Minggu, 23 Mei 2010

Critical Theory : Kritisasi Terhadap Teori Tradisional

Seiring dengan perkembangannya, ilmu hubungan internasional dibangun atas teori-teori yang terus bermunculan sebagai hasil dari perdebatan yang terus berlangsung. Masing-masing teori dibangun dengan asumsi dasar yang berbeda-beda sehingga mereka memiliki sesuatu yang membuatnya menjadi distinct dengan teori yang lain. Dalam perjalanannya, dua teori besar telah dan terus berkembang sampai sekarang, realisme dan liberalisme beserta turunannya : neorealisme dan neoliberalisme. Dua teori dan turunannya ini begitu mendominasi para penstudi hubungan internasional. Namun, teori-teori ini tidak begitu saja berdiri tegak dengan segala kemapanannya. Ada sebuah teori yang kemudian mencoba untuk mengkritisi dua teori yang telah mapan ini, mencoba melihat dan menggali sisi lain dari hal-hal yang tidak terjangkau oleh dua teori pendahulunya. Para pemikir teori ini menamakan teori yang dianutnya sebagai teori kritis. Jackson dan Sorensen (1999) mengkategorikan teori kritis dalam kategori teori-teori pospositivis dalam hubungan internasional.

Teori kritis ini dibangun dari studi sosial yang berusaha membedakan pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Horkheimer menjelaskan bahwa pengetahuan tradisional memiliki beberapa karakteristik yaitu adanya pemisahan antara obyek dan subyek sehingga teori yang didapat bisa tepat, ada dunia eksternal di luar studi, dan bersifat bebas nilai. Hal ini berebda dengan karakteristik pengetahuan kritis yaitu, menolak sistem analisis bebas nilai, mengijinkan adanya uji tujuan dan fungsi dari teori tertentu, menempatkan orientasi dari konteks sosial dalam situasi yang ditentukan, serta menjunjung aspek emansipasi dari pada berpijak pada konsolidasi atau legitimasi (Devetak, 2005). Pada tahun 1937, teori kritis semakin populer dengan hadirnya “Frankfurt School of Thought” yang terdiri dari beberapa teoritisi kritis, antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas. Teoritisi HI kritis yang paling populer adalah Robert Cox dan Andrew Linklater. Mereka dengan tegas menolak tiga postulat dasar positivisme, yaitu : realitas eksternal obyektif, perbedaan subyek/obyek, dan ilmu sosial bebas nilai (Jackson dan Sorensen, 1999).

Salah satu bagian dari teori kritis adalah marxisme dan neomarxisme. Pada dasarnya pemikiran marxisme dan neomarxisme tidak memiliki banyak perbedaan siginifikan. Pendekatan yang digunakan neomarxisme sebagai turunan dari marxisme ini hanya berbeda dalam hal aktor dan struktur. Asumsi dasar neomarxisme pada dasarnya adalah sama dengan asumsi dasar dari marxisme itu sendiri. Bila dikaitkan dengan perkembangan neomarxisme, teori kritis berorientasi pada perubahan progresif dan keinginan idealisme dalam perkembangan ekonomi suatu negara. Teori kritis HI mencari pengetahuan untuk tujuan politis, yaitu untuk membebaskan kemanusiaan dari struktur politik dan ekonomi dunia yang ”menekan” dan dikendalikan oleh kelas hegemon seperti Amerika Serikat. Mereka berupaya untuk mendobrak dominasi global kelas negara kaya di belahan Utara dunia atas kelas negara miskin yang mayoritas berada di Selatan dunia. Oleh karena itu, tak jarang bila teori kritis sering dikaitkan dengan teori Ekonomi Politik Internasional (Jackson dan Sorensen, 1999).

Perwujudan dari teori kritis ini ada yang berupa pemikiran neomarxisme yang kemudian hadir untuk memberikan ktirik terhadap dua teori lain yang telah mapan, neorealisme dan neoliberalisme. Ada dua teori yang digunakan dalam mengkritik neorealisme yaitu yang pertama adalah idealisme-liberalisme yang dibawa oleh Robert O. Keohane dan Teori Kritis-Marxisme yang dibawa oleh Robert Cox (Fienberg, 1995). Namun, Robert Cox dalam kritiknya terhadap neorealisme, memberikan suatu kritikan yang dibangun dengan metodologi kritis yang kemudian menjadi kritikan yang lebih memiliki ciri khas sendiri daripada sekedar kritik yang diajukan oleh orang neoliberal. Dalam konstruksi pemikiran Cox, ia sangat meyaini bahwa tidak pernah ada suatu teori pun yang mampu mencapai suatu konsep yang dinamakan sebagai kebenaran sejati, dimana neorealis dan juga neoliberalis (kaum tradisionalis pada umumnya) justru setuju bahwa kebenaran sejati telah berhasil mereka capai dalam setiap asumsi-asumsi yang mereka miliki. Inilah yang menjadi poin paling esensial yang disampaikan oleh Robert Cox dalam mengkritik neorealisme, ketika Cox menanyakan tentang outright objectivity yang diajukan oleh neorealisme. Dengan perspektif marxismenya, Cox menyatakan bahwa konsep kebenaran sejati hanya akan dapat dicapai jika seseorang mengetahui apa yang diperbuatnya dan memahami apa yang diperbuatnya, dan menerima bias atas apa yang sedang diperbuatnya (Cox, 1981). Di sisi lain, Robert Cox juga menolak konsep moralitas yang juga dibawa oleh neorealis. Moralitas menurut asumsi Cox, akan menyebabkan adanya suatu pemikiran tentang adanya suatu kebenaran. Seperti yang telah diuraikan diatas, Cox mengklaim bahwa dirinya telah mencapai apa yang ia sebut sebagai kebenaran dengan menerima bias pernyataanya sendiri dan menyatakan pernyataanya itu. Menurut standarisasi yang dibuatnya sendiri, menurut Cox, dirinya telah mencapai apa yang disebut sebagai kebenaran dan mengklaim bahwa apa yang dikatakanya adalah sesuatu yang benar.

Sebagai sebuah teori yang dibangun dengan pemikiran yang kritis, teori kritis mampu menajadi pemikiran alternatif yang berupaya memberikan sentuhan dan warna baru ada teori-teori tradisional yang telah mapan dalam hubungan internasional, realisme dan liberalisme. Secara metodologis, teori kritis tidak berfokus pada bagaimana mempeajari fenomena hubungan internasional, namun lebih untuk memahami fenomena tersebut dengan lebih mendekatkan pada fenomena-fenomena kompleks yang cenderung tidak bisa dijelaskan oleh teori-teori pendahulunya. Teori kritis juga berusaha menyadarkan kepada para semua penstudi sosial khususnya hubungan internasional bahwa sesuatu yang bersifat sosial tidak memiliki konsep kebenaran mutlak. Nilai-nilai universalitas yang diusung oleh teori pendahulunya mencoba dipatahan dengan menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan sosial bersifat parsial dan tidak akan pernah lepas dari pemikiran yang bersifat ideologis dari para pemikirnya sehingga menyebabkan hal tersebut tidak bebas nilai.

Kontribusi yang diberikan oleh teori kritis tidak selamanya menguntungkan. Teori kritis cenderung dibangun tanpa adanya tahapan analisis yang jelas karena hanya berangkat dari teori yang telah ada ada kemudian dikritik. Teori kritik juga tidak menyajikan sebuah solusi aka sesuatu yang telah dikritiknya. Akibatnya, teori kritis tidak mampu mengambil sikap dalam menentukan relativitas dan netralisasi aksi politis. Penentangan bebas nilai memang diagungkan oleh teori kritis, namun yang menjadi kendala ialah bagaimana keputusan mereka dalam mensubstansikannya dengan kajian riset dan keilmuan? Jika teori-teori yang ada dalam hubungan internasional merupakan teori yang tidak bebas nilai, maka sebenarnya hubungan internasional bahkan ilmu politik itu sendiri tidak pernah ada sebagai suatu ilmu pengetahuan dan tidak lebih dari sekedar hasil pemikiran politis biasa.





Referensi :



Cox, Robert. 1981. Social Forces, States and World Orders: Beyond International Relations Theory. Millennium: Journal of International Relations Studies.

Devetak, Richard. 2005. Theory of International Relations : Critical Theory. 3rd edition. New York : Plagave Camillan.

Fienberg, Howard. 1995. Keohane’s Realisme and Its Critics. http://www.hfienberg.com/irtheory/neorealism.html diakses pada 19 Mei 2009

Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional : Teori Kritis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar

1 komentar:

  1. hallo arif setyanto, saya sangat kagum melihat tulisan-tulisan Anda, terlebih Anda termasuk baru dalam dunia HI (anda angktn 2009). saya jg merasa bangga semakin banyak mhsswa HI di Indonesia khususnya yang rutin membuat tulisan di blog seperti Anda. sedikit mengomentari mengenai teori kritis, saya baru sedikit membaca tentang teori ini, tapi sudah cukup tertarik mendalaminya. yang saya tangkap adalah teori ini sbenarnya mencoba memisahkan diri dari kelompok marxis setelah adanya Robert cox dalam melanjutkan pengembangan di ilmu HI. robert cox menolak adanya pemisahan nilai dengan ilmu; setiap teori pasti ada maksud tertentu dari penemunya, sedangkan marx cukup positivis. ini berarti ketika kita akan berpikir tentang teori kritis, seharusnya kita tidak lagi terbawa pemikiran marx maupun hegel dan lain2. nah, lantas pemakaian teori ini hanya bisa pada kasus2 tertentu seperti penolakan penandatanganan protokol kyoto oleh AS dan politik tebang pilih AS terhadap nuklir Iran, Irak dan Korea Utara. selain itu sekarang ada isu proteksionisme hijau yang dilakukan barat untuk memproteksi komoditas mereka dari produk ASia sedang melejit. sedangkan untuk menjelaskan liberalisasi perekonomian dunia dan mekanisme pasar, menurut saya masih bisa didominasi oleh neoliberalisme. karena setelah kemenangan liberalisme pada perang dingin lalu sudah membuktikan banyak hal khususnya ketidak-realistisan kaum sosialis-marxist untuk menjalankan ekonomi-politik dunia berdasarkan asas-asas utopiannya. namun kembali lagi memang kita harus lebih kritis sekalipun dengan 'teori kritis'...
    mungkin ini sekedar komentar saya yang masih sangat awam di dunia ilmu HI, sy berharap anda bisa mengomentari kembali komentar ini..
    trims..

    BalasHapus