitu mencengangkan.


Referensi

Pieterse, Jan Nederveen. 2004. Neoliberal Empire, dalam Globalization or Empire?. London: Routledge

Kamis, 13 Mei 2010

“The presidency requires the constitution of an athlete, the patience of a mother, and the endurance of an early Christian” (Woodrow Wilson)

Rakyat Amerika Serikat memiliki harapan yang begitu besar kepada setiap presiden yang memimpin mereka. Seperti yang disampaikan oleh Thomas Cronin, rakyat Amerika membutuhkan pemerintahan pusat dan kepresidenan yang kuat, namun mereka juga khawatir jika pemerintahan justru hanya menyebabkan “American King”. Harapan-harapan mereka terhadap presiden terkadang bersifat kontradiktif. Contohnya adalah mereka menginginkan presiden mereka menjadi seorang inspirator yang dapat mengangkat harapan rakyatnya, namun terlalu banyak inspirasi hanya akan menjadikan angan-angan saja dan cenderung semu. Rakyat Amerika juga menginginkan presiden yang biasa saja namun memiliki kinerja yang luar biasa dan kompeten. Pada intinya, rakyat Amerika menginginkan seorang presiden yang bersahaja namun memiliki kinerja yang luar biasa. Keseimbangan ini merupakan sesuatu hal yang sulit untuk dicapai.

Berkaitan dengan segala harapan yang ada pada setiap rakyat Amerika terhadap presidennya, presiden Amerika memiliki peran yang beragam. Presiden Amerika dapat beperan kepala negara yang bertugas untuk memimpin beragam upacara kenegaraan, berperan sebagai kepala eksekutif yang bertugas mengawasi kinerja Federal Bureaucracy, berperan sebagai kepala diplomat yang bertugas untuk bertemu para duta besar dan membuat kesepakatan, berperan sebagai pusat komando yang bertugas untuk menentukan langkah-langkah para jendral dan kaptennya dalam militer, berperan sebagai pengatur kesejahteraan yang bertugas untuk mengalokasikan dana bagi kemakmuran rakyatnya, dan berpera sebagai pemimpin partai yang bertugas untuk mengkampanyekan partainya. Keadaan demikian sering kali menimbulkan konflik peran yang overlap satu sama lain misalnya saat presiden berperan sebagai seorang diplomat yang idealnya memperjuangkan kepentingan negara, bukan hanya kepentingan golongan atau partainya saja. Tugas presiden memang banyak, namun diharapkan presiden tetap menjunjung tinggi kepemimpinan. Pendayagunaan sumber-sumber dan kerjasama harus benar-benar dimaksimalkan dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan yang ada. Setidaknya inilah uraian dari apa yang disampaikan Woodrow Wilson, bahwa sebenarnya presiden memiliki banyak peran yang mungkin kontradiktif dan dapat menimbulkan konflik peran dikarenakan adanya overlapping dalam tugasnya. Namun, hal ini tidak menjadikan presiden dapat bertindak di luar hukum dan keadilan, karena bagaimanapun juga keadilan harus tetap dijunjung tinggi dan ditegakkan.



Referensi :



Melusky, Joseph. 2000. The American Political System : An Owner’s Manual. McGraw-Hill Higher Education.

Rabu, 12 Mei 2010

Kebijakan Luar Negeri dan Elemen Penyusunnya

Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Walker Bush menetapkan kebijakan luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT). Dalam kebijakan luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat menetapkan kebijakan keamanan ekstra ketat di dalam negeri, menyeleksi secara ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang sejalan dengan kebijakan luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu. Tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat inilah yang dinamakan sebagai kebijakan luar negeri. Sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana kebijakan luar negeri itu dibuat, marilah kita memulai dengan definisi dari kebijakan luar negeri itu sendiri. Carlton Clymer Rodee et al. mendefinisikan Kebijakan Luar Negeri sebagai :




“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain … [yaitu] bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan internasional.”



Dengan demikian, kebijakan luar negeri adalah suatu hal yang sangat esensial bagi suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Menurut Coulombis dan Wolfe, kebijakan luar negeri dijabarkan sebagai suatu sintesis dari kepentingan nasional yang bergantung pada power dan kapabilitas suatu negara. Hal inilah yang membuat kebijakan ini lebih penting daripada kebijakan lain karena kebijakan ini membawa tujuan untuk mencapai kepentingan nasional yang merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu negara. Power dan kepentingan nasional memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebijakan luar negeri. Power dan kebijakan luar negeri dapat dilihat melalui dua keadaan. Keadaan pertama yaitu dengan memposisikan power sebagai tujuan dan kebijakan luar negeri sebagai alat untuk mencapainya. Kebijakan luar negeri yang dibangun berdasarkan kepentingan nasional digunakan untuk mencapai power yang lebih tinggi atas negara atau aktor lain. Keadaan kedua adalah dengan memposisikan power sebagai instrumen yang digunakan secara bersamaan dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional. Hal ini menunjukkan fleksibilitas hubungan antara kebijakan luar negeri, power, dan kepentingan nasional.

Kebijakan luar negeri disusun oleh negara dengan dasar kepentingan nasional dan dengan memperhatikan kapabilitas dari negara tersebut. Secara garis besar terdapat lima elemen analisis penting yang sangat mempengaruhi penyusunan kebijakan luar negeri. Rosenau menjabarkan lima elemen analisis ini adalah individu, kelompok, birokrasi, sistem nasional, dan sistem global.

Kapasitas individu yang dalam hal ini merupakan pemimpin negara sangat mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara. Behavior dari individu dalam hal ini presiden akan sangat dipengaruhi oleh ideosinkretis dan pertimbangan rasional dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Ideosinkretis adalah segala hal yang berkaitan dengan ideologi, kepercayaan, dan budaya. Ideosikretis dan pertimbangan rasional dapat mempengaruhi psikologis para pengambil kebijakan. Dominasi individu sebagai pemimpin negara akan sangat terlihat dominan dalam pengambilan kebijakan luar negeri pada negara-negara yang bersistem otoriter dan sosialis. Contohnya adalah peran Kim Jong Il yang begitu dominan bagi rakyat Korea Utara karena negara ini menganut sistem otoriter sehingga begitu mencerminkan setiap tindakan Korea Utara dalam pengambilan kebijakan luar negerinya.

Pengaruh individu dalam pengambilan kebijakan dapat terlihat sangat jelas jika negara tersebut menganut sistem otoriter dan sosialis. Namun jika yang menjad objek adalah nera demokrastis, maka ada variabel lain yang juga sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri. Kelompok adalah faktor lain di luar individu. Baik kelompok kepentingan, kelompok penekan, atau kelompok lain yang memiliki posisi strategis dan kepentingan tertentu di pemerintahan dapat mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara. Contohnya adalah ketika Indonesia memberikan dukungan kepada AS mengenai penghentian nuklir Iran, FPI bereaksi dan mendesak agar Indonesia membatalkan dukungan tersebut dan pada akhirnya Indonesia membatalkan dukungan kepada AS.

Kelompok kepentingan yang merupakan representasi dari opini publik yang tersalurkan melalui media akan berubah menjadi kelompok penekan bila mereka merasa bahwa aspirasinya tidak dapat tersalurkan dengan baik. Mereka juga tidak bisa memaksakan begitu saja kepada pemerintah agar mengikuti keinginan mereka. Dengan demikian terjadi proses antara beberapa pihak yang berkepentingan dalam penyusunan kebijakan luar negeri ini melalui pendekatan birokratis. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Allison dalam melihat kasus krisis Kuba. Penempatan rudal di Kuba bukanlah hasil dari keputusan Reagan atau Kruschev semata, namun lebih karena ada proses birokrasi. Dalam pendekatan ini, kebijakan luar negeri bukan merupakan produk rasionalitas individu saja, melainkan terdapat proses kompromi, bargaining, dan adjustment.

Berkaca pada salah satu dasar dari kebijakan luar negeri adalah kepentingan nasional, maka dalam penyusunan kebijakan, segala faktor yang ada di dalam negeri menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting. Elemen-elemen kekuatan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan kekuatan militer menjadi aspek kalkulasi kebijakan. Kondisi dalam negeri meliputi keadaan politik dan pertumbuhan ekonomi juga merupakan faktor penting dalam penyusunan kebijakan. Misalnya pengambilan kebijakan Indonesia dengan Vietnam tentang barter beras dengan tank tank milik Indonesia. Kondisi saat itu adalah Indonesia sedang mengalami krisis beras sehingga kita sangat membutuhkan beras dari Vietnam, sedangkan Indonesia memiliki pabrik pembuat tank yang hasilnya dapat dibarterkan dengan Vietnam.

Seperti namanya, kebijakan luar negeri, maka kebijakan ini ditujukan kepada segala sesuatu yang berada di luar suatu negara. Selain memperhitungkan kondisi internal suatu negara, penyusunan kebijakan luar negeri juga perlu mempertimbangkan kondisi eksternal negara yaitu sistem global atau internasional. Kebijakan luar negeri dapat berupa reaksi dari apa yang terjadi dalam sistem internasional. Contohnya adalah kebijakan Korea Utara mulai membuka diri untuk berunding kembali mengenai proliferasi nuklirnya ketika mendapatkan banyak desakan internasional kepada Korea Utara padahal Korea Utara sempat tidak mau untuk berunding kembali.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima elemen yang esensial dalam penyusunan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional dari suatu negara. Namun, sebenarnya ada satu elemen lagi yaitu eksistensi organisasi atau institusi internasional yang juga dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Misalnya, Indonesia yang telah tergabung dengan ASEAN akan mengarahkannya kebijakan luar negerinya terhadap hal hal yang juga menjadi perhatian bagi ASEAN.



Referensi


Rodee, Carlton Clymer, dkk. 2002. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali

Columbis, Theodore dan James H. Wolfe. 1999. Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin

Perwita, Banyu. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya

Rosenau, James. 1976. World Politics : An Introduction. New York : The Free Press

Soeprapto. 1997. Ilmu Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku. PT Raja Grafindo Persada

Strategi Nuklir dan Perkembangannya

Sejak pertama kali ditemukan, nuklir telah digunakan sebagai senjata. Senjata nuklir pertama kali digunakan pada tahun 1945 oleh Sekutu untuk menundukkan Jepang dalam Perang Dunia II. Namun, sebagai sebuah strategi keamanan, nuklir baru menemukan tempatnya pada masa Perang Dingin. Pada masa ini, ke dua Blok yang saling bertikai (Timur atau AS dan Barat atau US) menggunakan nuklir sebagai strategi pertahanan menghadapi kemungkinan serangan musuh. Dari sini lah dapat dikatakan bahwa nuklir ada sebagai salah satu strategi baru dalam hubungan internasional. Berikut ini akan dijabarkan penggunaan nuklir sebagai salah satu strategi dalam setiap jamannya.


Nuklir Sebagai Strategi Penangkalan Pada Perang Dingin

Walaupun senjata nuklir telah pernah digunakan untuk memenangkan perang, sejarah memperlihatkan bahwa sebagai sebuah persenjataan, nuklir lebih banyak digunakan sebagai instrumen penangkalan (deterrence) daripada instrumen untuk memenangkan perang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kedua Blok yang saling bertikai, pada masa Perang Dingin, memiliki kemampuan nuklir yang relatif berimbang, sehingga kedua belah pihak sama-sama merasa akan terkena dampak besar jika terjadi perang nuklir.

Di dalam strategi penangkalan (nuclear deterrence), nuklir digunakan untuk mencegah negara musuh melakukan serangan, dengan memberikan jaminan bahwa serangan tersebut akan dibalas menggunakan senjata nulir yang akan menimbulkan kerugian lebih besar dari tujuan yang hendak dicapai negara lawan. Dalam menjalankan strategi penangkalan nuklir ada beberapa asumsi pokok yang harus dimiliki:

Dalam menjalankan strategi penangkalan ada dua mekanisme yang dapat digunakan. Mekanisme pertama adalah punishment yang menitikberatkan pada penggunaan senjata ofensif dan mengandalkan serangan balik terhadap sasaran non-militer (countervalue). Keefektifan dari mekanisme ini terletak pada kemampuan menyelamatkan jumlah senjata ofensif yang dimiliki dari serangan pertama (first strike) lawan. Mekanisme kedua adalah denial yang melibatkan penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk mencegah negara lawan melakukan serangan pada kawasan yang dikuasai. Mekanisme ini menitikberatkan pada penggunaan senjata defensif dan mengandalkan serangan terhadap obyek-obyek militer (counterforce).

Strategi Nuklir Pasca Perang Dingin

Pembahasan mengenai strategi nuklir pasca Perang Dingin akan difokuskan pada strategi nuklir Amerika Serikat. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hingga kini Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara yang memiliki keunggulan nuklir.

Tumbangnya komunisme menyebabkan Amerika Serikat mengubah strategi nuklirnya. Pada tahun 1991, George Bush mengurangi secara masif jumlah persenjataan nuklirnya dengan memusnahkan senjata-senjata nuklir yang terpasang di kapal-kapal perangnya dan ribuan senjata nuklir landas daratnya, terutama yang terdapat di Jerman Barat. Tujuan dari pemusnahan ini adalah, selain merasa kemungkinan Perang Dunia Ketiga tidak akan terjadi, juga untuk mendorong para pemimpin di Uni Soviet melakukan hal yang serupa.

Tindakan ini kemudian disusul oleh tindakan-tindakan berikutnya yaitu mengenai pengurangan senjata nuklir yang beredar. Pada tahun 1994 terdapat Nuclear Posture Review (NPR). Pada tahun 1993 dan diperpanjang sampai 2007 terdapat perjanjian START (Strategic Arms Reduction Treaty). Dua perjajian ini merupakan landasan bagi AS untuk menunjukkan itikad baiknya untuk mengurangi kepemilikan nuklir demi menjaga perdamaian dan keamanan stabilitas internasional. AS juga bekerjasama dengan negara-negara bekas US untuk mencegah pengembangan nuklir akibat “kebocoran nuklir” (Butfoy, 1999).

Perbedaan sikap dan strategi AS pada saat perang dingin dengan pasca perang dingn menunjukkan bahwa hubungan tersebut benar-benar ada. Nuklir yang awalnya merupakan senjata sekarang mulai berubah menjadi sebuah strategi suatu negara.


Referensi


J. Kusnanto Anggoro, “Strategi Penangkalan Uni Soviet”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986

A.R. Sutopo, “Perkembangan Pemikiran Strategi Nuklir Barat”, Jurnal Analisa, No. 2, Tahun 1986.

Andrew Butfoy, “The Future of Nuclear Strategy” di dalam Craigh A. Snyder, Contemporary Security and Strategy, London: McMillan, 1999.