Rabu, 16 Maret 2011

Tinjauan Historis Terminologi dan Esensi “Indonesia” : Dari Etnografis dan Geografis Menuju Politis Hingga Konteks Kekinian

Indonesia, negara yang berbendera merah putih atau bangsa yang benar-benar pemberani dan memiliki kepribadian yang suci? Indonesia, negara dengan jumlah penduduk mencapai 235 juta jiwa menurut BPS per bulan Mei 2010 ditambah dengan sumber daya alam yang kaya dan melimpah atau negara dengan jumlah penduduk miskin sekitar 31 juta jiwa dan sumber daya alam yang semakin habis karena keberadaan MNC dari negara luar yang menancapkan akar hisapnya untuk menyedot kekayaan bumi Indonesia? Indonesia, negara dan bangsa yang selalu dan “tetap dipuja-puja bangsa” sesuai dengan salah satu lirik lagu wajib atau justru negara dan bangsa yang sedang mengalami krisis moral dahsyat sehingga menjadi perhatian dunia internasional yang salah satunya adalah FIFA? Pertanyaan di atas setidaknya mewakili pertanyaan mengenai apa itu Indonesia yang tentu disesuaikan relevansinya dengan konteks kekinian. Miris dan ironis, ketika harus mendapat cecaran pertanyaan seperti itu, bahkan untuk menjawab salah satu diantaranya saja tak mampu karena malu kepada para pendahulu yang menggagas, membangun, memperjuangkan, dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Untuk mendefinisikan dan menilai Indonesia kontemporer, perlu dilakukan upaya penjejakan kembali dengan melihat narasi historis perjalanan terbentuknya negara dan bangsa Indonesia ini sehingga dapat menjadi cerminan dan aspek penilaian diri bagi Indonesia kontemporer. Siapa saja yang berperan dalam penggagasan Indonesia dan apa gagasan mereka yang kemudian menjadi cita-cita Indonesia juga akan dibahas dalam tulisan ini.

Ada beberapa perkembangan penggunaan terminologi “Indonesia” dari awal ditemukannya hingga terminologi itu benar-benar dipakai untuk menanamai sebuah bangsa yang tinggal di suatu teritori tertentu yang bertransformasi menjadi negara. Penggagas kata “Indonesia” untuk pertama kali adalah seorang pelancong dan pengamat sosial dari Inggris adalah George Samuel Windsor Earl pada tahun 1850. Dia menggunakan terminologi “Indu-nesians” untuk menjabarkan ras Polinesia yang berkulit coklat dan menghuni kepulauan Hindia (Elson, 2008). Penyebutan “Indu-nesians” ini didasarkan pada pemahaman etnologis atas kemiripan budaya secara luas di kepulauan Indonesia dan tempat lain pada saat itu. Earl menulis sebuha artikel yang berjudul On the Leading of Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations dimana dalam artikel ini ditegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, karena nama Hindia tidak tepat dan menimbulkan kerancuan dengan penyebutan India yang lain. Namun terminologi ini kemudian dibuang olehnya karena dianggap terlalu umum dan menggantinya dengan “Malayunesians”.

Terminologi yang dibuang oleh Earl ini kemudian dipakai oleh James Logan di tahun yang sama, 1850, yang memutuskan bahwa “Indonesia” adalah kata yang tepat untuk digunakan sebagai istilah geografis, bukan etnografis. Logan lebih menyukai istilah geografis “Indonesia” yang merupakan kependekan dari istilah “Indian Islands” atau “Indian Archipelago, “Indonesian” dari “Indian Archipelagian” atau “Archipelagic”, dan “Indonesians” untuk “Indian Archiplegians” atau “Indian Islanders” (Logan, 1850 dalam Elson, 2008). Logan adalah orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia” untuk menjelaskan kawasan geografis yang terbentang dari Sumatra sampai Formosa, Taiwan walaupun secara longgar dan tidak eksklusif. Terminologi yang dimunculkan oleh Logan ini kemudia banyak diikuti oleh akademisi lain seperti E.T. Hamy. Tahun 1877 ahli antropologi asal Perancis tersebut menggunakan istilah “Indonesia” untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di kepulauan Indonesia (Elson, 2008). A. H. Keane melakukan hal yang sama dengan Hamy pada tahun 1880, namun dia menggunakan istilah “Indonesia” untuk menjelaskan kodisi geografis yang lepih tepat. Hal ini kemudian diikuti oleh N. B. Dennys dan Sir William Edward Maxwell. Adolf Bastian, ahli etnografi, melanjutkan penggunaan istilah “Indonesia” secara lebih resmi dengan mencantumkannya dalam 5 jilid karyanya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel, pada tahun 1884 hingga 1894 yang kemudian juga diikuti oleh G. A. Wilken yang menggunakan istilah “Indonesia” dalam pengertian geografis dan budaya yang lebih luas pada tahun 1885. Sejak saat itulah istilah “Indonesia” menjadi populer dan mengemuka di kalangan akademisi.

Tinjauan historis terhadap gagasan Indonesia selain dari segi geografis dan etnografis dapat juga ditinjau dari aspek politis dengan melihat penciptaan Hindia Timur Belanda yang dapat dianggap bersatu dan relatif terpadu dalam segi ekonomi oleh kekuasaan kolonial Belanda (Elson, 2008). Walaupun sedikit tidak mengenakkan, tidak bisa dipungkiri bahwa Belandalah yang menciptakan keteraturan perdamaian, dan kemakmuran serta menyatukan segenap penduduk Hindia Belanda pada masa itu. Aspek kedua proses kemunculan gagasan Indonesia sebagai kesatuan politik adalah integrasi vertikal seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat perkembangan sarana angkutan, terutama rel kereta dan jalan serta jalur pelayaran yang dijalin oleh perusahaan perkapalan Belanda (Elson, 2008). Menjelang dasawarsa pertama abad 20, Hindia sudah lebih dari sekedar koloni dan dapat dikenali sebagai entitas politik karena memiliki kemerdekaan dalam keuangan dan memiliki kedudukan legal di Jeddah dengan adanya konsulat Hindia Belanda. Namun, Belanda sejatinya hanya menginginkan adanya imperium raya Belanda dengan menolak segala bentuk gagasan politik yang mengarah pada kesatuan politis Hindia atau kesatuan penduduk pribumi.

Istilah “Indonesia” sebagai sebuah nama bagi entitas politik mulai diperjuangkan oleh pada mahasiswa Hindia yang ada di Belanda yang tergabung dalam Indische Vereeniging (IV) atau Hindia Poetra. Hindia Poetra berhasil membuat istilah “Indonesia” diterima secara luas baik oleh mahasiswa Indonesia maupun sebagian kecil Belanda sebagai nama entitas geografis dan politis seperti yang disampaikan oleh Noto Soeroto, 1918, “Mari kita kelak mengatakan ‘Indonesia’ dan ‘Bangsa Indonesia’. Hal ini juga didukung oleh beberapa senior Belanda dan menghilangkan keraguan dan kecanggungan untuk menggunakan istilah “Indonesia”(Elson, 2008). Penamaan entitas politik di Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan. Dari yang dahulu disebut sebagai “Hindia Timur” yang kemudian memudar lalu diusulkan “Inlander” yang artinya pribumi, namun usul ini juga ditolak. Douwess Dekker mengusulkan sebuah istilah yang disebut dengan “Insulinde” namun juga akhirnya tidak dipakai karena bahasa yang dipakai adalah bahasa Jerman. Nama lain yang juga mengemuka adalah “Nusantara” yang ternyata lebih disukai oleh Soewardi dan Soekarno pernah menggunakannya dalam pidato pertamanya di depan umum tahun 1917 (Elson, 2008). Istilah “Nusantara” tidak bisa diterima menjadi wacana indologi karena mengandung konotasi Jawa-sentris. Momentum penggunaan istilah “Indonesia” terwujud ketika pada tahun 1921 ada 3 orang Belandi dipimpin oleh van Hinloopen Labberton mengajukan amandemen Volksraad atas revisi Konstitusi Hindia Belanda untuk mengganti kata “Hindia Belanda” dengan “Indonesia” (Elson, 2008). Mereka memiliki pandangan bahwa orang-orang yang hidup di Indonesia akan mengembangkan diri menjadi bangsa Indonesia tanpa memandang ras dan warna kulit.

Entitas politik yang namanya baru resmi secara konstitusi Belanda pada tahun 1921 ini memiliki tipologi masyarakat yang unik, terdiri dari beragam etnis dan ras. Ketegangan dan konflik memang rawan terjadi, namun masyarakat Indonesia telah sepakat, “Orang Jawa tetaplah orang Jawa, orang Sumatra tetaplah Sumatra -orang bukan bunglon!- tapi semuanya bergabung menjadi satu BANGSA dan NEGARA (Elson, 2008). Selama di bawah pemerintahan Belanda, Hindia telah menjadi satu, tidak lagi terkotak-kotak seiring adanya kesatuan yang membuat gerakan pribumi menjadi semakin kuat sehingga kesatuan tersebut tidak memicu ketegangan. Pengakuan-pengakuan atas rasa kesatuan seperti ditunjukkan oleh Putra Mahkota Yogyakarta yang menyebut dirinya sebagai seorang Indonesia semakin memperkokoh kesatuan karena adanya itikad baik datang dari dalam masyarakat Indonesia pada saat itu.

Sejarah panjang bagaimana terminologi “Indonesia” muncul mengandung esensi-esensi tersendiri yang tidak bisa dilupakan. Gagasan mengenai konsep kebangsaan juga diperhatikan secara detail dalam setiap penyampaian usulan terminologi. Yang tidak kalah menarik adalah bagaimana banyak tokoh yang begitu menaruh perhatian bagi Indonesia kala itu, tidak hanya datang dari kaum pribumi, namun juga datang dari pihak asing. Semua tokoh yang berperan memiliki satu tujuan, bagaimana mewujudkan kemerdekaan Indonesia dengan bangsa yang kuat dengan menaruh semua kepentingan pribadi dan segala bentuk perselisihan dan ketegangan yang menghambat. Pada akhirnya cita-cita untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang memiliki rasa persatuan diatas perbedaan sudah dicanangkan sejak awal berdirinya, untuk menjadi sebuah pribadi yang Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah semangat kesatuan dengan meletakkan semua kepentingan pribadi demi tercapainya tujuan bangsa dalam konteks kekinian masih sama dengan dahulu? Apakah cita-cita yang dulu digagas sudah bisa tercapai jika melihat keadaan sekarang? Apakah di setiap hati dan kepala individu Indonesia masih menjunjung tinggi kepentingan negara dan rakyatnya? Nampaknya ini akan tetap menjadi sebuah retorika yang hanya perlu dijawab dengan tindakan konkrit. Pertanyaan retorika terakhir yang tidak kalah penting sekaligus menjadi penutup dan renungan dari tulisan ini adalah “sudahkah (atau masihkah) kita Indonesia?”





Referensi :

Elson, R. E. 2008. Asal-Usul Gagasan Indonesia, dalam The Idea of Indonesia : Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta : Serambi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar