Minggu, 23 Mei 2010

Postmodern Strategy

Perang Teluk yang terjadi pada tahun 1991 memberikan warna baru dalam dunia militer khususnya peperangan pasca berakhirnya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang ini, yang pada implementasinya di lapangan, tidak lagi bergantung pada pasukan dan persenjataan, namun lebih mencoba mendayagunakan teknologi dan kendali jarak jauh serta pencitraan besar-besaran oleh media sehingga dapat berdampak secara psikologis. Hal ini tentu saja kontras dengan perang pada era klasik modern dimana lebih mendayagunakan pasukan, kekuatan militer, dan persenjataan yang kian rumit dan canggih secara aktual di medan pertempuran. Keadaan ini secara perlahan menunjukkan adanya perubahan strategi perang dari masa modern menjadi strategi perang pada era posmodern. Perang teluk menjadi tepat untuk dijadikan salah satu contoh dari perang posmodern karena di dalamnya terdapat berbagai perbedaan dengan perang-perang sebelumnya pada era modern. Sebelum masuk pada bahasan perbedaan antara antara strategi perang modern dan strategi perang posmodern, maka akan dibahas tentang latar belakang dan kondisi masing-masing perang pada masing-masing era.

Pada era modern, dimana oleh Clausewitz, perang dimaknai sebagai kontinuitas dari politik dalam bentuk lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Perang juga dimaknai sebagai pendayagunaan segala kemampuan dan sumber daya untuk mencapai sebuah tujuan politik (Clausewitz, 1780-1831). Dengan demikian, latar belakang dari perang modern tidak lain adalah kepentingan politik yang kemudian dilanjutkan dengan pendayagunaan militer untuk mempermudah pencapaian tujuannya. Perkembangan persenjataan canggih seperti rudal balistik hingga nuklir juga menjadi salah satu sumber kekuatan dan pertimbangan dalam penyusunan strategi pada perang modern. Sederhananya, strategi perang yang berkembang pada era modern ini tidak lain adalah sebagai sebuah alat atau bentuk lain sebagai kelanjutan dari politik untuk mencapai tujuan secara militer. Dengan demikian, strategi menjadi jembatan antara politik dan militer karena strategi mampu mendekatkan politik dan militer kepada tujuan akhir.

Namun, perang seperti ini berubah seiring runtuhnya Uni Soviet sebagai pesaing utama Amerika Serikat. Sumber kekuatan dalam perang modern berupa pasukan dan kekuatan militer agaknya mulai tereduksi dengan hadirnya teknologi informasi yang berkembang begitu pesat. Penemuan GPS dan teknologi lainnya membuat perang bisa dilakukan dengan kontrol jarak jauh sehingga peperangan akan lebih berifat virtual, tidak lagi aktual (Sesandi, 2009). Jarak dan waktu bukan menjadi masalah ketika teknologi dan informasi hadir di tengah-tengah peperangan yang pada akhirnya digunakan sebagai salah satu faktor dalam perang. Dengan tidak adanya perang secara langsung ini memberikan keuntungan yaitu dapat mengurangi biaya untuk melakukan peperangan dan juga dapat meminimalisir jatuh dan meluasnya korban jiwa. Penggunaan robot dan teknologi canggih lainnya sebagai pengganti manusia dalam perang merupakan contoh yang sangat nyata.

Peran media juga menjadi begitu sentral ketika media telah berkembang secara signifikan dan pada akhirnya digunakan sebagai alat untuk menyebarkan propaganda dan teror yang nantinya media sangat berperan dalam mengkonstruksi efek psikologis bagi lawan yang diserang. Selain berusaha mematahkan lawan, sebenarnya tujuan awal dari perang ini adalah dengan memainkan persepsi lawan untuk bergabung dengan kita karena mengajak seseorang untuk bergabung adalah lebih mudah dan murah daripada membunuhnya. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa senjata dalam perang postmodern adalah estimasi, persepsi, definisi karena itu media merupakan senjata yang penting dalam perang postmodern (Maria, 2009).

Dengan demikian, adanya perbedaan keadaan dari era modern dan era posmodern ini lah yang memicu adanya strategi posmodern sebagai jawaban atas dunia yang telah berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar