Selasa, 18 Mei 2010

Neoliberal Empire : Dominasi Baru Dalam Globalisasi Pasca Tragedi 11 September

Globalisasi yang akhir-akhir ini kerap kali digembor-gemborkan keberadaannya telah berkembang begitu pesat. Implikasi dari proses globalisasi yang terjadi sekarang tidak hanya meliputi bertambah pesatnya kemajuan dalam hal teknologi dan perdagangan saja, melainkan telah merambah pada perubahan tatanan dunia. Spirit neoliberalisme begitu kental terasa dalam proses globalisasi. Adanya spirit globalisasi yang begitu kental menyebabkan globalisasi lebih mengarah kepada isu-isu ekonomi seperti perdagangan bebas dan kerjasama baik bilateral maupun regional. Sejak perang dingin berakhir hingga tahun 2002, peran WTO begitu penting dalam menjalankan perekonomian dunia dalam semangat neoliberalisme sebagai manifestasi globalisasi. Promosi mengenai perdagangan bebas yang digaungkan Amerika Serikat begitu gencar dilakukan untuk memperlancar neoliberalisasi. Politik luar negeri Amerika Serikat bahkan diarahkan kepada isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan finansial dan pasar. Pada masa ini, perkembangan globalisasi kemudian disebut sebagai neoliberal globalization. Namun, hal tersebut mulai berubah semenjak adanya serangan 11 September ke WTC yang pada saat itu merupakan simbol kekuatan ekonomi Amerika Serikat. Serangan 11 September serta merta membuat Amerika Serikat marah dan mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk terorisme. Amerika Serikat menuduh Al-Qaeda sebagai pelakunya dan semenjak saat itu Amerika Serikat menyatakan perang kepada terorisme.

War on Terrorism yang kerap dikumandangkan Amerika Serikat sering kali dijadikan alat legitimasi dan justifikasi dalam setiap tindakannya. Yang paling hangat dalam ingatan adalah ketika Amerika Serikat melancarkan invasi ke Irak dan Afghanistan dengan dalih memerangi terorisme. Tindakan Amerika Serikat yang seakan terlalu paranoid ini justru kemudian lebih menjurus pada pendudukan. Era ini selanjutnya disebut sebagai neoliberal empire, babak baru dari globalisasi. Disebut sebagai neoliberal empire karena merupakan osmosis dari neoliberalism dan empire. Neoliberalism selalu berkaitan dengan bisnis, keuangan, dan mekanisme pasar, sedangkan inti dari empire adalah keamanan nasional dan industri militer yang kompleks (Pieterse, 2004). Keduanya melebur menjadi satu dan tersaji dalam globalisasi kontemporer. Terdapat perubahan pola-pola yang mendominasi proses globalisasi antara neoliberal globalization dan neoliberal empire. Perubahan tersebut dapat diamati dari perilaku Amerika Serikat yang selama ini menjadi pelaku utama globalisasi atau yang kemudian dikenal sebagai Amerikanisasi. Perubahan tersebut meliputi pemerintah, privatisasi, pola perdagangan, dan hal-hal yang kerap dikumandangkan dan dipromosikan olehnya.

Pola perubahan pertama dapat diamati dari pemerintahan Amerika Serikat. Secara filosofis, pemerintahan neoliberalisme tidak begitu membutuhkan pemerintahan yang besar dan kompleks. Namun, serangan 11 September telah menunjukkan bahwa Amerika Serikat ternyata masih memiliki pemerintahan dan sistem pertahanan yang lemah. Oleh karena itu Amerika Serikat kemudian memperkuat sistem pemerintahan dan pertahanannya. Departemen Keamanan Dalam Negeri menjadi salah satu contoh dari perbaikan sistem pemerintahan dan pertahanan pasca tragedi 11 September. Ekspansi dalam bidang militer dan intelejen, sistem keamanan, dan propaganda kebijakan juga menjadi contoh lain bahwa perubahan memang benar-benar terjadi (Pieterse, 2004).

Pola perubahan kedua adalah adanya privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Privatisasi merupakan manifestasi dari neoliberal globalization yang ditujukan pada bidang ekonomi dan bisnis. Privatisasi dan komersialisasi bahkan semakin merambah dalam bidang politik. Money politic kerap kali terjadi menghilangkan akuntabilitas dari bisnis tersebut, dimana akuntabilitas merupakan ciri alami dari sebuah bisnis yang diprivatisasi. Banyak kebijakan yang kerap kali dianggap tidak begitu tepat namun dapat lolos dari birokrasi dan pada akhirnya dapat teratifikasi sebagai kebijakan. Pada era neoliberal empire, privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah semakin merambah ke bidang pertahanan dan militer. Serangan 11 September menjadi pemicu dan pelecut Amerika Serikat untuk lebih meningkatkan sistem keamanan dan keamanannya dengan cara menggandeng perusahaan swasta untuk menopang industri militer negara tersebut. Hal ini dilakuakan untuk mendukung kebijakan war on terrorism yang digaungkan oleh Amerika Serikat. Privatisasi militer yang kemudian sebagian dipegang oleh swasta termanifestasi oleh adanya pelayanan pelatihan tentara luar negeri hingga jaminan keamanan Presiden Karzai di Afghanistan. Semua hal tersebut dilakukan oleh kontraktor swasta seperti DynCorp dan MPRI (Pieterse, 2004). Tidak hanya berhenti di sini, pemerintah juga menggandeng swasta dalam upaya restrukturisasi Irak yang juga dilakukan tanpa adanya akuntabilitas publik yang jelas.

Pola perubahan ketiga adalah dalam bidang perdagangan. Perdagangan bebas telah menjadi agenda utama dalam globalisasi. WTO menjadi institusi internasional yang menjalankan peran dominan dalam setiap perdagangan internasional. Amerika Serikat sebagai negara dengan industri maju merupakan salah satu pelaku perdagangan bebas internasional. Namun ketika pemerintahan Amerika Serikat berkeyakinan bahwa perdagangan lebih dari sekedar efisiensi ekonomi, namun lebih kepada peran Amerika dalam tatanan internasional. Dengan demikian, Amerika Serikat hanya akan menjalankan perdagangan bebas jika hal tersebut tidak mengganggu kepentingannya (Pieterse, 2004). Hal ini kemudian menimbulkan benturan dengan WTO sebagai pemegang peran dalam perdagangan internasional. Amerika Serikat kini lebih cenderung melakukan kerjasama menyangkut perdagangan bebas secara bilateral maupun regional. Dengan demikian Amerika Serikat lebih bisa memaksimalkan perannya untuk mencapai kepentingan nasionalnya dalam perdagangan internasional.

Pola perubahan keempat adalah adalah promosi yang digencarkan oleh Amerika Serikat. Membawa semangat neoliberalisme, Amerika Serikat sangat gencar mempromosikan kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Amerika Serikat benar-benar memiliki peran dan pengaruh dalam konstelasi internasional. Namun, sekali lagi, serangan 11 September benar-benar telah merubah segalanya. Amerika Serikat yang sebelumnya sangat gencar dalam mempromosikan kerjasama seketika merubah arah promosinya. War on terrorism menjadi bahan promosi yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Pieterse, 2004). Bahkan hal tersebut telah menjelma menjadi alat legitimasi dan justifikasi bagi setiap kebijakan Amerika Serikat yang berkaitan dengan perang terhadap terorisme. Invasi terhadap Irak dan Afghanistan yang disebut-sebut untuk memerangi terorisme sepertinya telah berubah orientasi menjadi pendudukan dan pengeksploitasian kedua negara tersebut mengingat kedua negara itu memiliki cadangan minyak yang besar. Namun, Amerika Serika tetap menggunakan dalih war on terrorism sebagai dalih dari tindakannya padahal tindakanya telah menjurus pada imperialisme.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa telah terjadi pembelokan dari neoliberal globalization menjadi neoliberal empire. Invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan dengan mengatasnamakan war on terrorism telah menyimpang dari tujuan awalnya. Pendudukan lahir sebagai sesuatu yang berbeda dari era globalisasi yang dibawa oleh Amerika Serikat sebelumnya. Inilah mengapa periode ini kemudian disebut sebagai neoliberal empire, dimana nilai-nilai neoliberal masih ada namun teraplikasikan dalam bentuk yang berbeda dimana perubahan tersebut dikarenakan serangan 11 September yang begitu mencengangkan.


Referensi

Pieterse, Jan Nederveen. 2004. Neoliberal Empire, dalam Globalization or Empire?. London: Routledge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar