Selasa, 20 April 2010

Strategic Deterrence dan Compellence : Manifestasi Military Defense, Aktualisasi Power

Perang dingin adalah salah satu masa paling bersejarah. Konsep baru dalam perang ini terbentuk karena tidak adanya perang secara fisik antara pihak yang berkonflik. Walaupun tidak ada perang fisik, bukan berarti tatanan dunia dalam keadaan aman. Justru pada masa perang dingin ini terdapat berbagai bentuk cara dalam pengaktualisasian power selain perang. Negara yag dominan dalam perang dingin alah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hanya adanya dua negara berkekuatan besar yang berkonflik membuat sistem internasional pada masa itu menjadi bipolar. Dengan adanya sistem bipolar ini, AS dan US cenderung membentuk aliansi untuk memperkuat posisi mereka dalam perang dingin. Namun, aliansi bukan satu-satunya cara yang dilakukan oleh kedua negara besar tersebut dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam perang dingin. Strategic deterrence dan compellence merupakan upaya lain yang dilakukan oleh AS dan US untuk saling mengalahkan dalam sebuah bentuk perang yang baru. Kedua strategi terebut juga merupakan sebuah military defense yang dilakukan oleh keduanya dalam upaya menangkal serangan yang dilakukan oleh musuh. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai strategic deterrence dan compellence beserta penerapannya sebagai salah satu aktualisai power selain perang yang populer pada masa perang dingin yang mana kedua strategi tersebut merupakan salah satu upaya military defense.

Pada saat perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi dua kekuatan besar. Mereka berkompetisi baik dalam perluasan pengaruh maupun perlombaan persenjataan. Ketika salah satu mengupayakan penambahan kekuatan, maka yang lain akan bereaksi. Arti kata deterrence. Strategic deterrence merupakan salah satu cara berupa pencegahan atau penangkalan terhadap pihak lain yang berusaha untuk menjadi lebih dari pihak yang merasa disaingi. Pada saat perang dingin, contoh tindakan strategic deterrence dapat sering kali dijumpai. Pembentukan aliansi merupakan salah satu bentuk deterrence. Hal ini dapat dilihat ketika AS dan US masing-masing membentuk pakta pertahanan, NATO dan Pakta Warsawa. AS dan US menyadari bahwa keduanya tetap ingin ada yang lebih unggul diantara mereka, dalam hal ini dalam bidang pengaruh (Paul, Writz, & Fortmann, 2004). Dibentuknya aliansi berupa pakta pertahanan ini bertujuan untuk menghindari adanya perang terbuka antara keduanya. Pembentukan pakta ini juga sebagai upaya perlindungan bersama, dimana perlindungan pada saat itu tidak hanya perlindungan domestik saja namun juga perlindungan target di luar batas wilayah lawan untuk mencegah serangan atau aliansi dalam batas wilayah lawan. Contoh lain dari deterrence yang juga berkembang saat perang dingin adalah adanya perlombaan senjata. Perlombaan senjata ini terjadi ketika negara-negara mulai sadar bahwa perang terbuka telah menghabiskan dana yang luar biasa besar, yang pada akhirnya membawa mereka pada sebuah kesimpulan bahwa dengan mengembangkan senjata dan melakukan deterrence sebagai bentuk lain dari perang akan meminimalisir dana dan membuat perang cenderung efektif dan efisien. Nuklir menjadi senjata yang gencar dikembangkan pada saat itu. AS dan US sebagai dua kutub kekuatan saling bersaing dalam proliferasi nuklir (Setiawan, 2008). Persaingan ini merupakan bentuk reaksi dan pencegahan terjadi perang yang maha dahsyat. Ketika salah satu pihak mengembangkan nuklir, pihak tersebut dapat memaksakan apa yang diiinginkannya kepada lawan, namun pihak lawan yang tidak tinggal diam membalas dengan tindakan dan intensitas bersama. Hal ini memang menghindarkan terjadinya perang nuklir secara terbuka, namun justru menambah ancaman teror dari pihak terkait karena masing-masing pihak akan terus berlomba dalam peningkatan senjata.

Selain strategic deterrence, pengaktualisasian power juga dapat berupa compellance yang berarti pemaksaan. Jika dalam deterrence para aktor berupaya untuk tidak saling menyerang sehingga menimbulkan perang terbuka, maka dalam compellence para aktor akan berupaya membuat pihak lain yang menjadi rivalnya mau melakukan apa yang diinginkannya, atau dengan kata lain ada unsur pemaksaan disini (Setiawan, 2008). Sebelum US meledakkan percobaan nuklirnya pada 1949 sebagai upaya deterrence terhadap nuklir AS, AS merupakan negara pertama penikmat senjata nuklir. Senjata nuklir tersebut akhirnya digunakan sebagai alat pemaksa lawannya untuk menjalankan apa yang diinginkannya. AS bahkan sempat mempunya kebijakan brinkmanship yang menggambarkan bahwa AS akan memaksakan kepada lawannya apa akan apa yang diinginkannya sehingga hampir sampai pada batas perang (Setiawan, 2008). Contoh lain dari compellence sebagai pada era kontemporer adalah ketika AS menginvasi Irak dan mengintervensi Afghanistan dengan alasan yang berbeda. Dalam invasinya ke Irak, AS menggunakan alasan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal yang disinyalir dimiliki oleh Irak . AS tetap menempatkan pasukannya di sana meskipun mendapat tentangan dari berbagai negara dan pihak. Dalam intervensi ke Afghanistan, AS mensinyalir bahwa di Afghanistan terdapat tempat persembunyian jaringan teroris Al-Qaeda sehingga AS ingin menghancurkannya dalam rangka War On Terrorism. Dari kondisi ini dapat diketahui bahwa konsep compellence sering kali digunakan oleh negara-negara atau aktor-aktor yang memang memiliki superioritas dalam kapabilitas dan kekuatan sehingga apa yang menjadi keinginan mereka dapat terlaksana (Paul, Writz, & Fortmann, 2004).

Berbicara mengenai aktualisasi power dalam konteks peperangan, setiap negara tentu saja akan memperhitungkan aspek pertahanan militer (military defense). Hal ini menjadi wajar ketika ada pihak lain yang mengancamnya. Bahkan penguatan pertahanan militer ini bisa saja dilakukan walaupun tanpa adanya konflik atau perang. Aliansi seperti NATO, merupakan salah satu bentuk pertahanan militer yang coba dibangun oleh beberapa negara yang didalamnya terdapat sebuah poin perjanjian bahwa ketika satu anggota diserang maka serangan tersebut dianggap serangan bagi seluruh negara anggota (Berenskoetter & Williams, 2007). Dengan dibentuknya aliansi ini, negara-negara akan merasa lebih aman dari adanya ancaman yang datang kelak. Bentuk penguatan terhadap pertahanan militer juga sering dimanifestasikan dalam bentuk yang sederhana. Pengalokasian anggaran untuk pembelian alutsista, pesawat tempur, kapal selam, dan berbagai instrumen militer lainnya dan bahkan proyek pengembangan senjata dapat dikategorikan sebagai upaya peningkatan kekuatan. Pengalokasian anggaran negara untuk militer AS yang bahkan enam kali lebih banyak dari kombinasi anggaran Jerman, Jepang, dan Inggris merupakan manifestasi betapa seriusnya AS dalam memperkuat pertahanannya walaupun hal ini sering menjadikan ancaman dan teror bagi negara lain (Brooks & Wohlforth, 2008).

Dengan demikian, sebuah hubungan dapat ditemukan dari penjelasan di atas bahwa sebenarnya strategic deterrence dan compellence, selain merupakan bentuk pengaktualisasian power, merupakan bagian dari sebuah military defense. Hal ini dikarenakan deterrence dilakuakan sebagai upaya pencegahan dan penangkalan agar pihak lawan tidak memiliki kekuasan atas kita dan compellence dapat pula dilakukan sebagai reaksi atas adanya ancaman yang datang yang kemudian dibalas dengan tindakan yang lebih koersif dan oppresif. Namun, baik deterrence maupun compellence sebagai bagian dari military defense tidak serta merta menjamin perdamaian. Penggunaan nuklir sebagai salah satu senjata dalam untuk mendeter atau mengcompell lawan dapat berubah menjadi teror yang mencekam dan bahkan dapat mengancam stabilitas keamanan internasional.

Referensi

Berenskoetter, F., & Williams, M. J. 2007. Power in World Politics. Oxon: Routledge.
Brooks, S. G., & Wohlforth, W. C. 2008. World Out of Balance : International Relations and The Challenge of American Primacy. New Jersey: Princeton University Press.
Paul, T. V., Writz, J. J., & Fortmann, M. 2004. Balance Of Power : Theory and Practice In The 21st Century. California: Stanford University Press.
Setiawan, A. 21 Oktober 2008. Doktrin Strategi Perang Dingin dan Sesudahnya. Diakses pada 20 April 2010, dari http://theglobalpolitics.com/

2 komentar:

  1. wah...
    gaya egh blog e isine tugas tok rek..
    hhaha...
    kunjungi blog ku jeh http://byghost.blogspot.com

    BalasHapus
  2. hahaha, iyo jeh..
    Ben iso gaya..
    oke oke..

    BalasHapus