Jumat, 16 April 2010

Liberalisme dan Neoliberalisme

Berangkat dari berakhirnya Perang Dunia 1 yang membawa kehancuran yang maha dahsyat bagi umat manusia kala itu, pemikiran liberalisme muncul dengan tujuan untuk menemukan perdamaian dan menghentikan perang. Liberalisme berusaha mengkritik dan mengcounter pemikiran realisme yang memiliki perpektif bahwa perang tidak dapat dihindarkan dan kalaupun bisa dicegah, hanya dengan perimbangan kekuatan yang di dalamnya masih ada kekhawatiran dan kecemasan dari masing-masing negara. Perspektif liberalisme berangkat dari asumsi dasar tentang optimisme dan pandangan positif terhadap sifat manusia yang selalu dianggap baik. Dalam kacamata liberalis, manusia memiliki pertimbangan rasional yang dapat digunakan dalam tindakan sosialnya melalui tindakan yang kooperatif dan kolaboratif. Perspektif liberalisme klasik terhadap manusia ini kemudian diintegralkan kepada negara, suatu institusi yang merupakan kumpulan dari manusia. Para liberalis yakin dan bahkan cenderung utopis bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai oleh para pemimpin negara dalam menghadapi masalah-masalah internasional (Jackson dan Sorensen, 1999). Pada liberalisme klasik, perhatian dasar tertuju pada kebahagiaan dan kesenangan individu. Tokoh-tokoh liberalisme klasik adalah John Locke yang mengemukakan bahwa negara muncul untuk menjamin kebebasan dan kebahagiaan warga negaranya, dikenal sebagai negara konstitusional, dimana rasionalitas individu sangat dijunjung tinggi. Hal ini didukung oleh Bentham dengan kajiannya mengenai hukun internasional dan timbal balik dari negara-negara yang rasional dan diperdalam oleh Immanuel Kant yang menyampaikan konsep kemajuan dan perdamaian abadi dari adanya sikap saling menghargai dari negara-negara yang rasional.

Sederhananya, perkembangan kaum liberalis erat kaitannya dengan munculnya negara konstitusional modern yang kemudian menimbulkan kemajuan dalam banyak bidang kehidupan. Kemajuan ini juga berarti berkembanya pemikiran manusia yang menyebabkan terjadinya kerjasama yang lebih besar yang notabene menjadi penyelesaian masalah-masalah internasional (Jackson dan Sorensen, 1999). Aktor-aktor dan agenda hubungan internasional menurut perspektif liberalisme akan dijabarkan pada pembagian aliran liberalisme yang pernah ada, yaitu : liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional, dan liberalisme republikan. Perspektif liberalisme yang parsial ini merupakan pengembangan dari perspektif liberal klasik akibat adanya revolusi dari kaum behavioral pasca perang dunia kedua yang kemudian dikenal sebagai neoliberalisme.

Salah satu pemikiran neoliberalisme adalah liberalisme sosiologis. Liberalisme sosiologis adalah salah satu pandangan kaum liberal yang dikemukan salah satunya oleh James Rosenau. Liberalisme sosiologis mengemukakan bahwa hubungan internasional tidak melulu hanya hubungan antar negara saja, melainkan di dalamnya terdapat individu yang secara signifikan terlibat dalam interaksinya. Komunikasi juga terlihat dari adanya interaksi dengan kelompok masyarakat swasta. Hubungan antara negara, individu, dan kelompok masyarakat swasta yang saling tumpang tindih dan menjadi kooperatif ini dikenal dengan jaring laba-laba. Dengan meluasnya hubungan transnasional ini akan membawa kehidupan yang lebih damai.
Modernisasi yang terjadi karena adanya hubungan yang baik antara negara, individu, dan kelompok masyarakat swasta meningkatkan derajat dan ruang lingkup interdependensi (ketergantungan). Peningkatan ini terjadi secara kompleks sehingga aktor-aktor tansnasional menjadi sangat penting, bahkan mulai menyisihkan negara sebagai pelaku utama hubungan internasional. Ketika aktor-aktor negara mulai tersisih, maka agenda utama pun mulai bergeser. Kekuatan militer menjadi tidak berguna dan digantikan oleh pencapaian kesejahteraan bersama yang dicapai melalui cara yang kooperatif sebagai tujuan utamanya. Keamanan bukan lagi menjadi tujuan utama. Inilah hasil pemikiran dari liberalisme interdependensi.

Adanya interdependensi kompleks membuat negara-negara membutuhkan wadah untuk menyelesaikan segala bentuk permasalahan mereka. Liberalisme institusional menerangkan hal tersebut, bagaimana sebuah institusi atau organisasi dapat menjadi aktor hubungan internasional. Kerjasama tersebut dapat dan selayaknya disandarkan pada sebuah institusi/organisasi (Burchill, dkk : 2005). Institusi/organisasi internasional diyakini mampu menjembatani masalah internasional dan kemudian menyelesaikannya. Penyelesaian masalah ini didasari adanya rasa yang berkenaan dengan ketakutan, ketidakpercayaan, dan kecemasan antar negara. Hal ini juga diperkuat dengan optimisme bahwa para pemimpin negara dapat mempergunakan pemikiran rasional yang kooperatif untuk menyelesaikan masalahnya demi tercapainya perdamaian. Adanya organisasi internasional ini sebenarnya sesuai dengan harapan Woodrow Wilson yang ingin mengubah hubungan internasional dari “hutan” politik kekuasaan yang kacau menjadi “kebun binatang” yang damai (Sorensen dan Jackson, 1999).

Melihat negara-negara yang sekarang hidup di dunia internasional, kebanyakan dari mereka adalah negara demokrasi. Hal ini tidak lepas dari kemenangan dari AS dalam penyebaran pengaruh demokrasinya. Banyaknya negara demokrasi ini kemudian memunculkan pemikiran liberalisme republikan. Liberalisme republikan memandang bahwa negara-negara demokrasi tidak berperang satu sama lain. Hal ini dikarenakan budaya domestik mereka dalam menyelesaikan permasalahan selalu mejunjung tinggi demokrasi dan musyawarah yang merupakan jalan damai. Dengan demikian apabila ada permasalahan internasional yang melibatkan banyak negara demokrasi, maka nilai-nilai dasar demokrasi lah yang pertama kali diterapkan sehingga tetap menjunjung tinggi perdamaian.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa liberalisme dan neoliberalisme pada dasarnya dibangun atas asumsi dasar yang sama mengenai pandangan positif dan optimis terhadap sifat manusia yang diyakini dapat menggunakan pertimbangan rasionalnya dan akan bersifat kooperatif dan kolaboratif. Baik liberalisme dan neoliberalisme juga melihat individu, kelompok masyarakat swasta, serta organisasi dan institusi internasional memiliki peran yang signifikan dalam hubungan internasional sehingga mereka direkognisi sebagai aktor hubungan internasional. Bentuk tatanan dunia menurut liberalis dan neoliberalis adalah transnasional dan interdependensi kompleks. Dengan demikian, agenda utama internasional bukan lagi soal keamanan dan militer melainkan pencapaian perdamaian dan kesejahteraan bersama melalui kerjasama ekonomi.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa liberalisme dan neoliberalisme tanpa cacat. Liberalisme dan neoliberalisme tidak mampu menjawab kritik kaum realis tentang kondisi internasional yang anarki yang benar-benar ada. Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa yang merupakan bentuk organisasi internasional menjadi kritik dari realisme bagi liberalisme yang tidak bisa dijawab. Liberalisme juga hanya menjadi kedok bagi negara-negara besar untuk mengeksploitasi negara-negara berkembang dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Dengan berpura-pura menjalin kerjasama internasional, negara-negara besar memainkan power mereka. Hal ini juga menunjukkan bahwa negara, individu, dan organisasi internasional tidak sepenuhnya baik seperti yang dibayangkan oleh liberalis dan neoliberalis.

Referensi :
Burchil, Scott, dkk. 2005. “Theories of International Relations”. Palgrave Macmillan : New York
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. “Pengantar Studi Hubungan Internasional”. Oxford University Press : New York

Tidak ada komentar:

Posting Komentar