Sabtu, 12 Maret 2011

Potret Ironis Afrika : Sumber Daya Alam dan Persepsi Keamanan

Di antara benua-benua yang ada di bumi ini, Afrika merupakan salah satu benua yang memberikan tantangan tersendiri bagi para penstudi ilmu hubungan internasional karena benua ini memiliki distingsi tertentu terutama dalam bidang keamanan dan geopolitiknya. Benua Afrika dikenal sebagai benua yang dihuni oleh negara-negara dengan tingkat keamanan domestik yang rendah yang ditunjukan dengan banyaknya kasus perang saudara dan tindak kriminal yang menonjol sebagai masalah domestik setiap negara. Tidak hanya itu, Afrika juga dikenal dengan perang dan persaingan antar negara atau bahkan antar suku dan klan yang tersebar di Afrika. Konflik dan rivalitas tersebut umumnya dikarenakan banyaknya komoditas dan sumber daya alam yang ada di Afrika yang parahnya justru hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang dan bahkan pihak di luar Afrika, masyarakat Afrika justru harus sengsara di tanah mereka sendiri. Tulisan ini berusaha menemukan kekayaan alam yang menjadi komoditas Afrika. Dalam tulisan ini juga, akan dijelaskan bagaimana kekayaan alam Afrika mempengaruhi persepsi keamanan di kawasan Afrika. Latar belakang historis Afrika juga akan dijabarkan untuk mencari benang merah antara sumber daya alam, konflik, dan persepsi kawasan yang ada di Afrika.

Sebagai sebuah benua, Afrika tergolong sebagai benua yang memiliki kekayaan alam cukup melimpah terutama dalam hal sumber daya alam. Afrika diuntungkan oleh dua sumber daya yang sangat menonjol, agrikultur dan mineral. Sumber daya agrikultur adalah yang sangat penting karena merupakan sumber lapangan pekerjaan bagi masyarakat Afrika (Abiodun, 2007). Setidaknya, sumber daya agrikultur Afrika berasal dari aneka macam pohon seperti kelapa sawit dan kelapa yang tumbuh subur di sepanjang pesisir Afrika serta pohon lain seperti kokoa, kola, karet, kopi, dan juga buah-buahan yang juga tumbuh di banyak negara di Afrika seperti Angola, Benin, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Ghana, Gabon, Nigeria, Sierra-Leonne, dan lain-lain. Berbagai macam-macam biji seperti beras, jagung dan gandum serta berbagai macam serat juga menjadi komoditas yang dihasilkan oleh Afrika. Afrika semakin terlihat kaya ketika diketahui bahwa di dalamnya terkandung sekitar lebih dari 19 mineral seperti emas, batubara, nikel, gas alam, minyak bumi, timah, bahkan uranium yang tersebar di seantero Afrika (Abiodun, 2007). Ironisnya, kekayaan alam yang melimpah ini justru tidak bisa dinikmati oleh masyarakat Afrika sendiri dan bahkan menjadi penyebab konflik di Afrika.

Konflik sering kali diidentikkan dengan Afrika. Baik konflik domestik berupa perang saudara atau konflik interstate sering menjadi problematika Afrika sejak jaman post-kolonialisme hingga kontemporer. Jika ditinjau dari narasi historisnya, mayoritas negara di Afrika adalah bekas jajahan negara-negara Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Italia. Setelah perang dunia II berakhir, negara-negara Afrika mulai memerdekakan diri. Namun ada hal distinct terkait dengan kemerdekaan negara-negara Afrika. Umumnya, syarat sebagai sebuah negara untuk merdeka adalah harus memenuhi kriteria empirical sovereignty (kemampuan untuk mengelola pemerintahan dan rakyat) dan juridicial sovereignty (pengakuan legitimasi dari negara lain dalam sistem internasional). Empirical sovereignty menjadi yang utama dalam berdirinya negara. Sedangkan yang terjadi di Afrika adalah mayoritas negara di Afrika justru merdeka hanya karena memenuhi juridicial sovereignty tanpa adanya kejelasan dalam empirical sovereignty (Buzan, 2007). Inilah yang menjadi alasan mendasar mengapa negara-negara Afrika gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai sebuah negara dalam memberikan pelayanan dan menjamin keamanan rakyatnya hingga disebut sebagai weak state bahkan failed-state.

Kegagalan negara-negara Afrika dalam memenuhi kewajibannya sebagai sebuah negara dalam memberikan pelayanan dan keamanan bagi negara dapat ditunjukkan dari banyaknya konflik yang tidak bisa dikelola dengan baik. Konflik tersebut kemudian menjadi sebuah persepsi keamanan di Afrika. Persepsi keamanan dapat ditinjau dari level domestik, regional, interregional, maupun global. Dalam level domestik, akar dari masalah keamanan adalah kembali pada ketidakmampuan negara dalam menggunakan instrumen atau aparat negara untuk melindungi rakyat dan teritorinya. Ini dikarenakan oleh pemimpin negara Afrika mewarisi rezim warlordisme yang justru hanya digunakan untuk memenuhi kepentingannya saja tanpa melakukan tugasnya sebagai pemimpin negara yaitu mengembangkan birokrasi dan pelayanan sesuai dengan kepentingan masyarakat (Buzan, 2007). Hal ini membuat negara memiliki kontrol yang sangat lemah. Contohnya adalah pemimpin Zaire yang tidak bisa mempertahankan negaranya dari keadaan yang kacau. Masalah level domestik lain adalah rival non-state yang sangat signifikan pengaruhnya. Aktor ini bisa dilihat sebagai kelompok orang yang terorganisir dalam sebuah kota dan mendapat dukungan dari masyarakat yang terkadang memposisikan diri layaknya “negara” ketika bersaing dengan negara induknya (Buzan, 2007). Rivalitas tersebut terjadi dalam hal perdagangan dan penguasaan sumber daya alam serta pengaruh politik dalam pemerintahan. UNITA, SPLA, LRA, dll. Tidak heran jika kemudian sering terjadi perang saudara di dalam suatu negara di Afrika.

Pada level regional, Afrika yang sebenarnya terdiri dari beberapa RSC (regional security complex) yaitu Wilayah Afrika Selatan, Afrika Barat, Horn, serta Afrika Tengah dan Timur hanya memiliki relevansi dan signifikansi yang relatif lemah. Walaupun SADC di Afrika Selatan, ECOWAS di Afrika Barat, dan IGAD di Horn telah ada, namun institusi ini belum berhasil menunjukkan performanya dalam menjaga keamanan intra regionalnya. Konflik-konflik antar negara maupun antar suku atau mafia masih yang banyak memperebutkan sumber daya alam dan mineral masih banyak terjadi. Permasalahannya adalah tidak dimaksimalkan institusi kerjasama ini dalam menggalang keamanan bersama di masing-masing regional Afrika. Justru negara-negara Afrika lebih memilih untuk beraliansi dengan organisasi pemberontak seperti UNITA, SPLA, dan LRA dalam mengelola konfliknya (Buzan, 2007). Naasnya, konflik tersebut hanya akan terus berkelanjutan tanpa ada ujung yang jelas.

Tidak adanya koordinasi pada level interregional memberikan kesan bahwa kerjasama keamanan memang tidak berjalan optimal, padahal banyak terdapat konflik horizontal yang melibatkan negara-negara yang tergabung dalam kerjasama regional yang berbeda. Dalam level global, dapat dilihat bagaimana pengaruh negara-negara di luar Eropa sangat menancap kuat di negara-negara Afrika. Permainan politik dan kepentingan dari Amerika Serikat, Rusia, dan Perancis sebagai penjajah terbesar Afrika dulu sangat kental dirasakan di Afrika dan semakin memperlihatkan bahwa negara Afrika adalah negara yang lemah secara power. Selain motif politik, misalnya Amerika Serikat yang ingin menumpas Al-Qaeda, motif lain adalah mengejar kekayaan dan sumber daya alam Afrika (Buzan, 2007). Negara-negara Afrika juga masih terlalu sulit untuk membuka diri dan menerima globalisasi yang seolah-olah menjadi rezim tata dunia baru di era postmodern. Namun ada beberapa negara Afrika yang lebih kaya dari yang lain misalnya Afrika Selatan dan Nigeria yang masih bisa menerima hadirnya gelombang globalisasi walaupun tidak semasif di benua lain.

Dari uraian dapat dipahami bahwa sebenarnya secara sumber daya alam dan komoditas, Afrika tergolong sebagai benua yang kaya. Namun, karena latar belakang historis yang suram dan proses kemerdekaan mayoritas negaranya yang cacat menyebabkan negara-negara di Afrika menjadi negara gagal. Perang saudara dan pemberontakan adalah hal yang tidak bisa ditangani dengan baik oleh pemerintahan negara-negara Afrika. Hal ini diperparah dengan relevansi dan signifikansi yang rendah dari RSC yang ada dan semakin diperparah dengan banyaknya campur tangan pihak asing yang ikut memainkan politik dan kepentingan di Afrika yang membuat keamanan di Afrika semakin kompleks dan suram.





Referensi :



Buzan, Barry dan Waever, Ole. 2007. Regions And Powers : Tthe Structure of International Security. Cambridge, Cambridge University Press. Hal. 6- 26

Alao, Abiodun. 2007. Natural Resources and Conflict in Africa in The Tragedy of Endowment. Rochester, University of Rochester Press



Tidak ada komentar:

Posting Komentar