Kamis, 24 Maret 2011

Nasionalisme Ke-Indonesia-an : Agregasi dan Akumulasi Kemuakan Atas Kolonialisme dan Imperialisme


Berbicara mengenai Indonesia kontemporer yang diwarnai dengan banyak masalah memang terkadang menjadi menjemukan. Banyak pihak-pihak yang dibuat geram oleh tingkah laku para pejabat maupun rakyat negeri ini yang tidak mencerminkan sisi ke-Indonesia-an. Mulai dari pejabat yang korup sampai konflik yang terjadi di tengah-tengah rakyat soal penciptaan perdamaian yang didasarkan pada keberagaman. Mereka seolah lupa akan jatidiri mereka (siapa mereka) dan bagaimana seharusnya mereka berbuat untuk negeri ini. Hal ini tidak lain berkaitan dengan kesadaran akan nasionalisme di masing-masing individu manusia Indonesia. Dalam tulisan akan dibahas bagaimana konsep nasionalisme muncul, sebuah konsep tentang ke-Indonesia-an. Faktor-faktor apa saja yang turut mengawal munculnya kesadaran nasionalisme di Indonesia juga akan dibahas dalam tulisan ini.

Konsep nasionalisme sering dikaitkan dengan konsep negara, artinya garis-garis batas secara politis cenderung menentukan kesadaran terhadap rasa nasionalisme (Kahin, 1995). Dalam konteks ini, Kahin lebih melihat bagaimana nasionalisme terbentuk lebih karena perasaan yang terbentuk dari individu-individu yang dipersatukan dalam sebuah lingkaran geografis-politis. Seperti saat Belanda berusaha menbentuk suatu garis batas politis yang jelas atas Indonesia, di saat itu juga Belanda menggalang orang-orang dengan berbagai bahasa dan berbagai kebudayaan ke dalam suatu kesatuan politis yang justru kemudian membuat rasa kesadaran akan sebuah kelompok mulai muncul. Singkatnya, Belanda justru memunculkan agregasi patriotisme dari masyarakat setempat yang terokupasi oleh Belanda pada saat itu, patriotisme yang muncul karena kekecewaan dan ketidakpuasan akibat kontak dengan penguasa asing.

Ada beberapa faktor penting yang menjadi dasar munculnya integrasi nasionalisme Indonesia yang salah satu elemen pentingnya adalah tingginya derajat homogenitas Islam di Indonesia (Kahin, 1995). Heterogenitas masyarakat Indonesia pada saat dipersatukan oleh Belanda itu menjadi netral ketika mereka menemukan sebuah kesamaan akan agama yang sifatnya universal. Agama Islam tidak hanya merupakan ikatan biasa namun telah menjadi sebuah simbol kelompok dalam melawan pengganggu dan penindas suatu agama yang berbeda. Terlebih lagi agama Islam dijadikan untuk memperkuat paradoks ketika para bangsawan pribumi berjuang menangkal kedatangan Portugis dengan cara memeluk Islam sebagai upaya politis melawan Portugis yang memiliki agenda kristenisasi disamping kolonialisasi. Faktor integrasi Indonesia yang juga esensial adalah perkembangan bahasa Melayu Pasar sebagai bahasa kesatuan pada saat itu yang kemudian menjadi bahasa nasional (Kahin, 1995). Bahasa ini memasuki setiap sendi kehidupan masyarakat pada jaman itu dan digunakan dalam membantu penyebaran agama Islam yang mematahkan kecenderungan oran Indonesia memiliki nasionalisme yang picik.

Adanya anggapan seperti pendapat Colijn bahwa faktor integrasi nasionalisme Indonesia yang lain adalah akibat dari adanya Volksraad yang menjadi pemersatu masyarakat dalam sebuah relasi yang lebih meyakinkan. Kahin justru melihat ada paradoks ketika Volksraad dinilai penting dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia karena signifikansi Volksraad relatif kecil. Volksraad adalah Majelis Rakyat bentukan Belanda yang hanya berposisi sebagai pemberi nasehat pada pemerintahan kolonial. Pada tahun 1927 Volksraad diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang secara bersama-sama dengan Gubernur Jenderal. Kewenangan Volksraad menjadi tidak berarti karena Gubernur Jenderal memiliki hak veto. Intinya, Volksraad bukanlah sebuah lembaga yang dirancang untuk membentuk hubungan antara pemimpin nasionalis dan masyarakat guna menggalang nasionalism (Kahin, 1995).

Faktor penting lain yang juga menjadi kekuatan fundamental pemersatu nasionalisme adalah kemuakan buruh tani terhadap pemerintahan Belanda yang memposisikan buruh tani secara subordinatif dan eksploitatif (Kahin, 1995). Di tengah-tengah posisi kaum buruh tani yang tidak sadar atas posisinya yang direndahkan oleh kekuasaan Belanda, ada kaum elite pribumi atau yang lebih dikenal sebagai kaum bangsawan. Kaum bangsawan dijadikan alat bagi Belanda untuk menancapkan akar hisapnya pada Indonesia melalui mekanisme tanam paksa yang dikembangkan. Kaum bangsawan diberikan posisi-posisi menggiurkan oleh Belanda dalam mengelola tanam paksa secara struktural. Keadaan menjadi berbalik ketika tanam paksa dihapuskan dan makin banyaknya pegawai Belanda dalam pamong praja. Hal ini menyadarkan masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah buruh tani bahwa sebenarnya Belanda sudah sangat mensubordinasi mereka di segala bidang. Dampak dari hal ini termanifestasi dengan munculnya berbagai aksi protes dari kaum tani seperti yang pernah dicetuskan oleh Samin pada tahun 1980 yang kemudian dikenal sebagai pergerakan kaum tani yang sukses. Semangat dari pergerakan ini adalah adanya keinginan untuk terbebas dari belenggu Belanda secara ekonomi maupun, kemuakan akan sikap Belanda yang eksplotatif hinggi mengintevensi setiap lapis kehidupan. Pengejawantahan penderitaan yang berujung pada kemuakan kaum tani ini kemudian menjadi stimulus bagi nasionalisme, hanya tinggal menunggu sosok elit pemimpin yang muncul saja.

Rasa kekecewaan ternyata tidak hanya dirasakan oleh kaum tani, melainkan juga dirasakan oleh kaum terpelajar dan bahkan juga para pegawai pemerintah untuk Belanda pada saat itu. Munculnya kaum dan golongan terpelajar dapat dikatakan sebagai blunder yang dilakukan oleh Belanda dalam menghadapi Pan-Islamisme yang menyebar di Indonesia (Kahin, 1995). Untuk menangkal penyebaran Islam, perlu diberikan pengaruh-pengaruh barat kepada penduduk Indonesia melalui pendidikan-pendidikan Barat. Di kalangan penduduk yang mayoritas Islam sendiri justru menerima uluran bantuan pendidikan Belanda karena beranggapan bahwa ilmu pengetahuan Barat dirasa perlu dalam mempertahankan dan memperkuat posisi Islam. Justru dengan diterimanya ilmu pengetahuan dari Barat, pikiran masyarakat Indonesia menjadi terbuka akibat diterimanya ide-ide mengenai sosial dan ekonomi seperti Lenin-Marxisme dan Liberal-Kapitalisme. Hal ini membuka mata golongan terpelajar bahwa perlu ada pemerataan ekonomi dan penyediaan kesempatan yang sama bagi penduduk Indonesia terutama kaum tani untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Kondisi ini menyadarkan mereka betapa tertindasnya bangsa Indonesia dan membangkitkan semangat mereka untuk menyudahi atau setidaknya melawan penderitaan akibat eksplotasi Belanda tersebut. Kondisi yang sama juga dirasakan oleh kaum pekerja yang bekerja di pemerintahan kolonial Belanda dimana mereka terdiskriminasi secara struktur dan diposisikan secara rendah oleh pemerintahan Belanda. Keadaan yang telah berlangsung lama ini tergagreasi menjadi sebuah kemuakan universal yang dirasakan oleh mayoritas penduduk Indonesia yang kemudian menjadi salah satu faktor pemerkuat nasionalisme untuk melenyapkan kolonialisasi dan imperialisasi Belanda.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan menurut pandangan Kahin bahwa awal dari kemunculan rasa kesadaran kelompok dan satu bangsa hingga berlanjut menjadi sebuah nasionalisme adalah karena adanya homogenitas agama Islam dan penggunaan bahasa Melayu Pasar yang dipakai secara universal bagi semua kalangan. Faktor stimulus ini kemudian didukung oleh faktor-faktor pendukung dan penguat nasionalisme yang lain yaitu semangat untuk menyudahi penderitaan akibat kolonialisme dan imperialisme Belanda sebagai akibat dari agregasi dan akumulasi kemuakan semua kalangan masyarakat di Indonesia seteleh tersubordinasi dan tereksploitasi selama lebih dari 300 tahun.



Referensi :

Kahin, George McTuman. 1995. Timbulnya Pergerakan Kebangsaan Indonesia, dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar