Jumat, 16 April 2010

Strategi Perang Sang Jendral Prusia

Salah satu pemikir strategi terkemuka dalam hubungan internasional adalah Carl Von Clausewitz, seorang jendral dari Prusia yang hidup antara tahun 1780-1831. Hasil pemikirannya tentang strategi tertuang daam karyanya yang bejudul “On War” yang kemudian kerap kali menjadi bahan rujukan dan referensi perang modern. Dalam bukunya, Clausewitz mencoba memberikan definisi perang menurut perspektifnya. Ia mengatakan bahwa perang tidak seharusnya dipandang sebagai hal yang kompleks, karena perang sebenarnya adalah sebuah duel antara beberapa pihak dalam skala yang lebih ekstensif, oleh karenanya, perang ditujukan untuk membuat lawan mengikuti kehendak kita (Clausewitz, 1780-1831). Dalam pandangan Clausewitz, perang adalah utilisasi kekerasan untuk memaksa lawan mengikuti kehendak kita. Perang merupakan suatu tindakan yang oppressive dan dengan demikian, satu-satunya cara adalah dengan kekerasan yang digunakan untuk melucuti senjata lawan sehingga tidak dapat lagi mereka gunakan untuk melawan kita.

Clausewitz mengingatkan bahwa dalam peperangan, seseorang bisa saja mengasumsikan bahwa mereka akan menang tanpa pertumpahan darah seperti yang pernah dijelaskan oleh Sun Tzu dalam bukunya, “Art of War”. Namun, hal ini kontradiktif dengan kondisi alamiah dan natural dari perang itu sendiri. Pihak yang melakukan hal demikian telah menciptakan kekalahannya sendiri karena tidak adanya pertimbangan kekerasan dan pertumpahan darah dalam penyusunan strategi perang dan cenderung melupakan elemen paling fundamental dalam peperangan. Clausewitz menjelaskan bahwa dalam peperangan selalu ada beberapa aksi resiprokal. Pertama, Clausewitz menjelaskan bahwa perang adalah tindakan kekerasan yang ketika mencapai puncaknya pihak yang menang akan memaksakan kehendaknya pada pihak yang kalah. Kedua, Clausewitz menjelaskan bahwa tujuan utama dari peperangan adalah melucuti total senjata lawan. Perlucutan total ini dilakukan agar kita dapat memaksakan kehendak kita kepada lawan dan jika hal ini tidak diaksanakan maka lawan akan dapt berbuat hal yang sama kepada kita sehingga kita yang akan dipaksa oleh lawan untuk memenuhi kehendaknya. Ketiga, dalam upaya mengalahkan musuh, kita dituntut untuk sealu meningkatkan kekuatan kita melebihi kekuatan bertahan musuh. Ketika kekuatan kita telah melebihi kekuatan musuh, maka akan dengan mudah bagi kita untuk segera mengalahkan musuh. Namun, musuh tentu saja memiliki pemikiran yang sama, selalu meningkatkan kemampuannya. Oleh karena itu, hal ini akan memicu timbulnya perlombaan dan persaingan peningkatan kekuatan.

Clausewitz mengungkapkan beberapa poin dalam bukunya. Salah satu hal yang fundamental adalah kenyataan bahwa perang bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan fenomena atau kejadian lain. Pemikiran ini sangat koheren dan senada dengan pendapatnya yang megungkapkan bahwa perang adalah bentuk kontinuitas dari kebijakan suatu pihak dalam bentuk aktualisasi lain (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Pendapatnya yang lain adalah bahwa perang tidak bisa diakhiri hanya dengan satu pukulan instan. Pukulan instan yang dimaksudkan disini adalah bahwa kita tidak bisa mengalahkan musuh kita hanya dengan sekali serangan saja. Oleh karena itu, utilisasi strategi yang telah disusun sebelumnya dengan baik menjadi teramat penting. Poin penting lain adalah bahwa hasil dalam peperangan tidaklah menjadi sesutau yang mutlak dan absolut. Ketidak-absolutan hasil dari peperangan tersebut adalah kemenangan dan kekalahan dalam peperangan bukan menjadi sesuatu yang pasti dan bertahan selamanya. Salah satu pernyataan Clausewitz yang kemudian menjadi sangat legendaris dari Clausewitz adalah bahwa peperangan digerakkan oleh keingi-keiniginan politik (political will). Clausewitz kemudian menyederhanakan bahwa semakin besar keinginan-keinginan politik ini maka semakin besar pula intensitas perang yang dapat terjadi, dan begitu puila sebaliknya (Andreas Herberg-Rothe, 2007). Ketika political will ini berkurang, maka intensitas peperangan juga berkurang. Akan tetapi, dalam beberapa keadaan, ternyata peperangan tak kunjung terjadi meskipun keinginan-keinginan politik sudah sangat besar. Clausewitz memiliki pandangan yang sangat kontradiktif dengan apa yang disampaikan Sun Tzu sebagai strategi untuk menang tanpa bertarung. Sun Tzu menjelaskan bahwa kemenangan yang ideal adalah ketika tidak ada pertempuran dan pertumpahan darah yang terjadi (Sun Tzu, 500 SM). Clausewitz justru memiliki pandangan bahwa jeda maupun gencatan senjata dalam peperangan hanyalah merupakan bentuk aksi dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang untuk menunggu saat yang tepat dan momen yang tepat pula untuk melakukan penyerangan.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Clausewitz sebelumnya bahwa dalam peperangan, penggunaan strategi menjadi sangat penting. Strategi dalam perang oleh Clausewitz, diartikan sebagai “the employment of the battle as the means towards the attainment of the object of the War”. Hal ini berarti strategi adalah penggunaan pertempuran sebagai cara memperolah tujuan-tujuan perang. Dari sini bisa diartikan bahwa dalam pandangan Clausewitz, strategi diartikan sebagai penyusunan cara-cara (ways) bertempur agar kita dapat memperoleh tujuan-tujuan (ends) kita. Clausewitz menilai bahwa dalam tataran praktis, strategi sebenarnya sangat sederhana, tidak begitu kompleks seperti yang dibayangkan, dan tidak banyak memperhitungkan kekuatan-kekuatan moral. Akan tetapi, jika melihat kembali pendapat awal Clausewitz adalah bahwa strategi memiliki relasi yang begitu erat dengan politik dan perang, yang merupakan tujuan pembentukan strategi. Karena strategi dibentuk untuk mencapai kemenangan dalam peperangan yang merupakan kelanjutan dari kebijakan-kebijakan politik, maka strategi selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur moral. Clausewitz memberi contoh bahwa dalam pembuatan strategi yang lebih diutamakan dan diperlukan adalah unsur-unsur moral seperti keinginan yang kuat. Kontradiktif dengan taktik yang jauh lebih praktis dalam segi penerapannya karena dihadapkan langsung dengan lawan, dalam strategi yang terkait dengan gambaran-gambaran besar maka seorang Jenderal atau Panglima tidak harus punya kemampuan teknis yang kuat melainkan daya analisa dan kekuatan juga keinginan yang kuat serta besar. Karena jika ia tidak memiliki keduanya, maka ia akan terombang-ambing dalam sebuah keragu-raguan sehingga tidak akan bisa memutuskan strategi mana yang akan digunakan.

Clausewitz menjabarkan 4 elemen penting dalam penyusunan strategi. Pertama adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan moral. Kedua adalah kekuatan militer dan perbandingan kekuatan ketiga angkatan bersenjata serta kekuatan organisasinya. Ketiga adalah tindakan operasional yang akan dilakukan serta gerakan ataupun manuver-manuver yang biasa dilakukan. Dan yang terkahir adalah kondisi geografis dari wilayah-wilayah tempat dimana peperangan berlangsung. Clausewitz juga menilai bahwa penghancuran total musuh bukanlah cara yang tepat untuk memenangkan peperangan. Ia mencontohkan dalam kasus perang 1814, bagaimana pengambilalihan wilayah musuh adalah salah satu cara efektif. Jikalau saat itu cara yang sangat destruktif diterapkan salah satu pihak dengan menghancurkan kota musuh, maka nilai kota tersebut akan hilang begitu saja bagi musuh dan bagi kita. Dalam pandangan Clausewitz disini adalah membuat musuh menyerah dengan cara mengejutannya dengan menyerangnya dari sisi yang amat ditakutinya merupakan suatu strategi yang efektif. Ketika musuh terlalu bergantung pada sesuatu, maka serang ia pada titik itu, dan ia akan kehilangan pijakan dan aka menyerah.

Dalam bukunya, Clausewitz juga menuliskan tentang adanya 3 elemen penting dalam penyusunan strategi dan peperangan. Yang pertama adalah kapabilitas dari komandan perang. Namun, Clausewitz tidak mengangungkan dan menitikberatkan bahasannya dalm hal ini karena sebenarnya kapabilitas seorang pemimpin merupakan sebuah bakat yang hanya dimiliki oelh orang-orang terentu. Oleh karenanya, ia tidak begitu dalam membahas masalah ini. Ada dua yang lebih penting menurutnya selaina kapabilitas seorang komandan perang. Dua hal itu adalah kekuatan lainnya yaitu nilai-nilai militer dari pasukan dan perasaan nasionalisme dari seluruh elemen. Beberapa elemen dasar dari nilai-nilai militer pasukan adalah keberanian, kemampuan teknis dari pasukan, kemampuan untuk bertahan dalam segala situasi, dan antusiasme dalam berperang. Namun, Clausewitz menggarisbawahi bahwa dari semua nilai-nilai yang ada, ada satu hal yang amat penting yaitu kebanggaan akan angkatan bersenjata tempat mereka berada.

Salah satu kekuatan moral yang fundamental dan krusial lainnya adalah boldness. Boldness berarti rasa tak kenal takut dan sedikit memberontak. Dalam hal strategi perang, Clausewitz sangat menitikberatkan pada hal ini, walaupun ia mengingatkan bahwa rasa ”nekat” ini tidak boleh dilakukan hingga dimanifestasikan pada aksi penentangan terhadap perintah atau ketidaktaatan. Seperti yang diungkapkan Clausewitz, dalam perang tidak ada yang lebih penting daripada loyalitas dan ketaatan. Oleh karenanya, ia menempatkan boldness ini pada level tertinggi dan hanya bisa digunakan perwira-perwira tinggi.

Dengan demikian, konsepsi strategi yang dijabarkan oleh Clausewitz merupakan suatu hal yang sangat fundametal dan krusial dalam peperangan. Sumbangsih Clausewitz bagi studi strategis adalah konsep-konsepnya yang lebih praktis jika dibandingkan dengan konsep strategi yang dijabarkan oleh ahli strategi pendahulunya, Sun Tzu. Kemampuan Clausewitz menarik benang merah dari politik dan perang yang kemudian dijelaskan bahwa perang merupakan kelanjutan dari politik membuat konsepsinya lebih feasible jika diterapkan dalam era kontemporer. Clausewitz juga mampu menjelaskan bahwa perang dan strategi merupakan suatu jalan dan alat untuk mencapai kepentingan politik. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan apa yang dituliskan oleh Sun Tzu yang menyampaikan bahwa perang itu sendiri merupakan sebuah tujuan. Dengan demikian, pemikiran Clausewitz mengenai strategi ini kerap kali diadopsi tidak hanya oleh ahli militer tetapi juga oleh ahli non-militer di dunia.

Referensi :
Clausewitz, Carl Von. 2006. On War – Volume 1. Republished by Bebook
Rothe, Andreas Herberg. 2007. Clausewitz’s Puzzle : The Political Theory of War. New York : Oxford University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar