Kamis, 24 Maret 2011

Analisis Induksi : Sebuah Pendekatan Terhadap Rezim

Rezim adalah sesuatu yang mengatur perilaku dari anggota berkaitan dengan suatu isu dan menentukan yang mana saja sesuatu yang dapat dilakukan atau tidak boleh dilakukan serta bagaimana penyelesaiannya. Ada beberapa fitur utama yang dijelaskan oleh Puchala dan Hopkins (1983) yang dapat menunjukkan fenomena rezim. Pertama, rezim merupakan sebuah fenomen atitudinal yang dicerminkan dari ketaatan anggota atau partisipannya pada prinsip-prinsip dan norma-norma yang dibentuk dari hasil kesepakatan dan konsensus antar anggotanya. Rezim besifat sangat subjektif karena akan selalu bergantung pada pandangan setiap anggotanya terhadap suatu moral yang dianggapnya benar dan kemudian disepakati bersama. Sikap-sikap yang dapat menunjukkan sebuah rezim seperti itu dapat muncul dalam suatu sistem yang interdependen berbasis pada letak geografis seperti rezim ekonomi Eropa, dapat juga muncul sebagai hal yang bersifat regional-fungsional seperti sistem penerbangan internasional, atau murni bersifat fungsional seperti regulasi internasional mengenai perdagangan obat.

Kedua, rezim internasional meliputi serangkaian prinsip atau norma yang meliputi prosedur-prosedur khusus dalam pengambilan keputusan. Norma-norma yang ada dalam rezim meliputi siapa yang berpartisipasi, kepentingan apa yang mendominasi, dan aturan apa yang digunakan untuk melindungi rezim dari dominasi aktor tertentu. Ketiga, rezim harus meliputi karakteristik dari prinsip utama yang dijunjungnya. Adanya struktur hirarkis terkadanga juga perlu diwujudkan untuk menjaga stabilitas rezim dari perubahan. Keempat, rezim memiliki aktor yang merupakan anggota didalamnya. Pemerintah dari sebuah negara merupakan aktor utama dalam sebuha rezim walaupun dalam praktiknya ada beberapa organisasi subnasional juga berpartisipasi. Kelima, rezim selalu muncul dalam setiap isu substantif dalam hubungan internasional dimana tercerminkan pola perilaku. Dimanapun dapat ditemukan keteraturan karena adanya prinsip dan norma, itulah yang dikatakan sebagai rezim.

Cara untuk mengidentifikasi sebuah rezim dapat dilakukan dengan metode induksi dengan mengintegralkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang dapat ditemukan bukti-buktinya dari persepsi partisipan sebuah rezim dan menemukan peraturan-peraturan yang tertulis dalam piagam, perjanjian, atau kode etik (Puchala dan Hopkins, 1983). Ada empat karakteristik fundamental dalam perbandingan rezim yaitu :



1. Specific vs diffuse regimes

Rezim yang spesifik akan memiliki ruang lingkup bahasan single-issue, partisipan cenderung lebih sedikit, dan akan dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Rezim ini juga terkadang bisa bersifat substruktur. Contohnya adalah norma-norma yang mengatur soal kedaulatan, self determination, dan non intervention policy urusan dalam negeri antar negara (Puchala dan Hopkins, 1983). Sedangkan diffuse regime lebih terkonsentrasi pada bahasan yang multi-issues, partisipan lebih banyak, dan cenderung labil atau tidak dapat bertahan lama bahkan terjadi pergantian dalam rezim. Rezim ini lebih bersifat suprastruktur. Contohnya adalah rezim balance of power merujuk pada multipolaritas yang mengatur mengenai ekspansi dan kolonialisasi pada abad ke 19 (Puchala dan Hopkins, 1983).



2. Formal vs informal regimes

Rezim yang formal dimanifestasikan dalam bentuk organisasi internasional yang terlembaga dan memiliki struktur yang jelas dan dimotori oleh birokrasi internasional. Rezim jenis ini ditopang oleh adanya dewan atau kongres, atau badan lain. sedangankan rezim informal hanya dibentuk oleh konsensus dan kesepakatan dari hasil pertemuan dari para partisipannya. Adanya konsensus sering kali didasarkan pada adanya mutual self-interest dari para partisipan yang kemudian diawasi oleh badan yang dibentuk dari hasil kesepakatan bersama. Contohnya adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa détente yang bersepakat untuk tidak saling serang demi kebaikan bersama (Puchala dan Hopkins, 1983).



3. Evolutionary vs revolutionary change

Perubahan dalam rezim yang hanya meliputi norma-norma prosedural tanpa memberikan perubahan signifikan dalam distribusi power disebut sebagai perubahan evolusioner. Misalnya adalah perubahan norma tanpa mengubah prinsip atau bahkan merubah norma secara kontras untuk mengubah prinsip rezim secara keseluruhan. Sedangkan perubahan yang mengubah pola struktur power karena hubungan yang dijalankannya bersifat advantage-disadvantage adalah perubahan rezim yang bersifat revolusioner (Puchala dan Hopkins, 1983).







4. Distributive bias

Pada intinya, semua rezim adalah bias. Rezim berusaha menciptakan hirarki dan nilai-nilai sedangkan rezim juga menciptakan prasangka buruk. Rezim juga mencoba menegakkan nilai-nilai hasil konsensusnya namun juga berusaha menghilangkan sisanya (Puchala dan Hopkins, 1983).

Sebagai aplikasi dari metode induksi dalam mengkaji rezim, Puchala dan Hopkins (1983) mencoba membandingkan dua rezim yang ada dalam dua time line waktu yang berbeda. Keduanya juga memiliki karakteristik rezim yang berbeda pula.

1. Rezim kolonialisme

Rentang waktu antara 1870 hingga 1914 adalah saat dimana kolonialisme menjadi begitu populer bagi kolonialisme Eropa. Dari ekspansi kolonialis ini dapat ditemukan adanya rezim internasional yang mendukung keberlangsungan kolonialisme pada saat itu. Norma-norma yang ada pada rezim tersebut adalah :

• Pembagian dunia dalam dua kelas (civilized dan uncivilized). Masyakat yang beradab (civilized) digambarkan sebagai masyarakat yang menunjukkan rasa hormat, pengendalian diri, dan lebih memilik berdikusi untuk menyelesaikan masalah. Sedangkan masyarakat yang tidak beradab (uncivilized) digambarkan sebagai masyarakat yang menggunanakan kekerasan, cenderung barbar dalam menyelesaikan masalah.

• Adanya legitimasi untuk menginjeksi nilai-nilai asing pada daerah-daerah baru atau daerah kolonial.

• Legitimasi dalam pengakumulasian kepemilikan tanah oleh para bangsawan.

• Pelestarian balance of power sebagai situasi yang kondusif bagi keamanan negara-negara kolonial.

• Legitimasi neomerkantilisme dimana ekonomi digunakan untuk mendukung setiap kebijakan negara.

• Adanya prinsip non-interference terkait masalah administrasi kolonial yang disepkati oleh para kolonial.

Jika dianalisa, rezim ini lebih bersifat diffuse karena meliputi banyak isu yang dibahas dengan cukup banyak partisipan didalamnya.





2. Rezim pangan

1949 hingga 1980 adalah masa dimana rezim pangan dapat ditemukan terutama setelah perang dunia II berakhir. Munculnya Amerika Utara sebagai penyuplai utama gandum membentuk suatu norma tersendiri yang mengatur sistem produksi, distribusi, dan konsumsi tidak hanya mengenai pangan melainkan juga mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pangan seperti teknologi hingga riset dan penemuan bibit unggul dalam pangan.

Norma-norma yang ada di dalamnya meliputi :

• Ketaatan pada pasar bebas internasional

• Penyesuaian penyerapan nasional yang didasarkan pada pasar internasinal

• Penerimaan terhadap distribusi melalu extra market channel

• Pencegahan kelaparan

• Arus bebas informasi ilmiah, dll

Rezim pangan ini lebih terlihat sebagai rezim yang spesifik karena hanya terkonsentrasi pada isu pangan saja. Dalam rezim pangan juga telah terdapat badan legal yang mengatur jalannya arus pangan dunia yaitu FAO atau WFP. (Puchala dan Hopkins, 1983).



Referensi :

Puchala, Donald J. and Raymond F. Hopkins. 1983. .International Regimes: Lessons From Inductive Analysis” dalam Stephen D. Krasner (ed), International Regimes. Ithaca and London: Cornell University Press.Page 61-92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar