Rabu, 12 Mei 2010

Kebijakan Luar Negeri dan Elemen Penyusunnya

Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden George Walker Bush menetapkan kebijakan luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT). Dalam kebijakan luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat menetapkan kebijakan keamanan ekstra ketat di dalam negeri, menyeleksi secara ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar pada bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang sejalan dengan kebijakan luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau mendukung kebijakan luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea Utara, dan Kuba sebagai “poros jahat” (rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu. Tindakan yang diambil oleh Amerika Serikat inilah yang dinamakan sebagai kebijakan luar negeri. Sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana kebijakan luar negeri itu dibuat, marilah kita memulai dengan definisi dari kebijakan luar negeri itu sendiri. Carlton Clymer Rodee et al. mendefinisikan Kebijakan Luar Negeri sebagai :




“Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain … [yaitu] bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan internasional.”



Dengan demikian, kebijakan luar negeri adalah suatu hal yang sangat esensial bagi suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Menurut Coulombis dan Wolfe, kebijakan luar negeri dijabarkan sebagai suatu sintesis dari kepentingan nasional yang bergantung pada power dan kapabilitas suatu negara. Hal inilah yang membuat kebijakan ini lebih penting daripada kebijakan lain karena kebijakan ini membawa tujuan untuk mencapai kepentingan nasional yang merupakan tujuan utama yang harus dicapai oleh suatu negara. Power dan kepentingan nasional memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebijakan luar negeri. Power dan kebijakan luar negeri dapat dilihat melalui dua keadaan. Keadaan pertama yaitu dengan memposisikan power sebagai tujuan dan kebijakan luar negeri sebagai alat untuk mencapainya. Kebijakan luar negeri yang dibangun berdasarkan kepentingan nasional digunakan untuk mencapai power yang lebih tinggi atas negara atau aktor lain. Keadaan kedua adalah dengan memposisikan power sebagai instrumen yang digunakan secara bersamaan dengan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional. Hal ini menunjukkan fleksibilitas hubungan antara kebijakan luar negeri, power, dan kepentingan nasional.

Kebijakan luar negeri disusun oleh negara dengan dasar kepentingan nasional dan dengan memperhatikan kapabilitas dari negara tersebut. Secara garis besar terdapat lima elemen analisis penting yang sangat mempengaruhi penyusunan kebijakan luar negeri. Rosenau menjabarkan lima elemen analisis ini adalah individu, kelompok, birokrasi, sistem nasional, dan sistem global.

Kapasitas individu yang dalam hal ini merupakan pemimpin negara sangat mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara. Behavior dari individu dalam hal ini presiden akan sangat dipengaruhi oleh ideosinkretis dan pertimbangan rasional dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Ideosinkretis adalah segala hal yang berkaitan dengan ideologi, kepercayaan, dan budaya. Ideosikretis dan pertimbangan rasional dapat mempengaruhi psikologis para pengambil kebijakan. Dominasi individu sebagai pemimpin negara akan sangat terlihat dominan dalam pengambilan kebijakan luar negeri pada negara-negara yang bersistem otoriter dan sosialis. Contohnya adalah peran Kim Jong Il yang begitu dominan bagi rakyat Korea Utara karena negara ini menganut sistem otoriter sehingga begitu mencerminkan setiap tindakan Korea Utara dalam pengambilan kebijakan luar negerinya.

Pengaruh individu dalam pengambilan kebijakan dapat terlihat sangat jelas jika negara tersebut menganut sistem otoriter dan sosialis. Namun jika yang menjad objek adalah nera demokrastis, maka ada variabel lain yang juga sangat signifikan dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri. Kelompok adalah faktor lain di luar individu. Baik kelompok kepentingan, kelompok penekan, atau kelompok lain yang memiliki posisi strategis dan kepentingan tertentu di pemerintahan dapat mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara. Contohnya adalah ketika Indonesia memberikan dukungan kepada AS mengenai penghentian nuklir Iran, FPI bereaksi dan mendesak agar Indonesia membatalkan dukungan tersebut dan pada akhirnya Indonesia membatalkan dukungan kepada AS.

Kelompok kepentingan yang merupakan representasi dari opini publik yang tersalurkan melalui media akan berubah menjadi kelompok penekan bila mereka merasa bahwa aspirasinya tidak dapat tersalurkan dengan baik. Mereka juga tidak bisa memaksakan begitu saja kepada pemerintah agar mengikuti keinginan mereka. Dengan demikian terjadi proses antara beberapa pihak yang berkepentingan dalam penyusunan kebijakan luar negeri ini melalui pendekatan birokratis. Pendekatan ini dipopulerkan oleh Allison dalam melihat kasus krisis Kuba. Penempatan rudal di Kuba bukanlah hasil dari keputusan Reagan atau Kruschev semata, namun lebih karena ada proses birokrasi. Dalam pendekatan ini, kebijakan luar negeri bukan merupakan produk rasionalitas individu saja, melainkan terdapat proses kompromi, bargaining, dan adjustment.

Berkaca pada salah satu dasar dari kebijakan luar negeri adalah kepentingan nasional, maka dalam penyusunan kebijakan, segala faktor yang ada di dalam negeri menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting. Elemen-elemen kekuatan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan kekuatan militer menjadi aspek kalkulasi kebijakan. Kondisi dalam negeri meliputi keadaan politik dan pertumbuhan ekonomi juga merupakan faktor penting dalam penyusunan kebijakan. Misalnya pengambilan kebijakan Indonesia dengan Vietnam tentang barter beras dengan tank tank milik Indonesia. Kondisi saat itu adalah Indonesia sedang mengalami krisis beras sehingga kita sangat membutuhkan beras dari Vietnam, sedangkan Indonesia memiliki pabrik pembuat tank yang hasilnya dapat dibarterkan dengan Vietnam.

Seperti namanya, kebijakan luar negeri, maka kebijakan ini ditujukan kepada segala sesuatu yang berada di luar suatu negara. Selain memperhitungkan kondisi internal suatu negara, penyusunan kebijakan luar negeri juga perlu mempertimbangkan kondisi eksternal negara yaitu sistem global atau internasional. Kebijakan luar negeri dapat berupa reaksi dari apa yang terjadi dalam sistem internasional. Contohnya adalah kebijakan Korea Utara mulai membuka diri untuk berunding kembali mengenai proliferasi nuklirnya ketika mendapatkan banyak desakan internasional kepada Korea Utara padahal Korea Utara sempat tidak mau untuk berunding kembali.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima elemen yang esensial dalam penyusunan kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan nasional dari suatu negara. Namun, sebenarnya ada satu elemen lagi yaitu eksistensi organisasi atau institusi internasional yang juga dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Misalnya, Indonesia yang telah tergabung dengan ASEAN akan mengarahkannya kebijakan luar negerinya terhadap hal hal yang juga menjadi perhatian bagi ASEAN.



Referensi


Rodee, Carlton Clymer, dkk. 2002. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali

Columbis, Theodore dan James H. Wolfe. 1999. Pengantar Hubungan Internasional : Keadilan dan Power. Jakarta : Putra A Bardin

Perwita, Banyu. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Rosda Karya

Rosenau, James. 1976. World Politics : An Introduction. New York : The Free Press

Soeprapto. 1997. Ilmu Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku. PT Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar