Minggu, 20 Februari 2011

Perjalanan Indonesia Sebagai Individu : Masa Senja Penuh Luka, Borok Busuk Dimana-mana

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, tetap di puja-puja bangsa.. ???

Ada tanda tanya yang tersemat di belakang potongan lirik lagu wajib, lirik yang isinya menggambarkan betapa besarnya bangsa ini. Indonesia (baik negara dan bangsanya) dicita-citakan menjadi bangsa yang bermartabat dan disegani oleh negara dan bangsa lain karena serangkaian keberhasilan dan prestasinya di berbagai bidang. Pertanyaan lain juga muncul jika kita mencermati potongan lirik tersebut. Siapa yang dimaksud dengan “Indonesia” pada lirik tersebut, negara secara utuh kah, pemerintahnya saja kah, rakyatnya, atau hanya beberapa oknum saja. Pun demikian dengan “bangsa”, siapa yang memuja Indonesia, entitas yang juga belum nampak jelas. Apakah bangsa Indonesia sendiri, bangsa pejabat pemerintahan Indonesia, bangsa oknum busuk yang gemar mempermainkan kebijakan, atau bangsa lain yang tidak paham tentang Indonesia. Terlepas dari siapapun dan apapun “Indonesia” dan “bangsa” yang ada pada lirik tersebut, Indonesia (layaknya pemahaman umum) telah menggagas cita-cita ideal itu saat Indonesia masih “muda”, bahkan “balita”. Namun seiring berjalannya waktu, layaknya perjalanan usia seorang manusia, terjadi perubahan-perubahan sikap yang juga berpengaruh terhadap pencapaian cita-cita Indonesia.

Perjalanan Indonesia memang layaknya perjalanan usia seorang manusia. Ketika masih bayi dan balita, semua tampak sehat, bersih, dan polos. Kondisi fisik yang masih lucu dan segar bugar pun membuat setiap orang yang melihatnya menjadi gemas dan menggemarinya. Hal yang sama juga terjadi pada Indonesia saat bangsa Indonesia mulai terbentuk. Bangsa Indonesia mulai menyatu dari sekian bangsa yang terdiri dari suku-suku sejak deklarasi Sumpah Pemuda yang menandakan perjuangan serentak dari seluruh suku bangsa di Indonesia pada saat itu dan bertujuan satu yaitu mengusir penjajah. Kondisi bangsa Indonesia pada saat itu diliputi semangat membara yang luar biasa. Arah pikiran masing-masing kepala setiap individu adalah satu, penjajah harus keluar dari bumi Indonesia. Hal ini dilakukan demi tercapainya kemerdekaan bagi Indonesia. Banyak pula dukungan yang diberikan oleh dunia internasional bagi perjuangan heroik yang ditunjukkan oleh upaya bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah.

Masa kemerdekaan Indonesia adalah masa layaknya seorang individu yang telah menginjak usia 7 tahun. Dia sudah bisa bermain sendiri, memilih teman, suka jajan, dsb. Kegemasan dan keimutan juga masih tampak bagi individu di usia yang demikian. Kenakalan-kenakalan juga sering dilakukan namun masih dalam taraf kenakalan seorang anak kecil. Tak ubahnya Indonesia yang mulai mendapat legitimasi untuk bergaul dengan dunia internasional ketika setelah secara de facto dan de jure diakui sebagai sebuah negara pada 17 Agustus 1945. Namun pada saat itu Indonesia juga masih tidak tenang pada saat menjalankan aktivitasnya karena masih saja “diganggu” oleh Belanda dengan dua kali agresi. Lagi-lagi, karena usianya masih belia, semangat nasionalisme pun masih membara, Indonesia berhasil dengan heroik mendapatkan kebebasannya dari kekangan penjajah. Perjuangan kali ini tidak hanya melalui konfrontasi melainkan juga dengan diplomasi, terlihat dari adanya serangkaian perjanjian dari Linggarjati sampai Konferensi Meja Bundar. Lepas dari itu, pembangunan negara Indonesia juga dilangsungkan. Berbagai bentuk pemerintahan dijajal, konferensi-konferensi internasional diselenggarakan, bahkan organisasi regional Asia Tenggara pun turut digagas oleh Indonesia. Pada masa ini, terlihat Indonesia yang notabene masih belia masih memiliki semangat kebangsaan yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjalankan pembangunan negri. Indonesia juga sudah pandai bermain di kancah Internasional layaknya anak kecil yang suka bermain. Bahkan Indonesia telah pandai memilih teman dalam bergaul sehingga disegani oleh teman-teman sepermainannya, hal ini ditunjukkan dengan peran sentralnya di ASEAN pada saat itu. Fase ini setidaknya berlangsung sampai orde lama.

Indonesia dapat dikatakan memasuki fase remaja pada saat orde baru. Layaknya remaja pada umumnya yang mulai terlihat pesonanya (cantik atau gantengnya), Indonesia pun mulai terlihat mempesona pada awal sampai pertengahan era orde baru. Pembangunan yang masih di segala bidang terutama di bidang ekonomi telah mengantarkan Indonesia mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan sempat mencapai swasembada pangan. Betapa mempesonanya Indonesia pada saat itu! Andaikan Indonesia seorang lelaki, wanita pasti tersihir dengannya. Namun, layaknya remaja, Indonesia pun mulai nakal hingga terjerumus ke perilaku yang amat sangat tidak terpuji. Rezim Soeharto yang menjabat pada masa itu disinyalir melakukan segala cara untuk melanggengkan pemerintahannya. Pengarahan kekuasaan untuk kepentingan pribadi mulai menjadi marak. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di pemerintahan akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis yang pecah pada penghujung orde baru. Krisis ini merupakan bentuk kemuakan masyarakat pada pemerintahan yang sudah terlalu nakal sehingga perlu ada pihak yang mengingatkan dan menghukun “remaja” ini karena kesalahannya. Masa ini meninggalkan luka sepanjang perjalanan Indonesia. Masa remaja yang (awalnya) gemilang harus tercoreng oleh luka yang diakibatkan karena kenakalan Indonesia sendiri, kenakalan yang sangat fatal dan akan terus dikenang oleh Indonesia.

Setelah melalui masa remaja yang sempat kelam, Indonesia pun memasuki masa dewasa dan melakukan pertobatan sebagai penebusan dosa di masa remaja. Setelah revolusi 1998, masa reformasi pun digulirkan. Reformasi-reformasi kebijakan pun dilakukan, mulai dari pelaksanaan pemilu baik presiden maupun legislatatif secara langsung oleh rakyat, pembatasan masa jabatan presiden, dsb. Pengobatan juga terus dilakukan untuk menyembuhkan “luka” seperti korupsi dan nepotisme. Masa ini masih berlangsung sampai sekarang, dimana Indonesia mulai menginjak masa tua. Terlihat antiklimaks ketika melihat apa yang terjadi pada masa ini. Alih-alih menyembuhkan luka, justru luka itu kini semakin menganga lebar, menjadi borok yang busuk. Bagaimana tidak, lihat saja kasus-kasus yang mencuat belakangan ini seperti terbongkarnya makelar kasus, mafia pajak yang melibat sejumlah pejabat pemerintahan, politisasi segala bidang demi tercapainya kepentingan pribadi, dan juga berbagai kebijakan yang dianggap aneh oleh masyarakat. Belum lagi luka lama seperti korupsi yang sepertinya tak pernah sembuh dari tubuh yang sakit ini.

Kasus Bank Century yang kemudian menyeret Susno Duaji dan beberapa orang pejabat menunjukkan bahwa selama ini ada oknum yang memainkan kewenangan yang diberikan oleh negara demi kepentingan sekelompok orang, lagi kolusi dan nepotisme. Sampai Susno dibebaskan pun kasus ini belum jelas juntrungannya karena terlalu banyak saksi yang harus diperiksa, betapa kompleks dan rapi kasus ini bukan? Kasus Gayus dengan mafia pajaknya yang sampai sekarang juga belum beres karena masih terus memeriksa sejumlah orang juga menunjukkan begitu payahnya pejabat lembaga pemerintahan dari negeri ini. Belum lagi soal lembaga PSSI dan kompleksitasnya. Tentu masih ingat bagaimana timnas Indonesia yang masih berlaga dan harus berkonsentrasi dalam piala AFF justru menghadiri serangkaian undangan yang salah satunya adalah jamuan makan dari Aburizal Bakrie yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan persiapan timnas. Wajar jika publik mempertanyakan momen ini. Belum lagi soal diloloskannya Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie sebagai calon ketua dan wakil ketua umum PSSI dimana Arifin Panigoro dan George Toisuta tidak lolos verifikasi, padahal Nurdin Halid juga merupakan mantan narapidana. Anehnya tidak ada penjelasan logis dan transparan dari komite pemilihan soal tidak lolosnya dua calon tersebut. Hal ini otomatis memancing kecurigaan dari semua pihak. Pertanyaan bagaimana bisa yang lolos hanya Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie yang notabene satu kubu dan sangat dekat dengan Aburizal Bakrie sering terlontar. Ada indikasi politisasi lembaga PSSI ini yang hanya mengarah pada kepentingan sekelompok orang saja.

Masih banyak kejadian-kejadian serupa di negeri ini, yang terindikasi dibalut dengan aroma kepentingan segelintir orang yang sangat kental tanpa mempedulikan tujuan bersama atau kepentingan rakyat. Luka lama seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme bukannya semakin sembuh justru semakin menjadi borok yang menjijikkan dan berbau busuk. Bau busuknya begitu mudah tercium oleh orang banyak. Di fase yang senja ini, Indonesia seakan sudah jauh dari spirit masa mudanya dulu, spirit kebangsaan dan satu tujuan untuk satu kepentingan. Di fase senja ini, Indonesia bagai manula yang telah dipenuhi luka dan borok di sana-sini dan sudah menjadi sangat bau. Jika dibiarkan, tidak lama lagi Indonesia akan mati dalam keadaan yang tragis. Tentu tidak ada yang berharap demikian. Satu-satunya yang bisa mengembalikan keadaan Indonesia menjadi seperti dulu adalah memberikan kesempatan bagi para generasi muda yang sekarang mengkritisi, mendemo, dan mendebat pemerintah, generasi yang katanya sedah menjalani tempaan pendidikan dan pengalaman dan melihat apakah mereka (lebih tepatnya kita) bisa melakukan hal yang sesuai dengan apa yang disampaikan melalui demonstrasi, kritik, dan perdebatan yang mengatasnamakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar